Your Love (Ending)


Your Love (bagian tiga) ending
Narnie January
 Justin's POV.

Sakit menusuk hati dan meremukkan jantungku. Empat hari sudah tak kudengar suara cempreng khasnya, tak kucium aroma tubuhnya. Dia benar-benar menuruti keinginanku. Aku senang dia tak datang karena dengan begitu aku tak perlu membuatnya bersedih melihat keadaanku.
Setiap malam kudengar Mom menangis dalam doanya, selalu sama saja. Dia rela menukar apapun supaya aku mendapatkan penglihatanku lagi. Semalam bahkan dia berkata padaku: " Jika tak mommy dapatkan donor mata untukmu sayang, kuserahkan milik Mom untukmu." Maka apa yang mampu kulakukan selain berteriak dan memecahkan vas bunga di samping ranjangku. Semakin hari semakin kurasakan betapa aku hanya akan terus menyakiti dan menyusahkan orang lain.
Aku terbangun ketika kudengar gemericik air dan hidungku mencium aroma pie apel dari lantai satu. Tanpa kusadari rasanya pendengaranku semakin tajam saja. Keberuntungan. Ketika kuturunkan kakiku sandal langsung menyambut di bawah telapaknya jadi aku tak perlu jongkok dan meraba-raba lantai untuk menemukannya. Dalam kegelapan yang mulai kujadikan temanku selama beberapa minggu ini, aku berjalan meraba dinding tembok lorong lantai dua tak butuh waktu lama sampai kupegang lampu menjuntai di dinding, tanda tangga telah berada di sisi kanan tubuhku. Maka aku memutar langkah sembilan puluh derajad.
"Justin tunggu disana!" Mommy meneriakiku dari bawah ketika aku mulai menginjakkan kaki di puncak anak tangga
"Aku bisa Mom," kataku kemudian melanjutkan langkah, berpegang pada besi pembatas. Jujur saja ada kengerian, takut salah langkah dan jatuh.


