Your Love 2


Your Love (bagian dua)
Narnie January
Dengan bujukan dan rayuan setan berwajah malaikat, akhirnya aku berhasil juga menyeret Justin keluar dari sangkar ungu kebanggaannya. Aku tahu dia marah, aku tahu dia tak suka, aku tahu dia tak mau tapi aku tahu satu hal bahwasanya : sekeras apa pun Justin sekarang, aku tahu dimana letak kelemahannya. Aku langsung menariknya pergi tanpa basa-basi, menutup mata, hati, telinga supaya aku bisa membawanya.
Kuayun-ayunkan tangan kami yang bergandengan satu sama lain atau lebih tepatnya tangannya yang kugandeng. Kami melangkah beriringan, dia cemberut dan aku tersenyum ceria menembus kerumunan manusia.
"Kenapa kau mengajakku kesini?" dia bertanya ketika kami telah duduk berdua di sebuah kursi kayu untuk antre naik komedi putar.
"Kau dulu sering mengajakku kesini. Alasanku sama dengan alasanmu. Jadi apa alasanmu?" kena dia! Dan aku berhasil membuatnya mendengus kesal. Dia diam lagi, entah apa yang dia pikirkan sekaramg, aku ingin tahu.
"Jangan berlama-lama, aku lelah. Biar aku disini, aku tidak mau main." dia menghentikan tanganku yang menarik lengan panjangnya.
"Ayolah Justin!" kutarik-tarik dia, jurus manjaku kugunakan sekarang. Ini manjur ketika dia mulai ramah seperti sekarang. Kelegaan merayap i hatiku menyadari dia mulai terbuka meski terpaksa terlanjur disini.
Kubantu dia menaikki area komedi putar bersama seorang petugas juga. Beberapa orang di sekitar kami mengerucutkan pandangan kepada Justin. Aku mengerti arti tatapan itu, belas kasih berlebihan. Aku tidak suka cara mereka, maka kuarahkan mataku pada mereka. Satu persatu mereka melengos karena tak suka pada tatapan tak bersahabatku pada mereka. Aku tidak peduli.
"Kenapa kau berdiri?" Justin menggenggam tanganku yang memegangi pundaknya.
"Karena kau melakukan yang kuinginkan," kulingkarkan lenganku dari bahu kiri ke bahu kanannya.
"Kau menculikku," dia mengelakkan lenganku dari bahunya. Suaranya terdengar begitu datar.
"Tapi kau memakai parfum, kau wangi."
"Aku mandi,"
"Tapi seperti parfum, ini bukan sabun" kudekatkan hidungku ke tubuhnya, mengendus, memastikan bahwa penciumanku benar adanya, "sabun mommymu ya?" Dia berdecak kesal lantaran suaraku meninggi ketika mengatakannya.

Kubimbing Justin berjalan menerobos kerumunan anak-anak kecil yang mengantre gula-gula bersama kami. Aku dan Justin mendapat teriakkan dari bocah-bocah bersinar mata penuh semangat itu karena tak mencuri start.
"Justin, aku beli minum dulu ya? Kau mau apa?"
"Coklat hangat," setelah dia menyebutkan keinginannya, aku bergegas ke sebuah kedai minum. Kutinggalkan Justin duduk sendiri di kursi beton di bawah pohon palem sembari menikmati gula-gula yang tadi kami beli.

"Hah, hangat sekali," aku mengatakan rasa yang kudapatkan setelah meneguk kopiku di depan kedai penjualnya.
Kuarahkan pandanganku pada tempat Justin tadi kutinggalkan. Ada keanehan disana dan membuatku langsung bergegas. Kuayunkan kakiku untuk berlari-lari kecil. coklat panas dan kopiku tumpah beberapa tetes karena terguncang. Sedikit membuat panas menusuk di kulit tanganku tapi apa peduliku jika Justin disana lebih penting. Sempat kutabrak seseorang, membuat bajunya kotor terkena minumanku. Dia mengomel, hanya kata maaf tanpa arti yang kuberikan padanya seraya terus berlari.
"Kau kenapa?" tanyaku ketika tinggal beberapa langkah di hadapannya. Justin menunduk dan terus mengucek-ngucek matanya, kudengar dia merintih sesekali.
"Justin?" kini aku berdiri di depannya, membungkuk, menelisik wajahnya yang tertunduk.
"Mataku panas Intan," jawabnya tegas di posisi yang sama.
Penjelasannya langsung membuat jantungku berdegup kencang, kuletakkan dua gelas minuman di tanganku.
"Coba kulihat," kurengkuh wajahnya agar aku bisa melihatnya.
Tubuhku gemetar melihat matanya yang merah nyaris menyerupai darah, tak dapat kutangkap lagi warna coklat matanya yang meneduhkan.
"kenapa bisa seperti ini?" aku seolah bertanya pada diriku sendiri.
"Panas Intan," tangannya terjulur lagi hendak mengusik matanya namun aku bergegas menampiknya.
"Berhenti menyentuh matamu! " seruku saat itu. Aku khawatir keadaan akan semakin buruk karena tindakannya.


