Salahkan Saja Teleponnya

Salahkan Saja Teleponnya
Narnie January

Ya! Terus saja sana kau mengomel dan menyiksa bibirmu sendiri sampai dower. Harus berapa kali kukatakan kalau aku tidak marah padanya dan tidak menghianatinya. Ponsel bodohku rusak, suaraku tidak bisa terdengar di ponsel lawan bicaraku. Apa ini sebuah lelucon untukmu? Aku bukan penipu apa lagi pelawak. Sudah kujelaskan berulang-ulang ketika kau mengajak bertemu tadi di taman tapi nyatanya kau tak mau percaya. Memang benar pemikiranku tentangmu sejak pertemuan pertama kita : selain jago menyanyi kau itu juga piawai mengoceh seperti burung milik kakekku di Indonesia. Sekarang, aterserah saja padamu Justin, berpikirlah sesuka hatimu jika kau tak lagi bias mempercayaiku. Aku sudah muak!
Prang! Kulempar ponsel butut pembawa petakaku itu ke sudut kamar tapi nyatanya benda itu memang memiliki keberuntungan lebih daripada pemiliknya. Ponsel dari nenekku yang telah kupakai sejak dua tahun yang lalu itu tetap utuh, tidak pecah lalu meledak seperti yang kuharapkan. Kuhempaskan tubuh payahku  di ranjang, kubiarkan matakau menerawang bebas di langit-langit amar. Berharap mendapatkan ketenangan dari sana.
Kantuk sesaat membuatku terlena dan nyaris terlelap tapi suara dering ponselku merusak semuanya. Kubiarkan saja dering itu bernyanyi sesuka hati, aku angkat pun tak ada gunanya. Suaraku tak akan masuk ke ponsel si penelepon. Tapi, lama-lama aku bosan juga. Kenapa kepala si penelepon itu sama kerasnnya dengan bahan ponselku. Nada deringnya pun sekarang terdengar seperti tawa yang meledekku. Gila!
Dengan bermalas-malasan kuseret kakaiku untuk menghampiri ponselku yang tergeletak di pojokan kamar, kuraih ponsel itu. Tertera nama Justy MySweetheart. Sweet heart? Menyesal kutuliskan nama seperti itu. Asemhearth lebih pantas untuknya.
Panas hatiku memebuat seluruh tubuhku seperti mendidih. Rupanya dia memang tak mempercayaiku. Sudah kubilang ponselku rusak tapi tetap saja di menelepon. apa lagi yang dia inginkan? apa belum puas dia mengataiku? Menudhku ini itu sampai si Anwar Rahmat KArtolo, kawanku di Surabaya yang jauh disanapun dia bawa-bawa. Nekat! Kuktekan saja tombol terima disna, akan kukeluarkan semua rasaku. Biar saja dia tak mendenagr, yang penting ada kelegaan.
“Justin Drew Bieber!” sentakku sebagai pemanasan di permulaan, “harus berapa kali kukatakan padamu ha? Mau kau telepon kau seratus kali pun kau tidak akan mendengar suaraku. Kalau memang masih ada yang ingin kau bicarakan, kenapa tadi kau pergi begitu saja dan meningglkanku seperti patung bodoh baru di taman? Sekarang mengocehlah sesukia hatimu, aku akan menjadi pendengar yang baik. Tidak ada gunaya juga aku berbicara panjang lebar seperti sekarang, tidak kau dengar juga! Ponselku rusak! Serusak otak bodohmu yang tidak mau percaya padku!” kusudahi omelan-omelanku yang tidak berguna itu, setidaknya aku merasa sedikit lega walaupun Justin di ujung sana tak mendengar keluhanku.
“Kau yang bodoh idiot!” mendadak suara Justin melengking tinggi da membuat telingaku mendengung, “dasar pembohong! Dimana kerusakan ponsel yang yang kau banggakan irtu?” loh! Loh! Loh! Ada apa ini? Kutatap ponselku, membuat layar lebarnya sejajar dengan hidungku.
“Justin, kau mendengarku?” kutanyakan hal itu dengan ragu-ragu.
“Telingaku hamper pecah karena kau berteriak seperti orang gila,”
Hah? Mati aku! Ponsel bututku ini sepertinya memang ingin mempermainkan hidupku. Kenapa dia baik-baik saja sekarang?
            “Ehm, Justin, sungguh aku tidak berbohong. Aku tidak tahu apa pun. Kemarin saat kau menghubungiku, suaraku benar-benar tidak bias masuk ke ponselmu. Ponselku ini sudah rusak sejak kau tour ke California lima hari lalu,”
            “Terserah apa katamu, bilang sja kau asyik denagn yang lain karena kau bosan dan benci dneagn kesibukanku. Akku sadar itu.”
Tut! Panggilan berakhir, dia memutuskan sambungan dan ketika kutelpon balik nomornya tidak aktif. Si tukang ngambek sekarang marah. Tapi aku juga marah padanya karena dia tidak percaya padaku. Bukan aku yang harus meminta maaf tapi dia.
           
