Your Love


Your Love (bagian satu)
Narnie January

Mata hazelnya yang indah dan teduh serta selalu berhasil menyejukkan hatiku itu kini terpejam. Kuseka setitik air mataku yang jatuh membasahi wajah pucatnya. Bibirnya biru keunguan. Sebenarnya aku tak mampu lagi melihatnya seperti ini. Rasanya hendak pergi dan berlari, bersembunyi tapi hatiku menyimpan cita-cita besar untuk melihat senyum merekahnya serta sinar mata indahnya ketika dia terbangun nanti.
"Eeh," dia melenguh dan sukses mengejutkanku. Kuperhatikan jemari tangan kanan di atas dadanya bergerak-gerak.
"Justin, kau mendengarku?" Aku beringsut dari kursi dan mendekatkan diriku padanya.
"In," bibirnya mulai bergerak, aku tahu dia mendengarku dan hafal benar suaraku, "in, intan," perlahan kelopak matanya yang berbulu mata lentik bergerak, dia membuka matanya.
Aku bergegas menyeka air mata yang membasahi pipiku. Dia paling tidak suka melihatku menangis. Kupasang senyum terbaikku, senyuman manis yang sangat dia sukai, sudah pas dan tepat sekali dengan saat matanya terbuka sempurna. Wajahku tepat di atas wajahnya. Mataku sejajar dengan mata indahnya, mata hazel terindah yang pernah kulihat dan aku bahagia dia menjadi bagian dari hidupku.
"Intan?" suaranya lirih terdengar, dia menatap lurus ke atas, "kau disini?"
"Ya, aku selalu di sisimu Justin." jawabku seraya menggenggam erat tangan kanannya.
Dia tak berucap lagi. Bergeming di posisinya, bahkan dia tak berkedip. Kuperhatikan wajahnya, setiap detail yang membuatnya sempurna di mataku. Mungkin dia sedang berpikir dimana kami sekarang. Biasanya dia terbangun dan disambut warna ungu yang memenuhi kamarnya tapi sekarang yang terpampang serba putih.
"Kau dimana? Disini gelap, aku tidak melihat apa pun,"
Kata-kata yang dia ucapkan berhasil membuatku tertegun. Dia menerawang terus, kuamati dia dan kutemukan kejanggalan di mata hazelnya. Kosong.

***

Sepulang sekolah kulangkahkan kakiku menuju tempat dimana hatiku selalu terpaut seolah disanalah ujung dari setiap jalan di depan mataku. Sekotak permen sour patch di tanganku membuat langkahku yang penuh semangat menjadi semakin riang. Aku ingin melihat senyumannya kembali, tak mau dia terus bersedih dan mengurung dirinya. Sejenak langkahku terhenti di depan sebuah gedung tinggi, bercat putih dan bergaya belanda kuno. Tempat laknat yang membuatnya seperti ini. Aku ingat benar dua minggu lalu, aku, Justin dan teman-teman sekelas pergi study tour ke tempat ini. Sebuah kejadian kecil ternyata berakibat fatal pada kekasihku yang baik hati itu. Dia membantu seorang anak kecil menekan mainan jarum suntik, siapa sangka kalau cairan itu berisi raksa. Justin tak mampu menatap warna warni dunia lagi dengan mata indahnya.
"Selamat sore sayang," Tante Pattie menyambutku ramah diiringi senyuman serta kecupan sayangnya di keningku.
"Justin dimana tante?" aku meneliti ke balik punggung tante Pattie yang berdiri di depan pintu. Menelisik tapi tak kudapati sosok Justin disana.
"Di taman belakang, tante sedang menyuapinya saat kau datang.""Apa aku juga boleh menyuapi bayi besar manja itu?" aku menyeringai, tergelak oleh leluconku yang kubuat sendiri.
"Tentu," Tante Pattie meraih bahuku, membimbingku untuk melangkah bersamanya, "tapi jangan katakan itu di depannya. Perlu berjam-jam untuk membujuknya makan."
"Benarkah?"
