Tembok Toilet

Tembok Toilet


Sialan!
Sial untuk siapapun yang sudah membuatku marah dan membuat sekujur tubuhku nyari shabis terbakar api amarah. Orang ini sepertinya betul-betul ingin bertengkar denganku,. Kalau akupunya cukup keberanian dan terlampau tidak waras. Tembok ini sudah pasti kurobohkan sejak seminggu yang lalu,kalau perlu kubakar sekaligus.
‘Ya, Naya aku mencintaimu. Benar-benar mencintaimu. Aku mencintaimu dan sejak aku sadar bahwa aku mencintaimu, aku semakin mencintaimu’
Ingin kumuntahkan seluruh isi perutku setelah membaca kalimat yang tertulis di dinding dekat washtafle itu. Kalimat kelima diminggu ini yang kuyakini akan menjadikanku makhluk pengguna toilet yang paling terkenal. Setan! Benar-benar setan.
            Menyesal aku atas keisenganku hari senin kemarin yang nekad menulis kata ‘I love U to, sincerely_Naya’ di bawah kata ‘I love U’ yang tertulis  disana. Menyesal aku menyesal. Terkutuklah aku hari itu.
            I love U
ð  I Love U to, sincerely_Naya
Kau serius Nay? Sepertinya kita sehati? Bagaiaman kau tahu ini aku?
ð  Siapa kamu siapa aku? :-P
Kau adalah Naya dan aku ,kau pasti tahu aku kan? Akuhafal benar tulisanmu aplagi caramu menulis huruf A.
ð  Gila kau!
Ya, aku gila karenamu Nay. dan aku mencintaimu.
ð  Makan tu cinta
Ya, Naya aku mencintaimu. Benar-benar mencintaimu. Aku mencintaimu dan sejak aku sadar bahwa aku mencintaimu, aku semakin mencintaimu
Sekali lagi kubaca deretan percakapan gila itu semakin sadar juga aku kalau aku berhadapan dengan orang gila kelas kakap. Maka kuputuskan untuk beranjak dari saja dari toilet di pojokkan lorong ini, sebuah toilet wanita tapi jadi multi fungsi sejak dua minggu ini karena toilet pria sedang direnovasi,tapi sebelum pergi kutinggalkan sebuah kalimat ancaman untuknya.
            Berhentilah menggangguku! Idiot!