Kugenggam tangannya yang dingin dan kaku layaknya jasad tak bernyawa. Membelai lembut telapak tangannya yang terbuka berharap dia merasakan kehadiranku dalam tidurnya. Matanya terpejam sesaat setelah dokter menyuntikkan obat di lengan kanannya. Dari sini aku mampu mendengar percakapan Tante Pattie dan Dokter di balik pintu kamar Justin.
"Dia tidak pa pa, itu hanya reaksi dari raksa yang pernah mengenai matanya. Keadaannya sama seperti yang saya bilang sebelumnya,"
"Apa dia bisa melihat lagi dokter?"
"Donor mata adalah satu-satunya solusi. Matanya sudah rusak nyonya. Tapi yang terpenting sekarang adalah perhatian penuh dan kesabaran. Justin mengalami tekanan psikologi karena ini."
Dia tak akan bisa melihat lagi. Kalimat itu terus terulang di telingaku hingga aku membaringkan tubuh lelahku di atas kasur empuk. Kuterawang langit-langit kamar diatas kepalaku seakan-akan ada jawaban di plafon putih itu. Aku ingin Justin kembali menjadi Justin yang kukenal dulu. Aku tak mau Justin terus seperti ini. Aku merindukan segala hal yang hilang bersamaan dengan hilangnya penglihatannya.
Sepucuk surat membuka lagi kenanganku bersama Justin di awal-awal pertemuan kami. Sebuah kesalahan yang berbuah manisnya cinta selama hampir dua tahun. Gadis mana yang tak terenyuh relung hatinya saat membaca rangkaian kata-kata penuh arti di selembar kertas ungu berhiaskan gambar bunga aster dan lili, wangi pula.
Jika matamu tak mampu melihatku kekasih, aku yakin hatimu akan tetap merasa bahwa aku selalu ada di sisimu. Kekasih, tidakkah kau lihat untaian kata rindu penuh makna tersirat di mataku? Kubiarkan temaram lilin mengisyaratkan rasa rindu dan inginku untuk mengiringimu. Maka tetaplah disini untukku. Tak kupaksakan diri dan hatimu. Akan kudengar secuil kata penuh makna darimu. Cukup bagiku jika senyummu telah mampu menyejukkan hatiku dari balik gelap

kutemukan surat itu terselip di kotak pensil biruku. Tanpa nama tapi sukses membuatku tersipu-sipu. Dua hari kemudian ketika aku pulang sekolah, laju langkahku dihalangi seseorang membuatku melewatkan kenek angkot lucu favoritku. Mata hazelnya yang teduh kini menatapku tajam. Dia membawa papan skate yang mencuat dari balik punggungnya. Belum pernah kulihat cowok blonde manis dan berwajah lugu ini sebelumnya meskipun aku satu sekolah dengannya. Kukira dia bule tersasar.
"Intan Sukma Utami kembalikan suratku," suaranya menggemuruh di telingaku. Surat? Jadi dia pemuja rahasiaku?
Hari-hari berikutnya dia tak berhenti mengejarku. Dia bilang temannya yang bodoh salah memasukkan surat. Hah! Apa dia pikir aku ini mainannya.
Berawal dari seringnya dia membuntutiku untuk mendapatkan suratnya itulah kami menjadi sangat dekat. Sampai sekarang pun surat yang seharusnya sampai di tangan ketua cheers tapi nyasar di ketua anak yang hobi telat dan pelupa itu, tak jua kembali ke tangannya.
"Aku menyayangimu Justin, meskipun matamu tak melihatku tapi aku tahu hatimu merasakan kehadiranku," kuusap lembut kening Justin, "akan kulakukan apa pun supaya kau kembali menerimaku sepenuh hati lagi,"