"Dia baru menelan dua sendok bubur sejak tadi pagi," kuperhatikan dengan saksama air muka tante Pattie, ada kesedihan dan luka mendalam di balik senyuman yang dia berikan padaku. Kuharap aku bisa membuat tawa tante Pattie kembali juga.
"Ini yang terakhir Justin," kuarahkan sesuap bubur terakhir ke mulut Justin yang sejak tadi diam dan menurutiku. Tidak seperti kemarin, ini bagus tapi aneh.

"Makanmu kacau sekali?" aku tersenyum tipis mendapati sisa bubur yang di bibirnya. Kuletakkan mangkok buburnya di atas meja kemudian mengambil selembar tissu untuk membersihkan bibirnya yang belepotan.
"Aku senang kau sudah bisa pulang. Kau juga senangkan? Rumah memang lebih nyaman daripada rumah sakit.
"Intan," tiba-tiba dia berbicara tanpa memberikan jeda setelah aku berbicara. Dia menyingkirkan tanganku yang sedang mengelap bibirnya.
Hening. Dia kembali diam. Kami duduk berhadap-hadapan di kursi kayu di dekat kolam ikan. Bunga-bunga melati bermekaran dan beberapa gugur terkoyak semilir angin sore. Miris, setiap kali aku menatap matanya tapi yang kudapatkan dari matanya hanya kekosongan yang memilukan.
"Bagaimana sekolah hari ini?" sebuah pertanyaan meluncur dari bibirnya, mengusir kelengangan antara aku dan dirinya.
"Baik, tadi ulangan dan nilaiku tidak memuaskan. Ck seperti biasanya, aku bodoh." kukerucutkan bibirku sebagai ekspresi tak puasku pada diriku sendiri.
"Kau tidak pernah belajar. Aku kan tidak memberimu contekkan, seharusnya kau belajar."
aku berdecak mendengar kalimat ledekan darinya itu. Memang benar apa yang Justin bilang, nilaiku selalu bagus kalau Justin mengajariku atau dia memberiku contekkan.
"Apa hari ini kau terlambat?"
nyengir ala kuda. Justin sepertinya ingin melecehkan betapa tidak berguna dan payahnya diriku ini tanpa dia.
"Aku berdiri di depan kelas selama jam pertama,"
"Maaf," kata respon yang dia ungkapkan membingungkanku. Orang yang menghukumku si Kumis tebal Mr. Cripsley bukan dia, jadi untuk apa dia mengucapkan kata maaf yang tak seharusnya dia ucapkan.
"Karena aku kau mendapat nilai buruk, terlambat dan dihukum. Maaf," Dia menunduk. Kalimat dan ekspresi wajahnya sukses membuatku sedih.
"Justin jangan seperti ini," kudekatkan posisi dudukku dengannya.
"Seharusnya aku membantumu belajar, menelponmu supaya bangun lebih awal dan pergi ke sekolah bersamamu. Tapi aku hanya bisa duduk disini dan diam."
"Kenapa kau berpikir seperti itu?" kuraih telapak tangan kanannya, menggenggamnya erat berusaha menguatkan seseorang yang biasanya menguatkanku. Dia rapuh sekarang padahal masih terekam jelas di ingatanku malam hari sebelum hari malapetaka itu. Dia membuka jendela kamarnya yang berhadap-hadapan dengan jendela kamarku, mengirimkan beberapa bait puisi lewat origami burung yang dia kirim menggunakan balon untukku. Senyum merekah nan indah di wajah manisnya yang mempesona.
Tapi keadaan sekarang sungguh bertolak belakang, hanya kenestapaan yang mampu kutemukan dari wajah tampannya.
"Aku tak bisa melakukan apapun untukmu Intan, tidak lagi." nada bicaranya datar seakan dia menceritakan penderitaan orang lain.
"Kau sudah melakukan banyak hal untukku. Aku yakin kau bisa melakukannya lagi. Kita akan pergi menonton teater tradisional lagi."
"Dokter bilang retinaku tak bisa diobati, jadi jangan membohongiku," perlahan dia melepaskan tangannya dari genggamanku.
Dia benar, dokter memang berkata seperti itu tapi apa kuasa seorang penyandang gelar itu sampai berani memutuskan perkara hidup orang lain.