            “Berhentilah menjadi orang gila,” Sharon tergelak saat sedang mengunyah brownies-nya, “uhuk-uhuk,” Kena dia! Tersedak dia! Rasakan itu! Siapa suruh meledekku.
            “Aku tidak gila tapi orang itu yang tidak waras,” Ujarku membela diri, memanfaatkan waktu sebelum saat Sharon masih sibuk menagtur tenggorokkannya,, “Sekali lagi dia menulis cinta disana. Akan kucari dia dan kumasukkan kepalanya ke tong sampah,”
            “Hey! Ayolah jangan terlalu membesarkan masalah.”
            “Ini memang masalah besar!” Sahutku tak mau kalah, “Kau lihat sendirikan bagaimana semua orang di sekolah ini menertawakanku? Mereka menganggapku pemain drama toilet dan semua ini gara-gara orang sok misterius ini. Sialan,”
            “Hah sepertinya kau benar-benar marah,” Sharon mengaduk minumannya, melayangkan pandangannya ke setiap sudut kantin sampai akhirnya terhenti pada satu titik di balik bahuku.
            “Daripada memikirkan makhluk toilet lebih baik kau pikirkan dia,”  Sharon mengerlingkan matanya. Aku menengok ke belakang, mengikuti arah mata Sharon yang berbinar. Untuk sesaaat aku memang terpana melihat wakjah dan gesture cowok berambut blonde yang baru saja mengisi sebuah bangku kosong di sudut kantin bersama kedua temannya lalu aku menundukkan pandangan, mengaduk fruitpunch-ku, membiarkan suara cowok itu kelaur masuk gendang telingaku.
            “Kenapa?” Tanya Sharon penuh perhatian kuhela napas pendek sebelum kuputuskan untuk angkat bicara,
            “Kurasa dia hanya mempermainkanku atau mungkin aku yang terlalu berlebihan menanggapi segala hal. Ya begitulah,” kugelengkan kepalaku ke kanan dan ke kiri lalu menyedot minumanku.
            “Hey ayolah bukankah kau bilang Justin perhatian padamu?”
Hadeuh, dimana sebenarnya otak Sharon ini? Sudah jelas-jelas aku malas melihat cowok itu tapi dia justru membawa serta namanya padahal aku sudah berharap aku amnesia, melupakan nama itu.
            “Iya dia perhatian,” Kataku sedikit berbisik sambil sesekali menengok ke belakang,takut orang yang kami bicarakan mendengar, “dia mengirim berbagai sms dan sms itu hanya dia kirim ke aku tapi kau lihat sendirikan? Dia bahkan tidak menyapaku di sekolah apalagi berbicara. Dan dia hanya datang kalau dia butuh bantuan saja, ada tugas, menemui guru. Aku, “ kutarik napas dalam-dalam, berpikir apakah aku pantas untuk berpersepsi dan mengatakan hal ini, “aku berpikir kalau dia memanfaatkanku,”
            “Memanfaatkan?” Sharon mendesah dan menatapku tak percaya, “hei, aku justru berpikir kalau Justin mungkin yang menulis itu,”
            “Kau gila?” Seruku tapi lantas kuinsafi saat hampir seluruh pengunjung kantin memperhatikanku, “Dia?” Aku kembali mengontrol cara bicaraku, “Kau lihatkan? Dia bahkan tidak pandai berbicara, well itu satu-satunya hal yang tidak aku suka dari Justin. Aku justru berpikir kalau orang ini Josh, kau tahu kan dia menggilaiku,”
            “Mungkin juga Bryan,” sambung Sharon, nampaknya dia mulai tertarik pada arah pembicaraan yang kubawa, “Dia sering menjahilimu, ya terkadang orang yang suka menganggu kehidupan kita adalah orang yang perhatian pada kita. Perhatian,” Sharon menekan kata terakhirnya yang membuatku langsung merasakan pahit dilidahku. Perhatian adalah wujud kalau seseorang menyayangi kita. Aku menyadari sendiri kenyataan itu pada diriku, aku begitu menaruh perhatian pada diri Justin, membantunya meskipun tak pernah dia ucapkan terimakasih, membalas semua sms-sms gilanya yang takpernah kupahami maksudnya meskipun dia seolah tak pernah menganggap keberadaanku setiap kali berada di tempat yang sama. Justin, aku menyayanginya tapi nyatanya dia bahkan takpernah menganggap keberadaanku sebagai gadis berperasaan. Mungkin dia mempermainkanku dan bodohnya diriku yang mau dipermainkannya.
           
            Okey! Kuakui aku gila tapi aku tidak mau terus menerus dipermainkan oleh orang gila yang hobi menulis di dinding toilet ini. Aku ingin berhenti dari kegiatan berspekulasi tentang orang kurang kerjaan ini. Maka kuputuskan untuk menyelidiki siapa sebenarnya orang yang berlagak sok menjadi pengagum rahasiaku, si Mister Toilet. Ya! Mister Toilet, kutulis dua kata itu besar-besar di buku catatanku,d iikuti dua nama orang yang sempat kusebut dan disebut oleh Sharon, Josh dan Bryan. Ujung penaku masih berada di atas kertas bergaris itu saat kuhela napas panjang dan nama sosok yang telah terpatri di hatiku beberapa minggu terakhir ini berkelebat di pikiranku. Aku ingin menuliskan namanya, tapi apa dan siapa diriku ini di mata seorang Justin?
            “Berhentilah menyakitiku,” lirihku penuh sesal atas setiap rasa yang selalu timbul setiap kali aku sendiri dan memikirkannya, memikirkan betapa tak jelasnya hubunganku dengan Justin. Justin, cowok yang bahkan selalu kuingat setiap detik yang kuhabiskan dengannya. Setiap detik, mulai dari pertemuan pertama kami hingga kata ‘help me’ yang merupakan pesan pertamanya yang muncul di layar ponselku. Justin,aku mencintaimu dan berharap kau berhenti membuatku merasa kau manfaatkan meskipun terkadang aku bahagia karena itu, karena hanya dengan cara itulah,aku bisa dekat denganmu.
***
           