***
"Intan, tak bisakah kita sudahi semua ini?"
Aku terkesiap dalam diam mendengar perkataan yang dia ucapkan dengan nada memohon. Nada memohon kali ini berbeda dengan hari kemarin, seolah-olah dia telah menemukan nada baru saat berbicara. Tak mampu kutatap wajah lelah memucatnya, mata sendunya yang membiaskan sinar matahari di batas garis cakrawala langit barat. Aku memilih menunduk, memperhatikan gelombang kecil permukaan air danau yang tertiup angin sore. Rerumputan bergoyang-goyang menikmati buaian angin pula.
"Aku mohon Intan, tinggalkan aku dan jangan pernah menemuiku lagi. Aku tidak mau terus-menerus menyakitimu dengan memintamu seperti sekarang. Kumohon Intan, carilah penggantiku. Aku,"
"Katakan saja!" kupotong kalimatnya dengan satu bentakkan. Aku tahu dia terkejut, dia tersentak karena aku beranjak dari kayu lapuk tempat kami duduk bersama menghadap danau.
"Katakan saja semua stok kalimat di kamusmu untuk memintaku pergi. Justin!" kucengkram kedua sisi bahunya kuat-kuat. Kutatap matanya dalam-dalam meskipun dia tak mampu melihat amarah dari sorot mataku. "Aku bisa menahan semua kata-katamu, asal kau tahu bahwa hal yang paling menyakitkan bagiku adalah saat aku tidak berada di sisimu. Aku tahu kau menyayangiku, kau memintaku pergi karena kau menyayangiku jugakan? Sekarang apa salah kalau aku bertahan disini karena aku menyayangimu. Kita sama Justin,"
"Kenapa kau menyayangiku?" pertanyaan bernada datar kuterima dari bibirnya. Sebuah balasan tak sepadan dari penjelasanku yang menggebu-gebu. Perlahan kurenggangkan cengkramanku pada bahunya hingga akhirnya tanganku menggantung di udara.
"Darimana kau tahu kau menyayangiku? Mencintaiku? Bagaimana aku bisa yakin kalau rasamu tak berubah menjadi kasihan karena keadaanku? Bagaimana aku yakin kalau suatu hari nanti kau tidak akan pergi karena bosan dan lelah. Aku buta dan tidak berguna, alasan yang cukup kuat untukmu meninggalkanku."
kata-katanya menusukku hingga ke relung kalbu.
Mata dan hatiku sama panasnya setelah indra pendengarku menangkap kalimat Justin. Apa maksudnya berkata seperti itu? Dia meragukanku? Dia tidak mempercayai perasaanku padanya? Aku bertahan selama beberapa minggu di sampingnya dan dia menanyakan bagaimana kalau rasaku berubah? Mempertanyakan alasanku mencintainya?
Matahari telah tersembunyi di balik ujung langit barat namun masih menyisakan binar-binar semburat kuning kemerahan. Siluet-siluet senja di langit barat berhiaskan mega-mega yang membiaskan sinar matahari. Megah nan mempesona. Desir angin menambah suasana kaku dan dingin di antara aku dan Justin. Kami dikungkung keheningan petang, terasa sekali hingga merasuk jauh ke dalam hatiku.
"Apakah menurutmu cinta membutuhkan alasan Justin?" setelah terdiam, kubuka mulut lagi untuk memulai percakapan yang sempat terhenti, "apakah ada alasan juga kenapa kau mencintaiku? Bukankah cinta tulus itu tak memerlukan imbalan yang muncul dari sebuah alasan? Lantas kenapa kau mencintaiku Justin? Berdasarkan apa selama dua tahun ini kau selalu bersamaku?" gigiku bergemeletuk ketika sampai di kalimat terakhir. Sumpah demi apa pun juga, kalimat Justin menimbulkan persepsi menyesakkan di benakku.
"Katakan alasanmu Justin!" untuk kali kedua di petang ini aku membentaknya karena emosi membuncah dalam diriku terus mendesak keluar.
"Justin katakan padaku!" kuraih bahunya dan menekannya kuat-kuat. Aku tahu mungkin aku menyakitinya sekarang tapi aku tak tahu cara lain supaya dia mau berbicara.
"Apa kau menjadikanku mainanmu? Semua orang di sekolah mengecapku sebagai gadis bodoh! Aku siswa ranking sepuluh dari bawah! Tidak memiliki bakat! Selalu dihukum karena terlambat, tidak mengerjakan PR, tidak membawa buku pelajaran! Apa kau mencintaiku karena kau ingin mendapatkan mainan konyol? Hal apa yang bisa menjadikanmu mencintaiku selama ini? Ha! Kau mempermainkanku Justin! Aku tak punya apa pun! Apa karena suratmu masih ada padaku? Apa itu alasanmu? Kau jahat!" kupukul bahunya,
Terus kupukuli dia, bahu dan dadanya kukoyak sementara bibirku terus melontarkan kalimat-kalimat kebencianku padanya. Aku membencinya yang telah menyakitiku, alasan bodoh apa yang membuatnya mencintaiku? Sejak dulu kuanggap dia sebagai orang yang tulus padaku. Seharusnya dia tidak memiliki alasan bodoh. Kalau pun punya, apa yang ada dalam diriku hingga dia menyayangiku. Aku tak punya apa pun.
"Aku mencintai sikap dan hatimu," akhirnya dia membuka mulut tapi masih tak terlalu menarik perhatianku. Aku tetap mengguncangkan tubuhnya meski dengan tempo melambat. "Alasanku mencintaimu adalah karena aku merasa nyaman berada di dekatmu. Kau membuatku bahagia dan mengalihkan rasaku yang awalnya tertuju pada Debbie. Aku tertarik pada sikapmu yang apa adanya. Aku memiliki pandangan berbeda tentang cinta Intan,"
detik itu juga kuhentikan tanganku. Tak kusentuh lagi bahunya, kini kupandangi dia yang duduk dalam kepayahan, aku mampu melihatnya meski malam telah membayang.
"Tidak mungkin tidak ada alasan. Orang yang tidak pernah bertemu atau mengenal tidak mungkin mencintai. Jadi apa salah kalau kukatakan cinta membutuhkan alasan? Alasan awalku mencintaimu adalah karena keceriaanmu, kebaikan, kepolosan dan kebebasanmu. Aku nyaman di dekatmu. Tapi jika kau tanyakan kenapa aku bertahan selama dua tahun ini denganmu maka jawabanku adalah karena aku mulai mencintai semua yang ada pada dirimu."
"Lalu? Kenapa kau memintaku pergi?" kalimat ini begitu berat kuungkapkan. Kalimat Justin membuatku tak berkutik, dia mencintaiku dengan caranya sendiri. Dia cowok terbaik yang pernah kukenal dan dia mencintaiku.
"Karena kau dengan segala hal yang kusayangi tapi aku tak memiliki lagi yang kau sayangi," sama sekali tak kupahami makna dari jawabannya. Kutunggu dia sampai berbicara lagi, dan hal yang kudapat sebelum dia membuka mulut adalah kabu di matanya. Kabut dari air mata menggenang di pelupuknya. Sebulirnya hendak menetes namun Justin bergegas menyekanya dan memalingkan muka.