"Kau akan sembuh, aku yakin itu." kuucapkan kalimat itu dengan mantap penuh keyakinan meskipun sebenarnya aku sendiri ragu atas pernyataan itu, "Aku akan selalu disini untukmu Justin, selalu."
"Tapi aku ingin kau menjauh dariku,"
Aku tersentak mendengar kalimat balasannya. Apa dia serius? Kuharap dia bercanda karena sekarang dia sudah tak berhadapan lagi denganku.
"menjauh?" kataku tak keluar dengan mulus, sesuatu mengganjal leherku dan membuat pita suaraku seakan dicekat.
"Apalagi yang kau harapkan dariku. Mungkin nanti aku tak lagi mengenalimu, aku tak bisa melihatmu, aku tak bisa melakukan apapun. Jadi kumohon kau pergi dariku," dia berbicara dengan tempo cepat sehingga aku tak mampu memotongnya. Perlahan dia beranjak dari kursi tempat kami duduk, kuikuti apa yang dia lakukan.
"Aku membutuhkanmu bukan yang kau miliki dan yang kau lakukan Justin!"
"Tapi aku tidak mau mempersulit hidupmu,"
"Justin,"
"Aku bilang pergi!" dia menyentak, nadanya meninggi dan membuatku terkejut, "Aku tidak suka membebani orang lain. Tidak mau mendapat belas kasih orang lain, empati. Aku buta dan tidak berguna. Apalagi yang kau mau? Sekarang pergi!" dia mengarahkan telunjuk tangan kanannya ke arah pagar.
"Tidak! Aku akan tetap bersamamu! Terserah kau suka atau tidak. Apa kau lupa kalau aku pacarmu?"
"Kita putus," Gertaknya.
***

Masih kuingat jelas dua kata terakhir yang dia ucapkan tadi. "kita putus," Kupandangi penuh arti fotoku bersama Justin. Di foto yang kami ambil sesaat sebelum dia pentas di final lomba menyanyi. Dia menggendongku di punggungnya dan tertawa bersama. Kusentuh setiap detail wajahnyanya di foto itu seakan-akan aku ingin masuk ke dalam sana. Menemui Justin dan memeluknya seperti saat dia memenangkan kejuaran hoki bersama tim sekolah.
Setitik air mataku jatuh dan membasahi kaca bingkai. Bulir-bulir bening lain luluh dan menganak sungai di pipiku. Kualihkan pandanganku ke jendela kamarku yang masih terbuka, lurus terus hingga kudapati jendela kamar Justin. Jendelanya tertutup tapi lampunya masih menyala.
Ini untuk kali kedua aku menangis karena Justin. Pertama adalah saat dia tak sadarkan diri di rumah sakit dan yang kedua adalah sekarang karena dia memintaku pergi darinya. Padahal biasanya dialah orang yang selalu menguatkanku. Dia pahlawanku yang selalu menerimaku apa adanya. Dia cowok penuh bakat dan pesona sementara aku hanya gadis bodoh, cengeng, payah dan sedikit teman. Dia selalu menelponku pagi-pagi buta supaya aku tak terlambat sekolah, memboncengkanku ke sekolah, memeriksa ulang buku-buku pelajaran dan isi tasku sebelum kami berangkat sekolah, membantuku belajar bahkan memberiku contekkan agar nilaiku bagus, mengajariku bermain piano, dan banyak hal dia lakukan untukku supaya aku bisa menjadi sosok lebih baik. Sekarang dia merasa sendiri dan aku tak mampu melakukan apa pun. Pantas mereka menyebutku  payah.
Aku tetap pada pendirianku, terserah Justin mau mengusirku lagi atau tidak. Aku tidak peduli pada kata putusnya kemarin. Aku punya keyakinan bahwa itu hanya emosi sesaat bukan suara hatinya atas diriku. Aku pasti juga akan bertindak selayaknya dia jika aku berada di posisinya.
