Last Song (bagian sepuluh)

"Welsemra," Justin merapalkan mantra utama seraya meletakkan telapak tangan kanannya di atas kepala Dillan. Justin menggumamkan mantra lain yang panjang dan rumit, beberapa mantra sempat lenyap dari ingatan Justin. Membuat kening Justin berkerut, keringat mengucur dari keningnya hingga menjadikan rambutnya yang sedikit panjang menjadi lembab. Memaksa Justin mengulang kembali beberapa mantra bahkan merapalkan mantra pembalik karena mantranya salah.

Selesai dengan rangkaian mantra yang telah dia gumamkan, Justin menghela napas panjang kemudian menggerakkan telapak tangannya ke bawah. Mulai dari wajah, leher, berhenti lumayan lama di sekitar dada dan perut untuk memperbaiki organ-organ dalam Dillan. Semua selesai hingga ujung kaki Dillan. Beberapa kali Dillan mengejang, saat itu pula Justin menekan kening Dillan dengan ujung ibu jarinya.

"Eee," Dillan menggumam tak jelas, Nhika berbinar-binar dan langsung mendekatinya yang mulai sadar dan membuka mata. Justin terduduk lemas ke belakang, tangannya sempat berusaha menopang tubuhnya tapi tak berhasil.
"Akhirnya kau sadar! Aku tahu kau tidak akan meninggalkanku," Nhika mengungkapkan kebahagiannya, memeluk erat wajah komandan batalion yang sangat dia sayangi.

Justin tersenyum bahagia, sebuah senyum tipis penuh makna karena dia berhasil menciptakan raut bahagia di wajah cantik Nhika. Justin mendadak tersentak, dia mengalihkan pandangnya ke samping dan memegangi dadanya yang tiba-tiba terasa seperti dihujam ribuan anak panah.
"Terimakasih Justin," ungkap Dillan, melepaskan pelukan Nhika dan bangun.

Justin mengangguk, menopang tubuhnya kemudian bersusah payah untuk berdiri.
"Kau baik baik saja?" Nhika membantu Justin yang nyaris terhuyung jatuh.
"Hanya sedikit lapar," jawab Justin santai, "kita harus bergegas sebelum Pasukan Marleen menyerang,"


Dillan dan Nhika berjalan di depan sementara Justin di bekakang dengan suluh apinya. Justin berhenti sejenak, untuk mengusap darah yang keluar dari hidungnya.


Napas Justin mulai memburu, dia mengerjapkan mata beberapa kali agar pandangannya lebih jelas dan itu sedikit berhasil.
"Lurus saja mulut gua ada di depan," Justin kembali berjalan, sesekali dia memegangi dadanya yang mulai sesak. Suluh api di tangannya mulai meredup, sihirnya berkurang dan membuatnya mengurungkan niat untuk mengontak Shairv, menanyakan keadaan pegasusnya yang menghadapi Weirnablaka serta Xriev sendirian.

"Firgena gaper," Justin menghilangkan apinya ketika cahaya dari ujung lorong telah nampak.

Mereka, Justin, Dillan, dan Nhika telah sampai di mulut gua. Justin mengamati tempat itu dan mendapati pegasusnya berdiri dengan resah, beberapa luka tergores di sayap, leher serta kakinya. Lantai gua dipenuhi batu-batu gua yang runtuh akibat pertempuran.
"Shairv kau tidak pa pa?" Justin bergegas menghampiri pegasusnya sementara Nhika dan Dillan yang merasa asing memilih untuk menjaga jarak.

"Maaf, aku tidak bisa menjaganya. Maafkan aku." Shairv itu menunduk tak berani menatap mata Justin yang mengisyaratkan kesedihan.
"Biar kusembuhkan lukamu," Justin mengelilingi Shairv, menggumamkan mantra penyembuh dan memulihkan luka-luka itu.
"Kau terlihat tidak baik. Kau kenapa?" Shairv bertanya ketika Justin telah selesai mengobatinya dan mengelus-elus lembut moncongnya.
"Apa terjadi sesuatu di dalam?"
"Aku baik, kau tidak perlu khawatir. Dillan , Nhika kemarilah!" Justin memanggil kedua rekannya.

"Naiklah," Justin merapikan pelana pegasusnya untuk Nhika dan Dillan, "kita harus cepat pergi. Driana tidak bisa menunggu," tambah Justin saat Nhika dan Dillan telah berada di atas punggung Shairv.
"Aku cukup kuat untuk tiga penunggang," Shairv mengomentari keadaannya, membanggakan diri.
Justin mundur beberapa langkah.
"Tidak," dia menggeleng, "aku akan disini," kata-katanya mengejutkan Nhika, Dillan dan Shairv.
"Kalian pergi dulu, aku punya urusan lain di tempat ini. Kau tahu itukan Shairv?"