            Okey! Ini aneh dan kelewat batas untuk disebut wajar karena aku sendiri  merasa sudah gila. Rasanya bukan si Mister Toilet yang kurang kerjaan,aku sendiri sama saja. Orang waras mana yang mau menjadi detektif di toilet?  Hari ini aku sengaja berangkat ke sekolah lebih pagi dibanding biasanya, dibanding siswa lain termasuk lebih pagi daripada penjaga sekolah yang selalu membuka pintu gerbang, maka terpaksa aku menunggu di balik semak-semak terlebih dulu lalu berlari menuju toilet di gedung samping lapangan basket, menaiki tangga menuju lantai tiga, memasuki sebuah ruangan, toilet dan bersembunyi di sebuah kamar mandi yang berada di dekat washtafle. Membungkukkan badan dan menyipitkan sebelah mata ke lubang kunci, mengintip kalau si Mister Toiletku masuk.
            Sudah ada dua puluh siswa yang masuk ke toilet dalam waktu kurang dari lima belas menit aku mengintai, dua orang di antaranya adalah anak laki-laki, Harry dan temannya yang jelek, Dave. Aku benar-benar bersyukur karena bukan merekalah si Mister Toilet.  Lama aku menunggu tapi tak ada yang menuliskan sesuatu di dinding toilet, hanya ada Debbie dan dua dayangnya yang menggubris tentang tulisan itu, mereka bilang
“Cinta di toilet yang konyol. Kasihan sekali hidup Naya itu, dia sangat malang,”
 Ingin sekali kutendang bokong gadis itu saat dia berkata seperti itu. Sialan! Bel panjang tanda jam masuk kelas berdering nyaring dari pengeras suara di sudut plafon. Okey, Mister Toilet tidak muncul pagi ini,mungkin saja dia terlambat jadi tidak sempat untuk membalas pesanku sepagi ini, pasti dia akan datang nanti sore saat semua orang sudah pulang. Spekulasi ini kudapat karena balasan tulisan di dinding itu selalu kulihat saat pagi, jadi hanya ada dua kemungkinan disini, dia menulisnya pagi atau siang hari saat sekolah masih sepi. Okey,aku keluar dari persembunyian teraman abad ini dengan membawa fakta  toilet adalah tempat favorit siswa setelah kantin.

            Semua siswa bersorak dari arah balkon di depan kelas, aku tidak tahu apa yang terjadi tapi biasanya kalau anak SMA berubah menjadi anak TK seperti ini, menunjuk-nunjuk ke arah lapangan basket yang berada di bawah sana, itu artinya ada tontonan menarik dari kesiswaan. Aku berlari-lari kecil menuju tempat kawan-kawanku berdesak-desakkan di balkon di depan kelas, tontonan ini sudah dua minggu tidak kulihat. Memanfaatkan  postur tubuh kecilku, kudesak barisan kawanku hingga akhirny aku bias berdriri repat di depan pagar balkon, memperhatikan empat siswa yang dihukum untuk mengangkut sampah-sampah dari tempat sampah ke gerobak yang mereka dorong. Empat cowok, satu diantaranya adalah Bryan, satu fakta ini membuatku tergelitik. Bryan dihukum karena dia terlambat. Dia terlambat dan tidak bisa membalas pesanku. Mungkin saja, aku mengangguk, setuju pada pemikiran ini. Bryan tidak terlalu buruk untuk kuakui sebagai penggemar rahasiaku meskipun kepribadiannya yang sedikit  melenceng, tapi dia lumayan tampan dan dia pintar. Justin, andai saja kau orangnya. Aku menghela napas saat nama itu kembali muncul di benakku.
            “Nay,” Terswentak aku mendengar suara itu, suara yang sudah sangat kuhafal, sudah sangat akrab di telingaku. Pealn kubalikkan badanku dan kutemukan sosok yang baru saja mengganggu piranku.
            “Bisa ikut aku?”
Dia langsung ke tujuannya, lalu tanpa menunggu jawabanku dia beranjak dari hadapanku begitu saja. Selalu begitu dan anehnya aku juga selalu mengikutinya, ya aku selalu berharap bias selalu berada di dekatnya.
            “Di rumah ya?” Justin mengangguk lesu, wajahny lucu seklai kalau seperti itu.
            “Kalau kau mau aku bisa fotocopy-kan kok. Jadi besok bisa langsung kau pakai belajar,” Sahutku cepat,
            “Kau yakin? Tidak merepotkanmu?”
            “Tidak, rumahku dekat tempat fotocopy-an kok,”
            “Ouh, oke. Thanks ya,” dia tersenyum berajak dari kursi di depanku lalu pindah ke sebuah kursi di sudut belakang setelah sebelumnya menepuk lengan atasku pelan. Kukira dia akan tetap duduk di sampingku, aku sangat berharap bisa duduk di sampingnya.
***