"Buka mulutmu sayang," Kulakukan perintah mommy dan sejenak kemudian kurasakan manis menggoyang lidahku. Aku tersenyum karenanya.
"Kau suka? Ah mulutmu sampai kotor," aku mengangguk seraya mengusap bibirku dengan punggung tanganku.
"Tanganmu terluka Just," mendadak ada kekhawatiran di suara mom, dia meraih tanganku yang kugunakan untuk mengelap bibir tadi.
"Mungkin terkena vas bunga semalam,"
"Tidak sakit Mom," kataku hendak menarik tanganku dari genggaman mommy namun dia menahannya.
"Tunggu disini biar kuambilkan plaster luka," kudengar suara kursi digeser kemudian langkah kaki Mom yang semakin menjauh. Aku tahu dia mengkhawatirkanku.
Kupikir-pikir sudah hampir sebulan Mom tidak bekerja, dia terus di rumah untuk menjaga dan merawatku. Pasti Mom menguras tabungannya untukku, di saat seperti ini dia bahkan tetap menyajikan makanan favoritku.
"Kemarikan tanganmu Justin," aku tersentak nyaris berjingkat, tak kusadari kehadiran Mom yang praktis membuatku terkejut.
"Kau terkejut? Apa yang kau lamunkan? Fokus sekali," pasti keterkejutan itu tergambar jelas di wajahku sampai Mom menanyakannya. Hanya seulas senyum yang kuberikan untuk menjawab pertanyaannya, aku masih larut dalam pemikiranku tadi.
"Mom," kuberanikan diri untuk bertanya.
"Buka mulutmu sayang,"
"Tidak," kugelengkan kepalaku, "aku ingin berbicara," Dalam beberapa saat Mom terdiam, mungkin dia bertanya-tanya kenapa aku begitu serius. Tak kutunggu respon berupa kata-kata darinya, aku kembali membuka mulut.
"Mom sudah lama tidak bekerja,"
"Mommy tidak bisa meninggalkanmu sayang,"
"Tapi Mommy bisa kehilangan pekerjaan, aku bisa tinggal di rumah sendiri"
"Tapi Justin,"
"Percayalah padaku Mom," kali ini kutekan kalimatku, aku ingin Mom tahu bahwa aku tidak main-main. Mommy menghembuskan  napas panjang, aku tahu benar kalau sudah seperti pasti dia akan menurut.
"Mommy senang kau kembali ceria sayang," suara lembutnya mengiringi belaian lembut tangannya di kepalaku, "Apa kau sudah mau menemui Intan juga?"
"Tidak," kutundukkan wajahku, aku tidak suka Mom membahasnya.
"Dia menyayangimu, berhentilah menjauhinya."
"Aku tidak mau menyusahkannya. Aku tidak mau terlalu berharap padanya,"
"Justin?"
"Menyadari dia berada di dekatku itu sama menyakitkannya seperti saat Mom menawarkan mata padaku semalam. Tidak tahukah itu sangat menyakitkan Mom?"
"Maafkan  mommy sayang,"
"Mom lebih penting daripada mataku,"
Detik itu juga kurasakan pelukan hangat Mom, dia memelukku dan dari sana mampu kurasakan betapa besar kasih sayangnya untukku. Dia wanita terhebat yang pernah kutemui.
"Justin, tadi Intan,"
"Sudah kubilang jangan bicarakan dia," kurenggangkan pelukanku sampai akhirnya terlepas. Kenapa mom masih saja membahasnya? Apa dia tidak juga mengerti maksudku?
"Dia mengirimkan sesuatu untukmu. Bunga,"
"Buang," lagi-lagi aku menyahut, "buang! Mom, aku tidak mau membicarakannya lagi, harus berapa kali kukatakan.?"
Sejak tadi aku berusaha keras untuk berjalan dan menghafalkan keadaan rumah. Aku berhasil membujuk mom supaya besok dia berangkat bekerja jadi mau tidak mau aku harus menghafalkan semua letak benda agar aku tidak menabrak dan merusak barang-barang di rumah. Hari ini saja aku sudah menabrak dan memecahkan satu pot bunga padahal Mom sudah mengawasiku.
"Sudah sore, mom ambilkan obatmu dulu. Kau duduk disini dan jangan usil berdiri," dia membimbingku duduk di sofa ruang tamu kemudian menggosok-gosok kepalaku saat memperingatkan.
Sepi dan hening melingkupi ruangan tempatku berada. Sampai akhirnya dering telepon memecahkan kelengangan dan sukses mengejutkanku. Lama kubiarkan saja telepon itu bernyanyi ria, lucu juga membayangkan si penelepon marah-marah karena teleponnya tak diangkat ujung sana. Aku bukan iseng hanya menuruti apa yang diperintahkan Mom: "jangan usil berdiri,"
Telepon itu mati sesaat tapi akhirnya berbunyi lagi. Lama-lama tidak tahan juga telingaku mendengarnya lagipula kasihan si penelepon. Perlahan aku beranjak dari sofa, meraba udara takut ada benda penghalang di depanku. Bermodalkan sumber suara dering telepon aku melangkah berusaha menemukan letaknya di pojok ruang tamu. Kakiku menyentuh kaki meja dan aku yakin itulah meja tempat telepon berada. Kuraba meja itu mencari gagang telepon tapi payahnya aku justru menjatuh telepon dan benda lain di atas meja itu. Lagi-lagi aku hanya merusak barang-barang ketika aku bergerak. Tidak berguna.
Perlahan aku jongkok, meraba lantai untuk menemukan semua benda yang kujatuhkan. Tanganku menyentuh sesuatu yang lembut dan dingin. Dari tekstur dan bentuknya aku tahu benar benda itu adalah bunga matahari. Bunga kesayangan Intan. Sejenak aku terdiam. Pasti ini bunga yang dikatakan Mom tadi. Kubiarkan bunga itu tetap tercecer di tempatnya. Kulanjutkan pekerjaanku mencari telepon, pasti si penelepon sudah mengucapkan segala sumpah serapahnya karena marah.
"Apa ini?" tangan kananku kembali menemukan satu benda aneh. Persegi panjang, keras, seukuran telapak tanganku. Kuraih benda itu ke dalam genggamanku, jemariku meneliti setiap detail permukaannya, mencoba mengetahui benda asing apa itu. Sebuah tombol tanpa sengaja kutekan.
Suara yang tak asing lagi di telingaku. Suara cempreng si gadis hiperaktif tapi pemalas, gadis yang mendadak menjadi keras kepala beberapa hari ini, gadis yang mengisi hari-hariku selama hampir dua tahun terakhir dalam hidupku, gadis yang kuminta pergi padahal dia sangat menyayangiku, gadis yang kuragukan cintanya akan memudar padahal hatinya begitu tulus padaku. Gadis yang memberikan permintaanku, menjawab pertanyaan yang kuutarakan hari itu di tepi danau menggunakan kata-kata suci dari hatinya, jawaban jujur yang menggetarkan hatiku. Membuatku menyesal telah memintanya pergi, tidak menghargai kasih sayang dan perhatiaannya, membentak dan mengusirnya. Intan.
"Justin kau kenapa?" Mom datang dan menyentuh bahuku.
"Intan," desahku seraya berusaha berdiri.
"Intan kenapa?" suara Mom memburu, kudengar adanya kecemasan di setiap katanya.
"Tunjukkan padaku mom, aku harus bertemu Intan,"
"Tunjukkan apa? Intan kenapa?" mom memegangi bahu dan lenganku. Pikiranku kacau sehingga perkataanku hanya membingumgkan mom.
"Tunjukkan pintu keluar. Aku harus menemui Intan. Aku ingin bertemu dengannya!"