Shairv membalikkan badan, perlahan melangkahkan kaki-kakinya menuju tepi gua yang bertirai air terjun Sannuir. Percikan-percikan airnya yang lembut membasahi rambut Nhika dan Dillan, seperti butiran-butiran lembut embun pagi. Shairv merentangkan sayapnya setelah sejenak menengok ke belakang, ke dalam gua tempat Justin berada disana sendirian. Dal
"Jangan bodoh!" Shairv menggertak, sejenak dia mengangkat kaki depannya, membuat Nhika dan Dillan terkejut karena nyaris tersentak jatuh.

"Justin. Ayolah! Apa yang kau cari disini?"
"Kita harus pergi bersama, kami tidak bisa meninggalkanmu." Dillan dan Nhika turut memperingatkan, tatap mata keduanya mengisyaratkan bahwa mereka tak mau meninggalkan kawan seperjalanan yang selalu mereka anggap menyebalkan.

Sejenak Justin menunduk, mencuri detik-detik yang dia lalui untuk mengamati Dillan, Nhika dan terakhir Shairv. Pegasusnya itu menatapnya sayu, dia dapat menemukan kesedihan dan kekhawatiran mendalam dari mata birunya yang teduh. Justin menggesek-gesekkan ujung sepatu bootsnya, berpikir dan membaca hatinya.

Kapan lagi kesempatan dan hari seperti ini datang? Telah lama Justin berusaha mengumpulkan keberanian agar dia mampu berdiri tegak saat menginjakkan kaki di gua itu.

"Justin?" kali ini Shairv menyentuh benak Justin dengan lembut.
"Maaf, Shairv. Kumohon pergilah," Justin kembali menggeleng, dia bergeser sedikit ke belakang.
"Tidak! Aku tidak bisa tenang tanpa tahu bahwa kulitmu tak tergores sedikit pun! Kau bagian dariku!" Shairv mendesak maju, berharap mampu merengkuh Justin dengan sayap-sayapnya yang berbulu lembut.

"Ini perintah! Kau tahu aku harus melakukan ini. Pergilah! Driana tak bisa menunggu!" Justin berteriak, dia memperingatkan agar Shairv berhenti mendekatinya.
"Justin!"
"Gaper! Shairv! Gaper!"
"Tidak!" Shairv mengepak-ngepakkan sayapnya ke udara, sesekali terbentur stalaktit saat dia mendengar Justin memerintah menggunakan bahasa mantra.
Justin tak mau berlama-lama, dia tak kuasa melihat pegasusnya menyakiti dirinya sendiri, dia langsung bergegas berlari masuk ke dalam gua.

Shairv melonglong ke udara, meluapkan emosi yang membuncah di dadanya dam membuatnya sesak. Setitik air matanya jatuh dan berubah menjadi butiran salju putih, leleh, mencair menjadi air bening pemberi kehidupan.

am kegelapan.
Hentakan kaki belakang sebagai awalan, Shairv terbang menembus air terjun Sannuir. Kepakan sayap-sayap kuatnya mendorong dia untuk terbang tinggi, melintas di atas bentangan pegunungan Vroen yang panjang.

'Hanya sampai matahari terbenam," Shairv mengontak Justin menggunakan benaknya, suaranya lembut namun penuh emosi yang tertahan, "Aku akan kembali kalau kau tak memberi kabar. Kuruntuhkan gua itu kalau kau tak kembali. Berhati-hatilah, semoga warisanmu akan membahagiakanmu."


Justin mendengar semua pesan pegasusnya. Senyum tipis terbentuk menjadikan bibirnya garis merah yang manis di tengah keremangan gua. Justin merasakan setiap emosi dan kasih sayang luar biasa di rangkaian kata-kata Shairv. Suluh api di telapak tangan Justin mengecil, tak tahu apa yang terjadi, justin dikejutkan oleh hal itu.

Dengan penuh kewaspadaan Justin mengawasi sekeliling, mempertajam indranya takut ada serangan mendadak. Dia tahu bahwa tubuhnya tak mendukung untuk serangan apa pun.

Setitik cahaya menyilaukan menarik perhatian. Justin memicingkan matanya pada cahaya putih keungu-unguan di ujung lorong yang kian membesar dan membuatnya terpaksa menutup mata. Sekitar lima menit kemudian, cahaya itu meredup. Suara gesekan dari arah cahaya, Justin membuka mata dan mendapati sebuah pintu batu terbuka secara perlahan.

Rasa penasaran mendorong Justin untuk mendekat. Berjalan dengan tangan bertopang pada dinding-dinding gua yang beku.