            “Oih Bonsai!” Sebuah seruan datang bersamaan dengan saat semua siswa masuk ke kelas. Kuangkat kepalaku yang sejak tadi tertunduk untuk membaca novel. Josh.
            “Kosongkan?” Dia menunjuk kursi kosong di sampingku yang awalnya kuharap akan tetap diduduki Justin.
            “Kosong duduk saja yang mau PDKT,” Sharon menggoda, segera klempar dia dengan tutup pulpen sementara Josh terkikik geli, hendak menyembunyikan pipinya yang merona. Hah, sepertinya dia memang benar-benar menyukaiku.
            “Bagaimana Nay, sudah ketemu sama cinta toiletmu itu?” Dia bertanya sembari mengelluarkan buku catatannya dari dalam tas, kulirik di dengan tajam.
            “Apa pedulimu bertanya seperti itu?”
            “Hanya bertanya saja, sepertinya sainganku itu tidak seberani aku,” Dia mengerlingkan mata biru safirnya.
            “Dasar,” Aku melengos, percaya diri sekali.
Josh, menyebut Mister Toilet sebgaia saingannya? Apakah itu artinya dia bukan orang yang menulis pesan itu? Kuketukan ujung penaku lalu dari sudut mata kuperhatikan Josh. Dia memang bukan tipe cowok yang suka bertingkah misterius, hamper semua orang yang mengenalnya tahu bahwa dia menaruh hati padaku. Sudah menjadi rahasia umum, jadi pasti bukan Josh orangnya. Bukan Josh berate sudah pasti Bryan. Bryan! Tidak! Dia memang lumayan, tapi berkencan dengannya adalah pilihan terakhir. Dia lebih cocok untuk dijadikan musuh, teman bertengkar. Nanti sore aku harus berjaga di toilet, harus kudapatkan kepastian tentang hal ini.
***

            “Jadi kau benar-benar mencari tahu?” Sharon ternganga, Nampak jelas ada raut tak percaya di wajahnya.
            “Aku susah mengatakannya padamukan?”
            “Kukira itu sejenis lelucon khas dari negaramu, tapi ternyata kau memang gila,”
            “Ah” kutepiskan tanganku di dekat wajah seakan-akan meminta supaya Sharon berhenti menyebutku gila, “Terserah kau saja, kau tahu kau takut jika dugaanku benar,” Kukatakan kalimat itu dengan sedikt berbisik sembari mengawasi keadaan sekitar, takut teman-teman yang berada di sekitar loker memperhatikan kami dan mendengar.
            “aku takut Bryan benar-benar orangnya,”
            “Bryan?” Alis Sharon bertaut, “Kenapa Bryan? Lagipula kalau memang Bryan kenapa?”
            “Sharon berhentilah melawak, Bryan dan aku akan menjadi drama terkonyol di sekolah ditambah lagi dengan tragedi toilet itu. Heh, aku berharap tidak menemukan wajahnya di toilet. Dan aku berpikir bahwa itu Bryan karena aku tidak menemukan balasan pagi ini Bryan terlambat. Sebelumya dia selalu berangkat sangat pagi bahkan dia yang membuka pintu kelas. Dan josh, dia tidak mungkin melakukannya, dia bahkan bisa mengatkan bahwa dia mencintaiku setiap hari,”
            “Lalu Justin?”
            “Sharon,” Pekikku jengkel
            “Justin perlu dimasukkan dalam daftarmu jugakan?”
            “Ya, daftar cinta bertepuk sebelah tanganku,” Perutku mual saat mengatakannya, “Aku harus pergi mencari tahu dan menghentikan kegilaan Bryan. Kumasukkan ke tong sampah dia,” kubalikkan badanku hendak melangkah cepat tapi secepat itu juga langkahku terhenti, dari tempatku berdiri sekarang kudapati Justin sedang bercakpa-cakap dengan Belinda di sudut ujung kort\idor. Terlihat sangat akrab dan bahagia, tersirat dari sinar mata dan senyuman yang terkembang di wajahnya.
Ayolah Naya! Buka matamu, bukankah kau tahu sendiri bahwa Justin pernah mengatakan sendiri padamu bahwa dia sempat menyukai Belinda? Ingkatkah kau kejadian tiga bulan yang lalu itu?