Kutatap nanar punggung Justin yang perlahan lenyap di kegelapan. Dia berjalan tergopoh-gopoh, terseok-seok menembus kegelapan matanya yang lebih gelap daripada kegelapan malam. Aku hendak berlari menghampirinya namun seorang pria tua telah terlebih dulu datang untuk membantunya berjalan pulang. Bulir-bulir air mata tak mau berhenti mengalir dari mataku, membuat pipiku basah. Hawa dingin merambat tulang punggungku sementara dadaku terasa panas. Dua rasa kontradiktif menyiksaku dalam satu waktu. Aku merosot jatuh di tanah berumput, kakiku tak kuat lagi menahan bebanku.
Aku menyayanginya tapi kenapa aku begitu bodoh mengatakan hal-hal tak berguna. Aku tahu Justin tipe orang perasa dan perhatian, setiap kataku pastilah dia cerna dengan begitu dalam
"Kau selalu bilang apa jadinya aku tanpamu setiap kali aku membantumu membukakan pagar rumah tuamu yang berkarat dan tak mau dibuka kecuali dengan satu tendangan kakiku. Kau selalu bilang aku beruntung mempunyai pacar pintar dan mau membantuku belajar, aku bangga mempunyai pacar yang jago bermain skateboard, basket dan hoki, kau selalu bilang aku bahagia mempunyai Justin yang sudah seperti jam wekerku jadi aku tidak perlu memasang wajah memelas pada satpam untuk bisa masuk sekolah, dan kau juga selalu bilang bahwa mataku adalah mata terindah yang pernah kau lihat.
“Tidak tahukah kau betapa aku tersiksa karena aku takut hatiku terlalu berharap banyak padamu? Intan, aku tak bisa membantumu membuka pagar lagi, letaknya pun aku tahu. Aku tak bisa membantumu belajar, melihat huruf pun aku tak bisa. Aku tidak bisa bermain basket, skateboard dan hoki karena berjalan pun aku tak mampu. Aku tidak bisa menjadi wekermu karena aku sendiri tak bisa beranjak dari kegelapan. Mataku apa masih seindah dulu? Tidak ada binar lagi di mataku, hanya gelap. Aku tidak mau membawamu dalam kegelapan hidupku. Kau bilang aku bahagiamu, tapi aku sudah kehilangan diriku Intan. Jadi maafkan aku, aku tak bisa membahagiakanmu. Maaf,"
Kalimat Justin langsung menusuk hatiku, membuat bulir-bulir bening jatuh dari pelupuk mataku. Tubuh kakuku gemetar dan membuatku lemas kehilangan keseimbangan. Aku tak mampu menghalangi kepergiannya dengan tuturku apalagi tanganku, hatiku pun tak kuasa untuk menyebutkan namanya.
Masih tergambar jelas di mataku bagaimana air mata mengalir dan menganak sungai di pipi Justin. Tapi kekasihku itu terus berusaha menyekanya setiap kali dia menunduk. Aku tahu kenapa dia tak pernah membiarkan pipinya basah karena air mata. Kehidupan dan kekerasan hatinya yang memaksanya membuat satu kalimat patokan hidup.
'Aku tidak mau menangis lagi, cukup saat Daddy dan mommy berpisah. Aku tidak mau membuat Mom menangis karena aku menangis,'
Dia sudah mengeraskan hatinya, tidak mau membuat orang lain bersedih. Tapi aku, gadis yang mengaku menyayanginya dengan setulus hati dan baru saja menuntut ketulusan darinya justru membuatnya menangis. Justin maafkan aku. Maafkan aku.
Kubasuh wajahku berulang kali lalu kutatap bayanganku sendiri di cermin belakang washtafle. Air dan sabun tak kunjung mampu membuat wajahku nampak segar. Masih saja kusut seperti tumpukan pakaian kotor di keranjang cuci. Mataku bengkak dan merah lantaran menangis semalam. Aku tidak mau terlihat konyol dan menarik perhatian karena wajahku yang tak sedap dipandang.
Kubuka jendela kamarku dan kubiarkan sinar matahari meresap untuk menghangatkan tubuhku, mengeringkan rambut basahku setelah keramas. Sejenak kupejamkan mata dan kunikmati tiap oksigen yang kuhirup dan mengisi paru-paruku. Terasa nyaman dan menyejukkan semakin menenangkan dengan denting piano yang lembut mengalunkan lagu Somewhere Over The Rainbow.
Somewhere over the rainbow? Piano? Segera kubuka mataku dan kudapati sosok Justin yang tengah memainkan piano di dalam kamarnya. Jendelanya terbuka namun tirainya tak tersingkap. Angin yang berhembus sedikit membantu, sesekali aku mampu melihat dia yang memunggungiku.