            Dan sejak saat itu, lima hari yang kulalui terasa lebih lama dari biasanya. Kejadian itu seoalh menjadi kompor di hatiku, kadang aku berpikir bagaimana aku bias berpacaran denagn artis kelas internasional tapi berotak udang seperti dia. Cowok kekanak-kanakkan yang berlagak dewasa. Beberapa harri lalu dia tidak mau kuhubungi dan tidak membals pesan serta emailku tapi sejak kejadian semalam dia  langsung berubah drastis.
            Kusingkap tirai jendela kamarku, dari lanati diua ini aku hanya bias geleng-gelang kepala, sudah hamper tiga jam dia berdiri di halaman rumahku. Apa dia sedang bermain-main? Ingin mencetak rekor berdiri terlama, begitu?
            “Kinan!” dia berseru, menyerukan namaku dari bawah sana, “dua jam lagi aku ada acara, turunlah! Jangan kau buang-buang waktu!”
            “Memangnya siapa yang menyuruhmu berdiri disana?” kubuka jendela kamarku dan mereiakinya yang berdiri tepat di bawahku, “pulang saja san! Berhentilah menjadi orang gila!”
            “kau yang membuatku gila! aku mau minta maaf, kumohon turunlah! Maafkan aku Kinan, aku tahu aku salah. Aku percaya padamu”
            “Baru sadar kau ha?”
            “Apa yang harus kulakukan agar kau mau memaafkanku?”
            “Pergilah!”
aku mendengus kesal, haruskah menyalah-nyalahkanku dulu? Terkurung di kandang kelinci bodoh lagi, menunggu ponsel kita tertukar lagi? Kenapa harus saling menyakiti supaya kau tahu bahwa kau salah?