Serangkai bunga matahari dari kebun belakang rumahku kuikat dengan rumput rumput ilalang. Indah, cerah dan mempesona. Spesial untuk Justin, kuharap dia menyukainya. Aku berdiri tepat di depan rumahnya, kusaruk-sarukkan ujung sepatu kananku. Tak sabar menunggu pintunya terbuka. Kuintip jendela yang tirai putih berhias daun-daun kecil hijau pupusnya sedikit tersingkap. Senyuman terkembang. Tante Pattie datang. Dari balik pintu di depan mataku, aku mampu mendengar derap sandalnya beradu dengan lantai keramik.
"Sore tante," sapaku ceria, tante Pattie membalas dengan satu senyuman khasnya yang sekarang nampak sangat berbeda dari kemarin. Kulihat ada luka tersirat di senyuman indahnya.
"Dia tidak mau menemuimu intan," ungkapnya lirih sesaat setelah kata kenapa meluncur dari bibirku. Kami masih berdiri berhadap-hadapan di depan pintu yang menjulang tinggi. Semilir angin menebarkan aroma dari bunga matahari di genggamanku.
"Dia meminta agar aku tak mengizinkanmu masuk. Dia juga tak mau bertemu siapapun," setiap kata yang diimbuhkan tante Pattie begitu menusuk dadaku, membuatnya terasa sesak.
"Aku ingin menemuinya tante," ucapku lembut berusaha tak menunjukkan emosi mendesak di hatiku, "kemarin dia sudah mengusirku. Tapi aku tidak peduli, aku tahu dia butuh orang lain."
hening melanda antara aku dan Tante Pattie. Aku menunggu kalimat balasan dari wanita paruh baya cantik yang telah melahirkan Justin. Berharap dia berkata iya.
"Dia belum keluar kamar, bujuklah dia sayang." Tante Pattie mengizinkan, dia mempersilakanku masuk ke kediamannya.
Tante Pattie membiarkanku menapakkan kakiku menuju kamar Justin sendiri, sesuai permintaanku. Sejenak aku hanya mampu bergeming di depan pintu kamar Justin. Pintu berbahan kayu manis, aroma khasnya masih tercium jelas oleh hidungku. Disana tertempel tulisan warna-warni, mulai dari nama hingga satu kalimat yang selalu membuatku tersenyum "Saya Tahu, Saya Tampan". Benar-benar menggelitik karena disusun dengan foto-foto pribadinya sejak dia masih bayi.
Kutatap knop pintu di depan mataku. Menarik napas dalam-dalam kemudian menghembuskannya perlahan-perlahan. Kupandangi rangkaian bunga - bunga matahari di tanganku, berharap diriku mampu mendapat ketenangan dari kekhasannya. Perlahan kuputar knop pintunya lalu kuayunkan pintu itu ke dalam, membukanya.
Kudapati sosok Justin di kamar bernuansa ungu dan terkesan ramai itu. Dia duduk menekuk lutut di lantai samping ranjangnya, menyandarkan punggung di tepian ranjang. Dia terdiam sembari menikmati musik dari ipod yang terhubung ke earphone di telinganya. Entah lagu apa yang tengah memanjakan telinganya tapi dari ekspresi dan air mukanya aku mampu menarik satu kesimpulan bahwa apa pun yang sedang dia dengarkan itu, telah berhasil membuatnya nyaman dan tenang. Bahkan dia tak menyadari kehadiranku.
Selangkah demi selangkah kakiku menapak perlahan mendekati Justin. Begitu berhati-hati karena aku tak berkehendak kehadiranku mengusik ketenangannya. Kupandangi wajah manisnya. Betapa nampak lugu dan polosnya wajah di depan mataku ini. Seulas senyuman tipis terlukis di wajahnya, aku suka melihatnya. Aku tahu itu senyuman kebahagiaan dari dalam hatinya. Mata hazelnya kini sejajar dengan mataku. Indah tapi sayang mata mempesona itu tak melihat sosokku yang kini duduk bersimpuh di hadapannya.
Mendadak dia melepas earphonenya. Raut wajahnya seperti menelisik, entah apa yang dia lakukan.
