Ayam simbah.


Ayam simbah.

“Duh Gusti!” Untuk ke sekian kalinya setelah aku sholat subuh, kudengar simbah mengadu kepada Tuhan.
“Aku pelihara bertahun-tahun tapi harus dijual,” Lanjutnya lagi. Kuperhatikan dia dari tempatku berdiri, di depan pintu dapur. Simbah, nenekku yang telah merawatku sejak kecil itu sekarang sedang jongkok di dekat kandang ayam, mengikat kaki ayam jagonya menggunakan tali rafia.
“Ayo ndhuk berangkat,” Ajak simbah yang berjalan melewatiku dengan ayam jagon yang ia apit di sela-sela ketiak tangan kanannya. Kami melangkah melewati jalan berbatu di pinggir desa, langit di atas kepalaku masih gelap, bintang-bintang berkelip disana. Keheningan di antara aku dan simbah berlangsung sepanjang perjalanan kami menuju pasar pagi di desa sebelah, setiap suara yang ditimbulkan kain jarik simbah dan gemerosok daun jati yang tertiup angin justru menambah kelengangan.
“Kalau Yudhoyono ndak jadi presiden, kamu ndak perlu aku jual,”
Lagi! Simbah mengomel, dia memperat genggaman tangannya pada si jago. Aku yang berjalan di sampingnya memilih diam saja. Tak mau kena ciprat omelannya seperti dua hari lalu karena aku mendukung keputusan pemerintah untuk menaikkan harga BBM, meskipun sejak seminggu lalu keputusan kenaikan BBM ditunda sudah diketuk palu. Aku berkata bahwa pemerintah melakukan itu untuk menjaga kestabilan keuangan negara dan langsung saja aku diomeli sejak Ashar sampai maghrib. Simbah bilang, peduli apa sama keuangan negara yang gemuk kalau rakyatnya ndak bisa makan?
“Kalau bensin dinaikin, semua naik. Yang kena imbas sengsara bukan cuma orang kaya yang makan bensin tapi mbahmu yang naik turun gunung sampai jempol bengkak dari ndak punya gigi sampai gigi hampir rontok ini semua juga ikut sengsara. Masih mau setuju juga kamusama Yudhoyono itu padahal nyium bau bensin aja ndak pernah? Edan!”
***
“Seratus lima puluh ribu?” Simbah melengkingkan suaranya, tinggi sekali sampai refleks  kututup kedua telingaku.
 “Ini bisa laku tiga ratus ribu. Sebulan lalu ditawar orang Jakarta segitu masa cuma kamu beli seratus lima puluh,” Panjang lebar simbah berbicara lalu sejenak melirikku dan berkata
“Iyakan Na?”
“Iya budhe, sebulan yang lalu ada orang Jakarta yang mau beli tiga ratus ribu. Inikan ayam jago petarung,” Aku mengiyakan kata-kata simbah sambil menambahkan satu fakta yang lain kepada ibu-ibu pedagang ayam yang kini tengah memeriksa setiap jengkal tubuh ayam jago milik Simbah.
“Ya kalau sebulan lalu laku segitu kenapa ndak dijual saja mbah? Harga ayam hidup turun tapi daging ayam naik sejak ada BBM mau naik itu,”
“Bensinnya kan ndak jadi naik!”
“Tapi harga-harga yang sudah naik ndak bisa turun mbah,”
“Kamu aja naik sepeda ndak pakai bensin,”
Simbah bersikukuh dia menaikkan nada bicaranya lagi sampai hampir semua orang yang berada di pasar di pinggir jalan ini memperhatikan kami. Kugaruk tengkukku memikirkan berapa lama lagi negoisasi ini akan berlangsung. Matahari sudah naik!
“Ya terserah simbah saja kalau ndak mau ya silahkan tanya ke tempat lain. Siapa tahu ketemu sama orang dari Jakarta itu,”
Simbah mendesah, dia tak mungkin mendapat harga yang sesuai dengan yang ia inginkan apalagi bertemu dengan pemuda asal Jakarta bermobil kinclong itu lagi di pasar ini.
“Dua ratus ribu kalau begitu,”
Sambung simbah lagi, dia menurunkan harga, berharap mendapat kemurahan hati dari ibu pedagang.
“Seratus tujuh puluh lima,” Jawab si pedagang, dia merogoh dompet di tas belanjanya yang berada di samping tumpukkan ayam yang diikat kakinya menjadi satu.
Simbah terdiam, melihat tindakan ibu pedagang sudah tak mungkin baginya untuk berkeras hati.
“Ini mbah. Sudah bagus harga segini,” Diserahkannya uang itu kepada simbah.