"Intan!" kutekan bel di pagar rumahnya sementara bibirku tak berhenti berteriak memanggil namanya. Sayup-sayup kudengar mom menasehati dan mengajakku pulang tapi sesak di dada memaksaku untuk tetap bertahan.
"Intan! Aku ingin bertemu denganmu! Kumohon keluarlah! Intan!" tanganku mulai tak sabar dan menggoyang-goyangkan pagar besi tua yang biasa kutendang itu.
"Justin, rumahnya kosong sebaiknya kita pulang." Mom memegangi lenganku
"Tapi aku harus menemuinya, aku merindukannya Mom." kurasakan cairan hangat mulai menumpuk di pelupuk mataku sementara tetesan air dingin jatuh di atas kepalaku.
"Dia tidak ada di rumah Justin, rumahnya gelap. Kita harus pulang, sudah hujan Justin, kau bisa sakit."
"Aku ingin menemuinya. Kenapa dia pergi? Dia bilang dia ingin bersamaku." suaraku melirih sementara hujan yang turun mendatangkan gemuruh luar biasa dari langit. Tubuhku telah basah kuyub oleh air sang mandala sementara pipiku dibasahi air yang telah bercampur dengan air mataku.
"Dia pasti akan datang sayang. Mungkin dia hanya sedang pergi," Mom mulai membimbingku melangkah pulang bersamanya.
"Dia pergi mom, dia pergi. Aku bahkan belum meminta maaf," terbata-taba aku berbicara sejalan dengan langkah gontaiku yang terseok-seok menembus hujan dalam kegelapan mata dan hatiku. Aku menyianyiakannya dan sekarang dia pergi dengan membawa luka yang kutorehkan di hatinya.

Justin, maaf  bila aku hanya mendatangkan luka di kehidupanmu. Kusadari betapa payahnya aku sampai tak bisa menjaga hatimu.
Kau selalu menjagaku dan membahagiakanku tapi di saat kau terpuruk seperti sekarang yang mampu kuberikan ternyata hanya garam penambah perih di lukamu. Kau bilang bahagiaku adalah bahagiamu. Tahukah kau bahwa kebahagiaanmu juga kebahagiaanku. Maka kuputuskan untuk memberikan yang kau minta. Jika kehadiranku hanya akan menghadirkan beban di hatimu. Aku tak akan datang lagi Justin.


sepotong kalimat pembuka dari rekaman suaranya kembali terngiang di telingaku. Aku meringkuk di atas ranjang, berbalut selimut tebal yang Mom berikan untukku sebelum aku berpura-pura tidur. Hujan deras yang terus mengguyur di luar sana membuat tubuhku semakin menggigil. Hati dan badanku sama tak nyamannya malam ini. Kuraba meja kecil samping ranjangku mencari alat perekam yang tadi kuletakkan disana. Kutekan tombolnya, aku berniat untuk mendengarkan semua kalimat yang Intan berikan padaku.