***

            “Sudah hampir setengah jam aku mengintip dari lubang kunci di kamar mandi, jarum jam tanganku sduah menunjukkan pukul setengah lima. Rasanya aku harus menerima nasib bahwa aku tidak bisa membuktikan apapun hari ini.
            “Ini hal tergila yang pernah kulakukan Belinda, aku tidak menyangka kau membantu Justin melakuakn hal ini,”
Suara itu dating bersamaan dengan saat aku hendak membuka pintu. Maka segera kuubah posisi tubuhku yang telah berdiri tegak ke pipi semula.
            “Justin menyuruhku, dia bilang sebagai balasan karena aku sudah membuatnya patah hati. Dasar aneh,” Ungkap Belinda pda seorang kawannya, aku lupa siapa namanya yang jelas dia kelas 10.5. terus kuperhatikan tingkah Belinda, gadis cantik asal Brazil itu mengeluarkan spidol dari dalam tasnya.
            Tidak! 
            Apa-apaan ini? Jadi orang yang selama ini menulis itu Belinda dan dia melakukan ini atas perintah Justin. Tubuhku mengejang menyimpulkan hal ini. Benci dan amarah mendesak dari dalam dada, menuntut untuk diluapkan.
            “Dan dia bilang ini yang terakhir, aku tahu ini yang terakhir,” Kulihat Belinda muali menggoreskan pena itu di dinding tembok. Dia akan mengakhiri semuanya? Dia pikir dia itu siapa? Aku yang akan mengakhiri permainan gila ini.
            “Sialan kau!” Bentakku, kubuka pintu kamar mandi dengan kasar.
            Belinda dan kawannya itu melihatku tak percaya, aku yakin betul bahwa mereka tidak menduga dan tidak pernah berharap akan menemukanku disini. Bibir Belinda komat-kamit tak jelas berkata apa.
            “Jadi Justin yang menyuruhmu?” aku menggertak untuk kedua kalinya dan Belinda tersentak ke belakang dua langkah saat aku mendekatinya.
            “Kalian bermain-main! Kau pikir ini lucu ha?”
            “Nay kau salah paham, ini tidak seperti yang,”
            “Katakan dimana Justin,” Potongku cepat,
            “Nay’
            “Aku Tanya dimana pecundang itu!” Raungku penuh amarah.
***

            Tanah terkoyak di bawah kakiku yang melangkah cepat menyeberangi taman belakang yang luas ditanami bunga-bunga dan rumput hias dengan kolam ikan di sudut taman. Justin mempermainkanku. Orang yang bahkan belum genap setahun aku kenal sudah berani bermain-main dengaku. Dia memanfaatkan kebaikkanku yang menjurus ke kebodohan bahkan sejak kami sama-sama saling mengenal di hari-hari setelah masa orientasi. Dia malu mengakuiku sebagai teman saat di sekolah, dan terus dating padaku saat membutuhkan bantuan. Tega sekali dia, apa salahku padanya?
            Secepat kilat langkahku terhenti kala kulihat diri Justin yang duduk di sebuah bangku beton di bawah pohon palem yang terbuai angin sore. Dia duduk membelakangiku. Mataku memanas sesaat kemudia. Rasanya sesak sekali. Inikah orang yang selalu kutunggu smsnya? Orang yang bahkan nama kontaknya di ponselku selalu berhasil membuatku bahagia dan melayang tinggi? Orang yang selalu membuatku bersemangat berangkat ke sekolah? Orang yang selalu memaksaku untuk mencuri perhatian? Kau benar-benar bodoh Naya. Bodoh, otak udang.
           