Kuperhatikan wajah dan olah tubuh simbah, matanya masih memperhatikan ayamnya sementara tangan kanannya perlahan terulur untuk meraih uang yang disodorkan kepadanya. Pasti berat bagi simbah untuk menyerahkan ayam peninggalan simbah kakung ini. Sebulan yang lalu dia menolak mentah-mentah penawaran menggiurkan ketika dia baru saja bangun tidur dan sekarang dia harus bersusah payah menjual dengan harga yang jauh lebih murah. Dua hal yang sangat kontradiktif.
“Digenapi seratus delapan puluhlah budhe. Ini ayamnya dijamin bagus kok,”  Aku berbicara saat uang sudah berpindah ke tangan simbah. Ibu pedagang berdecak tapi merogoh dompetnya lagi.
“Ini, jangan minta digenapi lagi ya,” dia menyerahkan selembar uang sepuluh ribuan kepada simbah dan aku tersenyum melihatnya.
***

            Matahari sudah sepenggelah naik ketika aku dan simbah sampai di sebuah warung klontong kecil tak terlalu jauh dari rumah kami,  warung budhe Karni yang terletak di pinggir sawah. Sebuah warung klontong yang menjadi satu-satunya alasan bagi Simbah untuk menjual ayam jago kesayangannya. Dua minggu yang lalu hapir semua warga satu desa kami dihebohkan oleh kegadiran Budhe Karni si pemilik warung yang mendatangi semua rumah-rumah pelanggannya untuk mengaih hutang-hutang. Bukan tanpa alasan dan juga bukan karena Budhe Karni itu lintah darat yang tega memeras tetangganya sendiri tetapi dia sudah hamper bangkrut karena modalnya habis. Wacana kenaikan harga BBM membuat kondisi warungnya maikn tak menentu nasibnya, harga-harga naik, modal tak ada, jadi mau tak mau dia harus menagih semua hutang-hutang tetangganya supaya warungnya bisa tetap buka.
            Simbah termasuk satru dari belasan orang yang harus memutar otak untuk mendapatkan uang dalam waktu satu minggu sesuai kesepakatan dengan Budhe Karni tak punya pilihan lain. Dia mempunyai hutang hingga seratus tiga belas ribu, entah sejak tahun berapa hutang itu menumpuk yang jelas, Simbah nyaris ambruk di dekat kandang saat Budhe merinci hutang-hutangnya. Awalnya Simbah hendak menjual gaplek-gaplek saja, tapi singkong di sawah bahkan baru ditanam, tak ada cara lain si ayam jago harus dijual atau warung Budhe Karni harus ditutup. Tak mungkin Simbah membiarkan warung itu ditutup.
            “Alhamdulillah Mbah, semua sudah dilunasi jadi saya bisa belanja buat warung lagi,” Uang dari Simbah disambut gembira oleh Budhe Karni yang sedang menyapu halaman depan rumahnya. Wanita berbadan subur itu melesakkan uang dari Simbah ke kantong dasternya. Uang ayam jago simbah yang harus dijual demi warung Budhe Karni yang nyaris gulung tikar akibat terkena imbas rencana kenaikan harga BBM.
            “Kalau sudah buka saya mau hutang lagi,” Simbah disusul tawa renyah Budhe Karni.
            “Ini,” Simbah menyodrkan selembar uang dua puluh ribuan kepada Budhe Karni yang ragu menerimanya, dia tak mengerti, alisnya bertaut menandakan kebingungan.
            “Belikan daging ayam jawa untukku. Hari ini kita makan enak Na,” Jelas simbah lalau menepuk bahuku. Dia masih belum ikhlas menjual jagonya.

Komentar

Postingan Populer