Tapi sebelum aku pergi dari kehidupanmu biarkan aku mengatakan apa yang telah kurenungkan selama beberapa hari ini. Kau tanyakan apa alasanku mencintaimu. Suratmu Justin, aku menyukai surat yang kau tuliskan untuk Debbie. Baru kusadari ini setelah kau tanyakan hal ini padaku. Heh, aku memang bukan gadis sensitif dan peduli pada orang lain. Diriku sendiri saja tak kuurus.

 Tawa renyahnya terselip dan membuatku ingin tertawa juga namun urung setelah kudengar kalimat lain yang mengikutinya.

Jujur saja Justin, aku sangat tersentuh setelah membaca suratmu. Aku berharap surat itu benar-benar untukku tapi kau datang dan menghancurkan semuanya. Kau bilang suratmu nyasar padahal aku sudah bahagia saat kau bilang surat itu milikmu. Cowok bule ganteng dan manis yang terpikir olehku saat itu adalah aku bisa memamerkanmu pada semua orang yang mengatakan aku payah.
Rasanya aku terlalu banyak membuka aibku padamu? Tidakkan Justin?

 dia berhenti disana, cukup lama dan membuatku berpikir bahwa rekamannya sudah selesainya tapi ternyata belum.

Maaf tenggorokkanku kering, jadi aku minum dulu.
Justin, sungguh sejak awal aku bertemu denganmu aku sudah menyukaimu. Alasanku sama seperti gadis lain di luar sana pada awalnya namun setelah aku bersamamu aku mulai merasakan betapa kau sangat berarti bagiku. Kau bukan hanya cowok yang bisa kugandeng kesana kemari tapi hatimu adalah penerang tersendiri di kehidupanku yang kacau. Kau seperti pelita di yang menerangi gelap hidupku.
 Memang benar apa yang kau katakan hari itu di danau, aku tidak akan memungkirinya sedikitpun bahwa aku menyukai setiap hal yang ada pada dirimu.
 Tapi sungguh Justin, aku sama sekali tidak menyesali dirimu sekarang yang tak bisa melakukan semua itu lagi. Aku bahagia bisa berada di dekatmu dan bisa membahagiakanmu. Kulakukan semua hal kemarin bukan untuk membantumu kalau pun itu benar. Apakah aku salah?
 Sadarkah kau Justin? Kau yang membantuku dalam segala hal. Kau menjadi kakiku untuk masuk ke dalam rumah, menjadi otakku saat aku belajar, menjadi jamku agar aku terbangun, menjadi tanganku untuk memukul anak-anak nakal sekolah sebelah. Apa aku terlalu payah sampai kau tak mau mempercayakan matamu padaku?
 Aku tahu hatimu terluka setiap kali memintaku pergi, pasti lebih sakit berada di posisimu daripada aku yang hanya perlu mendengarnya.
 Jujur, Justin. Hatiku tak pernah berhenti bertanya kenapa kita harus saling menjauh padahal hati kita begitu dekat. Kau menyayangiku dan aku menyayangimu apalagi yang kau permasalahkan?
 Kau ragukan cinta dan hatiku, waktu kau pertanyakan akankah dia mengikis rasaku padamu. Tak tahukah kau hatiku menangis mendengarnya? Aku memang tak bisa menjamin aku akan tetap seperti ini. Aku pun yakin kau tak akan bisa memberikan sumpah seperti itu. Tapi Justin, aku akan berusaha untuk menjaga hatiku.
 Tak kupaksakan hatimu padaku untuk menerimaku lagi. Aku sadar aku bukan apa-apa. Setidaknya jika kau bisa lebih bahagia tanpaku maka aku tak akan datang lagi. Temukan cinta lain yang bisa menjanjikan kasih abadi untukmu tapi jika kau merasa cukup dengan kehadiran gadis payah sepertiku, maka aku akan menjadi bunga matahari yang setia menanti kehadiran kehangatan sinarmu untuk mengembangkan kelopak-kelopak hatiku. Kau matahariku. Aku mencintaimu Justin.

Setitik air mataku terasa kembali bergulir. Penyesalan menyesakkan dadaku dan membuat kepalaku terasa panas. Kau dimana Intan? Maafkan aku. Sama sekali tak kuragukan hatimu.