"Sudah kubilang jangan menemuiku Intan,"
Sontak mataku membulat, terbelalak karena terkejut. Tanganku bertopang pada lantai, berusaha agar tubuh ini tak jatuh terhuyung. Dia tahu aku disini? Dia tahu ini aku? Padahal dirinya sama sekali tak mampu melihatku. Kulihat lagi jauh lebih dalam ke matanya. Tak ada ketenangan serta kenyamanan lagi disana.
"Intan! Aku tahu kau ada disini! Jangan diam dan menipuku!" Dia berteriak tepat di depan wajahku, beberapa jengkal jarak kami berdua. Dan sejauh ini yang kutangkap dari sorot mata indahnya sekarang hanya emosi membuncah. Sorot-sorot tajam penuh arti membuat matanya memerah.
"Ini memang aku," jawabku lirih nyaris tak terdengar bahkan untuk telingaku sendiri.
"Kenapa kau kesini?" dia bertanya dengan nada datar sedatar ekspresi wajahnya padaku, "sudah kubilang jangan pernah menemuiku bukan?"
"Dan sudah kubilang bahwa aku akan tetap datang bukan? Jadi untuk apa kau bertanya?" kubalas pertanyaan retorisnya dengan cara yang sama.
"Kenapa kau begitu keras kepala? Ha!" nada bicaranya semakin meninggi. Kali ini mampu mengejutkan hingga ke ulu hatiku, "sejak kapan kau menjadi sangat gigih? Apa harus kukatakan ulang bahwa aku tak punya hubungan apa pun lagi denganmu? Aku tak mau kau disini dan bertindak seperti aku ini tak bisa melakukan apa pun, aku,"
setitik air mataku jatuh saat aku menunduk. Kuseka segera bulir-bulir lain yang menyusul, tak kubiarkan mereka jatuh lagi. Kupotong kalimat Justin, nada bicaraku lebih tinggi dan lebih penuh emosi darinya.
"Kau yang mengajari menjadi keras kepala dan lebih kuat. Jadi salahkan dirimu kenapa kau begitu berarti bagiku. Harus berapa kali juga kubilang bahwa aku tidak mau putus. Aku ingin tetap bersamamu, masa bodoh kau mengusirku berulang kali. Satu hal yang perlu kau tahu! Aku bukan ingin menjadi pengasuh dan perawatmu. Aku hanya ingin menjadi Intan yang terbaik bagimu seperti halnya dirimu bagiku!" sejurus kutarik diriku dari lantai dingin nan beku itu, melangkah menuju pintu yang masih terbuka.
"Terserah kau mau kesini berapa kali! Lakukan sesuka hatimu! Aku tidak peduli dan tidak peduli! Aku bukan Justinmu lagi!"
Teriakkan Justin mengiringi langkahku menuju pintu keluar. Ya! Kalau memang terserah padaku Justin, maka jangan harap kau bisa terus seperti sekarang. Aku tahu hatimu, matamu tak mampu menipuku. Silahkan saja lontarkan kata-kata wujud kebencian hati untukku tapi aku akan tetap datang karena sekali lagi aku tahu kalau semua itu hanya sekadar emosi saja, bukan suara hatinya untukku. Aku menyayangimu.
Hari berikutnya aku datang lagi ke rumahnya, sepulang sekolah. Tante Pattie awalnya memintaku untuk pulang saja karena tak mau mendengar Justin kembali membentakku. Satu hal yang perlu anda ketahui tante, putramulah yang mengajariku untuk bekerja keras.
Kutemani dia yang tengah lelap dalam alam mimpinya. Kuperhatikan setiap detail wajahnya yang mempesona. Dia seperti malaikat turun dari langit. Aku duduk di lantai tepi ranjangnya, bersimpuh disana. Perlahan kuarahkan jemari tanganku untuk menyentuh rambut blondenya. Pikiranku melayang ke memori ketika kami baru saja berpacaran. Hari itu kami menonton film di rumahku sembari makan kwaci. Di tengah kefokusan dalam diriku dia berkata     
"Intan, kau rakus sekali? Kulit kwacinya sampai menggunung," dia melihat mangkok tempat kulitku. Sejenak aku berpikir begitu juga tapi setelah kulirik mulutnya yang komat kamit makan kwaci lalu mangkuk kulitnya yang kosong, pemikiranku berubah.