Sebuah ruangan beraltar batu marmer, berhias bola-bola kaca bening yang melukiskan keadaan parvana di berbagai tempat.

Bola-bola kaca bercahaya itu tersusun di atas altar dan membentuk rasi bintang biduk. Kilauan cahayanya terbiaskan di wajah Justin yang mengelilingi altar dalam ruangan beraroma minyak zaitun itu.

Ketakjuban terpancar dari mata coklat Justin. Bola-bola itu menampilkan seluruh wilayah Parvana dari berbagai sudut, keadaan sekarang terpampang jelas disana.

Sebuah pemikiran menggelitik muncul. Justin memperhatikan bola-bola kaca satu per satu hingga dia temukan yang dia inginkan. Pegunungan Vroen yang panjang terbentang mengikuti aliran Sungai Hoan yang bermuara di laut tepi kawasan Driana.
Vat'Uruna yang sedang berbenah juga nampak dari bola yang lain. Para penduduk bekerja sama dengan para prajurit untuk memperbaiki rumah-rumah mereka yang hancur setelah penyerangan.

Justin beralih mengamati ruangan yang lumayan hangat itu. Dinding-dindingnya yang hitam, berongga dan kasar seperti batu karang, sebuah lentera berbentuk bunga lili mencuat dari dinding di sudut ruangan. Atapnya berwarna biru langit dengan goresan-goresan putih lembut seperti awan.

Pusing menyerang, membuat Justin terhuyung dan memaksanya untuk merosot ke lantai, terduduk dan bersandar pada batu altar. Dia memegangi dada dan perutnya yang mendadak terasa panas dan membuatnya meringis kesakitan.
"Uhuk," dia terbatuk, cairan mendesak keluar, melewati tenggorokkan dan terkumpul di mulut. Justin memuntahkannya dan lantai kaca di hadapannya pun menjadi merah karena darah.
"Sial," Justin mengutuk kesal seraya menghapus sisa-sisa darah yang mengotori bibirnya.
"Sebenarnya apa yang ingin kalian berikam padaku?" Justin tertunduk lesu, "aku sudah lelah ayah, ibu. Jangan mempersulitku."




"Kenapa kalian pergi dan membiarkanku seperti ini? Aku tidak bisa. Bawa aku ke kubur kalian. Aku sudah tidak bisa. Ayah, ibu, apa yang ingin kalian tunjukkan dari tempat ini? Hidupku sangat sulit, bawa aku pergi." Justin terdesak oleh perasaan dan kecarutmarutan pikirannya. Dia menyandarkan kepalanya ke belakang, menengadah ke langit-langit yang terang. Dia memejamkan mata dan pada saat itu juga dia merasakan sebutir air mata hangat menembus kelopak matanya. Mengalir membasahi pipinya. Air mata wujud dari batin dan raganya yang sudah tak mampu menampung segala kesakitan dan kemurkaan dunia yang telah dia nikmati di setiap detik waktu hidupnya.

"jangan menangis, laki-laki kuat tidak boleh menangis," sejurus Justin mengangkat kepala, membuka mata. Dia hafal benar suara dan kalimat itu. Suara dari orang yang sangat dirindukannya.
"Ibu!" dia berdiri, bangun dari lantai dan melihat sekeliling. Memperhatikan setiap sudut tempat di dalam ruangan, tak ada yang terlewat.
Mencari-cari sampai akhirnya dia pandangannya terpaku pada suatu tempat.
"Tapi menangislah jika itu membuatmu lebih baik. Menangis bukan berarti lemah,"

Sebuah cermin di dinding sebelah kiri pintu masuk. Cermin berbentuk bunga matahari dengan bingkai antik berbahan silver bertahta batu saphir tujuh warna. Justin melangkah perlahan, menyeret kaki untuk mendekati cermin itu.

Seorang wanita cantik dan anggun, bermata coklat yang teduh, rambut blonde berombaknya yang panjang membuatnya terlihat mempesona. Dia duduk di sebuah tempat luas seperti batu yang berlumut, berlatar air terjun yang tak asing lagi bagi Justin. Air terjun Sannuir.
"Ibu," Justin menyentuh permukaan cermin, bermaksud merengkuh dan memeluk ibunya tapi tak bisa.

"Justin, jadilah laki-laki kuat. Tetaplah menjadi dirimu, jadilah orang baik. Lindungi Parvana. Kami menyayangimu dan ini warisanmu," Sebuah cahaya putih keunguan menyemburat dari dalam cermin. Membuat Justin larut dan hanyut di dalamnya.