When all the clouds darken up the skyway
There's a rainbow highway to be found
Leading from your window pain
To a place behind the sun
Just a step behind the rain
            Kulantunkan lirik lagunya bersamaan dengan alunan permainan piano Justin. Seperti biasanya, seperti biasanya saat kami menyanyikan lagu ini, lagu favorit kami.  Just a step behind the rain, itulah bagian yang paling kusukai. Just a step behind the rain. Kucerna baik-baik maksud dari lirik lagu itu. Benarkah ada langkah? Apakah akan kutemukan sebuah jalan menuju pelangi, jalan untuk menemukan satu tempat lebih baik dari satu pesakitan? Seulas senyuman kusungging ketika satu pemikiran terbesit di benakku.
"Justin I love You!" seruku tiba-tiba dan seketika itu juga denting piano tak lagi terdengar. Dia mendengarku, tapi masa bodoh bukan itu yang menjadi tujuan dari seruanku, aku hanya ingin memberi semangat pada diriku sendiri. Entah kenapa kalimat itu yang terlontar. Aku bergegas melompat ke tempat lain, menuju rak buku di dekat meja belajarku. Kusapukan pandanganku ke setiap sudut rak sampai akhirnya kutemukan satu benda yang kucari. Alat perekam suara.

 Kuhembuskan napasku perlahan lewat mulut berharap udara panas dalam dadaku berkurang dan mampu membuatku merasa lebih baik. Sudah empat hari aku tidak memijakkan kaki disini, di depan rumah Justin. Aku tidak pernah datang sejak hari itu, hari dimana kulihat dia menangis. Kusematkan doa dan harapan pada setangkai bunga matahari segar dan satu kotak berwarna ungu yang kutinggalkan di depan pintu rumah Justin. Setelah kuketuk pintu rumahnya, aku bergegas pergi dan beranjak untuk bersembunyi di balik pagar rumahnya.
"Aku hanya ingin kau bahagia Justin, maaf  jika aku tak bisa menjadi sebaik dirimu bagiku." kataku setelah tante Pattie muncul dari balik pintu dan memungut bunga serta kotakku. Aku mampu menangkap raut bingung di wajahnya. Perlahan tubuhku merosot ke tanah, duduk bersandar di tembok. Apa yang kulakukan ini benar?

Komentar

Postingan Populer