Intan's POV
            Menyesal aku menginap di rumah Dini. Punggungku sakit ditendang terus olehnya, kaki panjangnya tidak bisa diam selama dia tidur. Kalau semalam tidak hujan, pasti aku tidak perlu menderita seperti sekarang. Sial. Kalau bukan teman tempat curhatku, demi neptunus akan kumasukkan dia ke mesin cuci.
Jalanan basah menimbulkan suara tak enak didengar ketika sepatuku beradu dengan aspal. Setidak enak perasaanku sejak aku tak bertemu dengan Justin. Apakah aku bisa bertahan untuk tidak menemuinya? Mungkin seharusnya aku tidak membuat dan mengirim rekaman bodoh itu. Otakku rusak gara-gara frustasi, seharusnya aku tidak menyerah dan menjadi pengecut.
Hari itu Justin pasti sedang tertekan setelah mendengar pernyataan dokter karena itu hanya kata-kata tanpa logika yang terbawa oleh emosi yang terlontar dari bibirnya. Seharusnya aku tetap di samping Justin dan menguatkannya. Kalau sekarang aku datang dan menemuinya pasti dia akan mengusirku dengan cara yang lebih ekstrim karena kata-kata dalam rekamanku telah menyakiti hati dan meruntuhkan puing-puing semangat hidup yang perlahan dia bangun lagi. Justin, aku merindukanmu. Maaf, aku terlalu terbawa emosi.
Langkahku terhenti di tikungan jalan dekat rumahku. Darahku seperti membeku, ototku menegang sehingga aku tak mampu menggerakkan tubuhku. Jantungku berdegup kencang, tubuhku mati tapi organ dalamku masih bekerja. Gila.
Cukup lama aku berdiam diri dan mengumpulkan lagi sisa-sisa kesadaranku untuk memaksakan kakiku melangkah. Sebelumnya kutarik napas dalam-dalam lalu menghembuskannya perlahan lewat mulut. Kutatap langit timur yang cemerlang tak tertutup kabut, indah, cerah dan menenangkan. Aku beruntung melihatnya karena sejenak kemudian aku merasakan keberanian datang merasuk dalam diriku.
Selangkah demi selangkah kupijakkan kakiku, mendekat dan lebih dekat meski ada keraguan dalam diri yang memintaku untuk kembali ke belakang. Dia mengejutkanku ketika aku sampai di belakangnya. Belum kuucapkan sepatah kata pun, aku juga tak menyentuhnya tapi dia sudah membalikkan badan dan memelukku. Tangisnya pecah dalam pelukan yang bahkan belum kubalas.
"Maafkan  aku," kalimat itu mampir di telingaku bersamaan dengan saat kurasakan air matanya mulai membasahi bahuku. Dia terisak dalam tangisnya sementara aku masih kaku dikunci keterkejutan.
"Justin, kau kenapa?" kucoba untuk menggerakkan bibir keluku seraya perlahan kubalas pelukannya, kusentuh punggung hangatnya yang berbalut sweater tebal.
"Jangan tinggalkan aku Intan, jangan pernah pergi dariku, maafkan aku yang tak pernah menganggapmu, tak mempercayaimu. Aku terlalu takut pada perasaanku sendiri. kumohon jangan pergi dariku karena alasan apa pun. Jangan pernah tinggalkan aku."

Pelangi melengkung di langit atas danau, bayangannya terpantul di permukaan air danau yang tenang.
"Awas Justin, ada batu." kuperingatkan dia yang melangkah perlahan karena berhati-hati sekaligus karena membawa beban badanku di punggungnya.
Aku bahagia dia menjadi Justinku lagi. Justin yang ceria dan keras kepala, meskipun terkadang kemuraman tersirat di wajah manisnya setiap kali kami terdiam dan dia teringat bahwa hanya gelap di depan matanya. Kuyakinkan dia, bahwa matanya boleh gelap tapi hati dan hidupnya akan tetap bisa menatap dunia. Dia memang tak bisa melihat jalan ke sekolah membaca huruf braillenya tapi aku yakin dia bisa menempuh jalan, mencapai masa depannya. Seperti dia bisa tahu diriku dari wangiku. Dia Justinku, dan aku bahagia bisa mencintai serta dia cintai. Akan kuterima kau apa adanya seperti kau dan cintamu menerimaku.
Aku mencintaimu dan cintamu Justin.



Selesai.


Komentar

Postingan Populer