Aroma air laut mulai tercium, karpet biru alam terbentang membentuk garis panorama di tepinya yang tak berujung. Nhika mengamati penduduk-penduduk Driana yang menjalankan kesibukkan di pelabuhan. Titik-titik hitam manusia yang tak kenal lelah.
"Apa tidak pa pa kau melintas di depan mereka?" Dillan bertanya pada Shairv yang terbang rendah, melintasi tengah kota Driana menuju gedung pemerintahan.
"Menyingkir! Menyingkir!" Seorang prajurit berseru disusul para prajurit lain yang menepikan penduduk Driana agar tak memenuhi jalan supaya Shairv bisa mendarat.
Shairv mengurangi kecepatan terbangnya, Nhika dan Dillan berpegangan, mereka tahu Shairv akan segera mendarat.
"Dia bukan Justin," seorang pria tua di antara kerumunan berkata, semua mata pun langsung mengamati ketiganya yang telah mencapai bumi.
"Shairv tidak bersama Justin,"
"Dimana Justin? Siapa mereka?" Orang-orang mulai berbicara, bisikan-bisikan lama-lama menjadi pembicaraan biasa. Nhika mulai tahu bahwa orang-orang ini sudah sangat mengenal Justin. Laki-laki itu bukan orang asing bagi rakyatnya di Driana yang bahkan belum pernah dia lihat.
"Sang perkasa Shairv," seorang prajurit datang dan memberi hormat, Shairv membalasnya dengan merentangkan sebelah sayapnya kemudian menangkupkannya lagi.
"Ada keperluan apa anda kemari?" tanya prajurit berbaju besi biru itu.
"Aku mengantar Yang Mulia Putri Nhika Arcvikansha dan Komandan Batalion 13 Dillan Edxirga. Mereka diutus oleh Yang Mulia Raja. Antarkan kami menemui Wakil Driana," Shairv menjelaskan.
"kenapa kita berlama-lama seperti ini? Kaum Marleen di belakang kita," Nhika berbisik di telinga Dillan.
Nhika, Dillan dan Shairv berjalan mengikuti seorang prajurit yang mengantarkan mereka menuju kediaman Wakil Driana. Nhika mengamati wajah wajah orang yang memandangnya kagum, mereka bahagia bisa melihat pewaris tahta raja.
Mereka masuk ke dalam sebuah bangunan besar dan langsung dipersilakan masuk ke salah satu ruangan.

"Terimalah hormat saya Yang Mulia," seorang wanita paruh baya, cantik, berambut pendek memberi salam. Dia membungkukkan badannya yang tinggi semampai dan terlihat tangguh, tatap matanya tajam memancarkan ketegasan dan kewibawaan. Dia mengenakan baju lengan pendek berbahan sutra warna biru sebiru laut, dia memakai celana panjang hitam dari kain elastis yang memudahkannya bergerak. Pedang panjang kecil dia sandang di pinggangnya.
"Silahkan duduk," dia mempersilakan Nhika dan Dillan kemudian menyeduhkan teh ke tiga cangkir di atas meja batu di hadapannya.
"Sebuah kehormatan mendapat kunjungan dari anda. Tapi apa kiranya keperluan anda? Saya tahu pasti ada alasan kuat, apakah ini berhubungan dengan penyerangan Kaum Marleen?"
tak disangka oleh Nhika bahwa wanita yang dipercaya oleh ayahnya ini ternyata suka berbicara langsung pada pokok masalah, tidak suka basa basi. Tapi apa dia juga akan seperti ini kalau keadaan sedang tenang? Tidak melayani tamu dengan baik.
"Terimakasih atas sambutan anda," Nhika berbicara penuh keseriusan, dia dilirik Dillan yang belum pernah melihat Nhika bertindak dengan menunjukkan kewibawaannya sebagai seorang putri raja.
"Saya kesini untuk menyampaikan amanat ayah," Nhika meletakkan gulungan perkamen di atas meja dan menyodorkannya kepada wanita bernama Rona itu.
"Itu adalah strategi untuk melindungi Driana dari serangan Kaum Marleen," Nhika menjelaskan sementara Rona mengamati isi perkamen itu, "Kaum Marleen sedang berjalan kemari, kita harus melakukan persiapan agar kita tidak terdesak. Driana adalah kekuatan besar Parvana."
"Apa ini kebenaran? Kami sama sekali tak melihat pergerakan Kaum Marleen,"
"Apa kau meragukan ramalan ayahku? " Nhika mencondongkan tubuhnya ke depan dan menekankan kedua telapak tangannya pada permukaan meja.
Rona terdiam, dia berpikir seraya mempelajari perkamen itu lagi, meraih cangkirnya kemudian menyeruput teh hijaunya.
"Oldin!" serunya, kemudian pintu diterobos masuk oleh seorang pria pendek berjanggut panjang.

Komentar

Postingan Populer