            “Justin,” Kusebut namanya saat aku sudah berpijak tepat di belakangnya.
            “Naya,” Dia lekas berdiri dan tersenyum penuh arti padaku, senyuman yang selalu membuat hatiku bergetar dan merasakan kesejukkan aneh. Cinta yang aneh. Tapi sekarang aku membencinya, aku mkuak dengan segala kepalsuannya.
            “Kau sudah,’
            “Kau puas?” Sahutku cepat, “Apa kau sudah puas bermain-main dan memanfaatkanku?”
            “Nay,”
            “Kenapa kau jahat sekali Just?” Suaraku tercekat di leher saat mengatakannya, sebulir air mata menetes dan membasahi pipiku, “Apa salahku? Katakan apa salahku?” aku ingin marah tapi yang kalimat yang keluar justru nada mengiba yang membuatku semakin tak berdaya di hadapannya.
            “Aku tidak mengerti Nay,”
            “Aku tidak ingin mengatakan ini, tapi aku tidak tahan lagi.” Sekeras mungkin aku berusaha untuk tidak menagis, kuusap air mata di pipiku dengan punggung tangan, “Aku sudah membantumu, kupikir kau temanku. Kau mengirimiku sms setiap hari, kau sangat akrab denganku di sms-sms itu tapi kau tidak pernah mau berbicara denganku di kelas, bersama teman-teman. Dan sekarang kau membuat lelucon dengan membuat tulisan-tulisan itu di tembok toilet, membuatku terlihat seperti orang gila. Kau pikir ini lucu? Aku melihat sendiri Belinda disana dan dia mengatakan bahwa kau yang menyuruhnya untuk membalas tulisan itu. Apa salahku padamu Just? Kau tahu? Aku bahakan sangat menyukaimu, aku mau melakukan semuanya karena aku menyukaimu supaya aku bisa dekat denganmu tapi aku tidak pernah menganggapku dan justru menjadikanku mainan seperti ini,”
            “Kau salah paham Nay, aku tidak bermaksud seperti itu. Maafkan aku,” Justin menatap mataku dalam-dalam tapi segera kualihkan pandanganku, aku tidak mau terperangkap disana.
            “Aku hanya tidak berani  dan aku merasa bukan apa-apa jika dibandingkan dirimu. Aku tahu aku bukan anak baik sepertimu, aku takut kalau aku hanya akan membuatmu terlihat buruk jika aku dekat denganmu. Hanya itu, dan tentang tulisan itu memang aku yang pertama menulisnya, aku menulis kata I Love You itu dan aku benar-benar terkejut kau membalasnya. Sehari sebelumnya kau bilang tulisanku punya cirri khas dan sedikit mirip tulisan Belinda.”
Aku melupakan penjelasan terakhir itu dan baru ingat sekarang. Benarkah apa yang dikatakan sebelumnya? Perlahan benci itu menyirna.
            “Aku berusaha memberimu perhatian lewat sms. Kau gadis yang belum pernah kukenal sebelumnya. Apa kau tahu apa yang ingin kutulis hari ini? Apa kau sudah membacanya?”
Kugelengkan kepalaku pelan.

I love U
ð  I Love U to, sincerely_Naya
Kau serius Nay? Sepertinya kita sehati? Bagaiaman kau tahu ini aku?
ð  Siapa kamu siapa aku? :-P
Kau adalah Naya dan aku ,kau pasti tahu aku kan? Akuhafal benar tulisanmu aplagi caramu menulis huruf A.
ð  Gila kau!
Ya, aku gila karenamu Nay. dan aku mencintaimu.
ð  Makan tu cinta
Ya, Naya aku mencintaimu. Benar-benar mencintaimu. Aku mencintaimu dan sejak aku sadar bahwa aku mencintaimu, aku semakin mencintaimu
ð Berhentilah menggangguku! Idiot!
Aku memang menjadi idiot karenamu Nay, tapi yang kukatakan ini benar. Aku mencintaimu. Temui aku di taman belakang Nay. Justin, (tahukah kau ini aku?)



           



           
           



Komentar

Postingan Populer