            “Seharusnya tadi kau tidak menutup pintunya,” gerutuku pada artis idolaku yang kini berusaha membuka pintu tempatku terkurung bersmanya, kandang kelinci.
            “Kenapa kau menyalahkanku? Bukankah kau yang mengajakku kesini? Seharusnya sekarang kita makan di restoran daging kelinci bukan terkurung di kandang kelinci. Sudah kusiapkan makan malam romantic disana denagn seorang belieber bodoh sepertimu,” Dia menekan tiga kata terakhirnya. Hah! Menyebalkan sekali, menyesal aku membuang-bunag pulsa hanya untuk memenangkan kuis kencan romantis bersama Justin Bieber. Hal terbodoh yang pernah kulakukan ternyata bukan saat aku salah masuk kelas melainkan menjadi fans orang tolol macam orang yang kini sedang jongkok meratapi nasibnya di sebelahku.
            “Aaaa!” seruku frustasi seraya mengacak-acak rambutnya.
            “Hey! Hey! Hey! Apa yang kau lakukan?” dia menepis tanganku dari kepalanya. Kami beradu pandang, matas hazelnya yang selalu kubilang teduh itu ternyata sebenrnya memuakkan. Kubalas saja tatapan tanda permsuuhan itu denagn sorot mata hitamku yang tajam.
            “Aku menyesal menjadi belieber!”
            “Aku sial punya fans sepertimu!”
Ungkap kami bersamaan kemudian kupalingkan wajahku darinya sedangkan dia menggebrak pintu kayu di belakang punggungnya.
            Kutatap sedih laayr ponselku, menunggu SMS laporan bahwa pesanku telah berhasil dikirim tapi tak kunjung muncul juga. Operatornya mungkin sedang duduk di depan perapian semabari menikmati teh atau coklat panas. Kulirik Justin yang duduk di sampingku, dia memainkan jari telunjuknya di ujung sepatu supranya seperti anak autis.
            “Hey Tin!” kupangggil dia penug kehati-hatian supaya terkesan tidak terlalu mengusiknya, “Ssst, Tin, Tin, Tin,” tapi dia tak menyahut dan semakin asyik dengan dunia antara telunjuk dan ujung sepatunya maka kuusik saja ujung sepatunya denagn ujung sepatu, “Tin, Tin, tin,” panggilku sambil mengadu ujung sepatuku dengan ujung sepatunya.
            “Issh,” dia mendengus kesal dan memelototiku, membuatku sedikit beringsut, “Tin, Tin, tin. Kau ini apa? Klakson mobil?” sedikit seringai timbul di sudut ibirku, memang begitukan panggilannya?
            “Kenpa kau tidak menelpon Kenny atau bodyguardmu yang lain?”
            “I-phoneku mati,” dia menunjukkan I-phonenya padaku, “kau sendiri? Kenapa terus bermain-main sajadenagn ponselmu?sini biar kutelepon Kenny,” Dia hendak meraih ponselku tapi segera kuelakkan benda dalam genggamanku itu darinya.
            “Ponselku rusak, tdiak bias digunakn untuk menelpon, suara kita tidak akan masuk ke orang yang kita ajak bisacara. Aku sudah mengirim sms ke teamnku tapi belum terkirim,”
            “Ponsel tidak berguna dibawa-bawa, ck ck ck,” Dia berdecak meledekku. Ih! Kalau bukan artis sudah kucekik dia.
            “I-phone mati pun kau bawa juga. Kau sama saja denagn I-phonemu itu,”
            “Apa maksudmu sama?”
            “Sama-sama tidak berguna,” ujarku disusul tawa meledak dari diriku sendiri, puas rasanya bisa meledeknya.
            “Kau ini menyebalkan sekali!” dia mendorong lenganku. Jiah! Main tangan dia?
            “kau yang menyebalkan!” kudorong kepalanya sebagai balasan. Tapi Justin  ternayta memang bukan orang yang mudah meyerah dan mau mengalah pas sekali dengan motto hidupnya : “Never Say Never”. Kami saling mendorong, mencubit, meninju samapi akhirnya kuputuskan untuk berdiri dan mengacak-acak rambut blonde kebanggaannya.
            “Hey! Hentikan! “ dia berteriak dan hendak berdiri tapi kutekan punggung dan bahunya supaya dia semakin menunduk dan tidak bias melawan, “Arrggh! Gadis aneh! Apa maumu? Apa kau benar-benar gila? Pasti kau berbohong tentang ponselmu yang rusak supaya kau bias bersamakukan?”
            “Jangan asal menuduh atau kurontokkan rambutmu!” Tanganku berhenti mengacak-acak rambutnya. Kuakhiri dengan menjitak kepalanya yang sekeras batu, dia meringis kesakitan.
            “jangan-jangan kau sendiri yang sengaja mematikan I-phonemu. Kau tidak pernah melihat gadis Indonesia secantik diriku lalau berniat menahankukan?”
            “Jangan mengigau! Lihat saja sendiri kalau kau tidak percaya” dia sodorkan I-phonenya kepadaku, supaya impas maka kuserahkan juga ponselku ke tanagnnya.

            “Pencuri!” seseorang menjerit dari balik punggung kami ketika pintu mendadak terbuka dan mengejutkan kami. Aku dan Justin yang baru saja bertukar ponsel pun tersentak dan langsung melompat berdiri lalu membalikkan badan. Sapu terayun dari atas kepala seorang wanita tua, siap memukul kami berdua.
            “Kami bukan pencuri!” teriakku dan Justin bersamaan seraya lari menerobos tubuh kurus wanita tua itu, lari pontang-panting karena takut terkejar olehnya dan kena pukul.