"Lebih baik rakus daripada kau? Makan kwaci kulitnya pun kau makan," kubalas dia! Dia tergelak karena terkena kartu mati. Aku tahu dia membuang kulitnya di mangkukku.

"Kau benar-benar keras kepala Intan," suara Justin menarik diriku kembali ke dunia nyata. Lagi-lagi aku dikejutkan bagaimana dia bisa tahu bahwa aku ada di dekatnya.
"Kumohon berhentilah menyiksaku," lanjutnya lagi setelah dia duduk di atas ranjangnya. Berbicara tanpa menghadapiku. Kudengar harapan dan kepiluan tersirat di setiap suaranya.
"Aku sama sekali tidak berniat untuk menyakitimu," ungkapku lirih selirih suaranya saat berbicara padaku tadi, "aku menyayangimu kenapa kau berpikir bahwa aku menyiksamu?" perlahan aku beranjak dari lantai dan berpindah ke atas ranjangnya, duduk berhadap-hadapan dengan Justin. Kekasihku.
"Tapi justru itu yang membuatku tersiksa Intan," setelah sejenak terdiam dan membiarkan kelengangan menguasai detik-detik antara aku dan dia, "Aku juga menyayangimu seperti dirimu. Seperti yang kau katakan kemarin,"
"Lalu kenapa kau mengusirku? Kenapa kau melakukan semua ini padaku?" kuraih kedua tangannya yang sejak tadi tergenggam di atas lututnya.
"Aku sadar siapa diriku sekarang Intan, aku hanya akan menyulitkanmu."
"Harus berapa kali kubilang kalau kau tidak menyulitkanku?"
"Ini mudah bagimu tapi tidak bagiku!" mendadak suaranya kembali meninggi, dia juga membebaskan tangannya dari genggamanku.
"Kau tidak tahu betapa sakitnya hatiku setiap kali menyadari bahwa hanya ada kegelapan di depanku. Bahwa tak ada yang bisa kulakukan untuk mencapai mimpiku, bahkan apa yang sudah kucapai pun lenyap seketika," dia berbicara penuh emosi, setiap kata penyusun kalimat yang dituturkannya dia tekan dengan cara tersendiri. Sukses menyayat hatiku, apalagi ketika kudapati kabut mulai menghalangi mata hazelnya, air mata menggenang di pelupuknya dan akhirnya berbulir jatuh, menganak sungai di pipi putihnya.
"Aku bukan Justin yang bisa menjagamu, bukan Justin yang bisa memberikan yang terbaik bagimu. Aku hanya cowok buta tidak berguna yang bahkan tidak tahu kemana langkahku selanjutnya,"
Tanpa kusadari air mataku luluh juga, ketika kutertunduk, bulir-bulirnya jatuh di atas punggung telapak tanganku. Aku tak pernah melihat Justin seperti ini sebelumnya. Dia pemilik senyum terindah dan tawa terenyah yang pernah kukenal tapi sekarang dia tak kuasa menahan air mata kenestapaannya mengalir di depan mataku.
"Aku hilang, jadi pergilah," dia memiringkan tubuhnya, menghindar dariku.
Kubiarkan keheningan mengungkung ruang dan waktu. Justin mengesampingkan diri dariku sementara aku tubuhku kaku di tempat. Memperhatikan Justin yang bersusah payah menyeka air mata di pipinya tapi nyatanya pipi putih itu tetap basah juga. Sesekali dia mendongak ke atas supaya air matanya tak terjatuh lagi namun hasilnya sama saja. Aku dan dia kini sama-sama disiksa keadaan serta hati kami sendiri. Perlahan aku beranjak dari ranjang Justin. Air mataku telah kering dan menyisakan warna merah di mataku.
"Nanti malam kita jalan-jalan. Aku ingin kau wangi," kataku sebelum pergi meninggalkannya. Dia diam tak merespon, tak menolak dan tak menerima. Tapi aku akan tetap datang nanti malam.

Komentar

Postingan Populer