            Seulas senyum terselip di wajahku ketika memori itu kembali terbuka di depan mataku. Suasana yang jauh berbeda dari kejadian semalam ketika aku dan dia tanpa sengaja bertemu di restoran daging kelinci, tempat yang seharusnya kami gunkan untuk makan malam dulu. Tak ada perdebatan dan pertengakaran aneh. Hanya saling menatap dan menikmati waktu yang terus bergulir sementara permasalahan antara aku dan dia masih terhenti di tempat yang sama.
            “Kau menyakitiku Kinan,” terucap kata itu sebelum dia memutuskan untuk melangakah melewatiku. Sakit yang membuncah di hatiku memaksa tubuhku untuk menghalangi langkahnya.
            “Harus dengan apa aku meyakinkanmu Just?” kukatakan itumasih di posisiku yang memunggunginya, aku tahu langkahnya terhenti seketika itu juga.
            “Aku tidak tahu kenapa kau tak bisa mempercayaiku? Kau bilang aku menyakitimu tapi apa kau tak pernah berpikir berapa kali kau mengatakan kata-kata pembwa luka bagiku?  Sekali lagi kukatakan padamu, ponselku rusak saat itu. Akuk tidak tahu kenapa ponsel bodoh itu bagus kembali ketika kau menelpon kemarin. Kau tahu ini bukan yang pertama kali terjadi bukan? Jadi jangan pernah menyebutku penipu lagi,” kutarik napas panjang kemudian menghembuskannya perlahan.
            Kulangkahkan kakiku untuk berdiri di hadapannya, meletakkan ponselku di genggaman tangannya, “Jika kata-kataku tak bisa kau percaya, jika yang bibir manusia tak kau anggap maka tanyakan saja padanya,” kusampaikan itu dengan mata yang mulai memanas dan berkabut lantaran air mata telah menumpuk di pelupuk mataku. Aku lelah denag semua ini.  Sebelum air mata itu luluh, aku bergegas menjauh darinya.

            “Baiklah jika ini yang kau inginkan Kinan!” teriakkanya membuatku terbangun dari lamuanan menyakitkan itu, kulihat dia masih berpijak di sana. Memandangku penuh harap dan raut penyesalan, “tapi sungguh akau sangat menyayangimu. Maafkan aku jika tela menyakitimu. Aku hanya cemburu,”
            “kau tidak percaya padaku Justin! Itu bukan cemburu!”
            “Kau tidak membalas pesanku, emailku pun aku tidak tahu pasti apa kau membacanya. Bagaimana mungkin aku bisa menggunakan akal sehatku sementara aku sanagat merindukanmu?  Jika kau pertanyakan kenapa aku mempermasalahkan hal sekecil ini, kesalahpahaman bodoh ini ? apa aku salah jika aku juga mempertanyakan kenapa kau jarang membalas pesanku? Aku merindukanmu dan kau tidak peduli padaku. Apa kau pikir itu tidak menyakitkan bagiku?” suaranya meirih bahakan hamper lenyap di kalimat terakhir.
            Aku tertunduk lesu. Merenugi setiap hal ang dia katakana padaku, kebenaran tentang semua kalimatnya. Mulai terasa betapa dia telah berusaha keras untuk menyelesaikan permasalahan ini tapi aku hanya bisa berdiam diri disini. Mendiamkan masalah yang semakin berlarut-larut. Kutuntut dia supaya menyadari kesalahannya tapi diriku sendiri tak pernah bisa memahaminya, menjadi seseorang yang lebih baik untuknya.
            “Justin!” kupanggil dia seraya mengangkat kepala dan melihatnya tapi dia tak ada. Kosong, hanya itu yang kudapati di halaman rumahku. Tak ada lagi artis sok dewasa yang sekarang menjadi kekasihku, Justin yang mencintaiku sejak ponsel bodohku terbawa olehnya dan I-phonenya terbawa olehku.
            Aku berlari keluar kamar, berharap dia belum terlampau jauh dariku. Tergopoh-gopoh aku menuruni setiap anak tangga bahkan nyaris terjatuh karenanya.
            “Justin!” kubuka pintu rumahku, hendak berlari tapi aku justru terjatuh menimpa sesuat. Ketika kubuka mataku yang kudapati adalah mata hazel teduh tapi menyebalkan itu, mtanya yang kini sendu menatap mataku. Justin.
            “Kukira kau pergi?” lirihku.
            “Aku akan pergi setelah mengembalikan ponselmu,” dia menunjukkan ponselku itu tepat di depan wajahku, “sudah kuperbaiki” imbuhnya lagi dengan raut aneh yang selalau kuanggap lucu.
            “Aku memaafkanmu, aku menyayangimu. Maafkan aku,” kupeluk dia erat seolah tak mau kehilangan dia lagi, tak ingin jauh darinya. Ingin tetap bersamanya dan juga cintanya. Cinta kami.


           

Komentar

Postingan Populer