Last Song (bagian delapan)

Semburat-semburat terang dari balik bukit di sisi timur. Pagi terasa lebih cepat jika berada di ketinggian. Dingin menusuk, mulai hari itu Justin dan Dillan memutuskan untuk kembali menggunakan rompi kulit mereka yang berlambang Parvana.

Justin mengubur sisa pembakaran api unggun mereka untuk menghilangkan jejak. Nhika tak jadi naik ke atas pelanya, dia memperhatikan pohon apel yang telah berbuah banyak bahkan beberapa di antaranya masak.
"Dillan, apa kemarin pohon itu ada?"
Dillan pun mengalihkan perhatiannya dari pelana yang dia pasang di punggung kudanya. Memperhatikan pohon setinggi hampir tiga meter di hadapan Nhika yang berdaun dan berbuah lebat.
"ehm," Dillan mengerutkan kening, berusaha keras untuk mengingat-ingat.

"Ada," sahut Justin sembari naik ke atas pelananya, "aku melihatnya. Kenapa?"
"Apa benar ada? Aku sama sekali tidak ingat. Buahnya juga sempurna, mana mungkin kemarin aku melewatkannya."
"Ehm,"
"Hei!" Justin kembali memotong, dia membuat Dillan berhenti di tempat yang sama, "Kemarin gelap. Ayolah, untuk apa membuang waktu untuk hal yang tidak penting. Cepatlah! Kita sudah kehilangan banyak waktu." Justin menghentakkan kaki dan menepukkan tangannya, lagi-lagi melesat dengan kuda putihnya.

Melaju dengan kecepatan yang lebih, sebuah barisan dari laju kuda seperti panah. Tak ada bebatuan lagi. Tanah berumput membuat perjalanan lebih mudah, medan menyenangkan dan tak menyakiti badan. Sesekali mereka berhenti, untuk minum dan membiarkan kuda-kuda merumput. Mengisi tenaga.

"Air terjun sudah terlihat," Nhika yang duduk di sebongkah batu besar menunjuk segores garis putih keperakkan di ujung padang rumput panjang dan luas di hadapan mereka. Terapit di sela sela tebing berbatu hitam.
"Bagaimana cara menyebrangnya?" Dillan menatap Justin yang berdiri mengamati keadaan di bawah bukit.
"sebuah cara menyenangkan yang harus kalian rahasiakan,"


"Apa itu?" Nhika memperhatikan Justin, menunggu jawaban dari Justin yang duduk di rerumputan sembari memegangi kalungnya. Memindahkan tenaganya ke dalam bandul batu aquamarine bentuk unicorn, menjadikannya sebagai cadangan.
"Kau akan tahu setelah kita sampai." hanya itu yang diucapkan Justin. Nhika mendengus kesal, selalu seperti itu.

Justin beranjak dari tanah berumput yang didudukinya, beralih beberapa langkah. Berdiri, mengamati sisi barat dimana hutan Fiur yang lebat dijadikan sebagai benteng terkokoh bagi Kekaisaran , hutan hijau yang terbentang luas dan menghalanginya untuk dapat melihat kemegahan istana raja. Setelah puas, Justin memutar pandangannya ke langit di timur laut, di balik bukit kecil yang menjadi tujuannya, langit nampak lebih putih disana.
Perlahan Justin menghela napas dan menghirup dengan tempo yang sama. Sedikit merentangkan kedua lengan, matanya terpejam dan dia akhirnya mendapat ketenangan dari setiap sepoi angin yang berhembus membawa aroma basah dan lembab.
"Dillan," sesuatu yang tak biasa mengejutkan Justin sejurus dia melangkah cepat mendekati Dillan dan Nhika.
"Ada apa?" Dillan berdiri begitu pula dengan Nhika.
"lihat itu," jawab Justin sembari melihat ke langit sebelah timur, dia meraih busur dan menarik anak panah dari tabungnya.
"Weirnablaka," suara Dillan nyaris tak terdengar, tangannya reflek mencengkram gagang pedang yang dia sandang ketika dia mendapati dua burung besar berwarna hitam pekat, berparuh dan bercakar tajam. Di punggung hewan sebesar dua ekor sapi itu ada makhluk berjubah hitam yang mengacung-acungkan pedang hingga atas kepala. Jarak mereka semakin dekat.
"Apa mereka seperti Zargol?"
"Lebih buruk dari itu yang mulia,"

Justin menyiapkan busur dan anak panah berbulu emas miliknya, mengarahkannya sebelum makhluk-makhluk itu semakin dekat dan mengancam.

Panah melesat lurus dan tajam tepat mengenai dada si burung. Raungan di udara menggema hingga lembah.

Raungan yang membahana di udara, memekakkan telinga. Anak panah bermantra yang dilepaskan Justin tadi tepat mengenai dada si burung. Membuat burung mengerikan itu kehilangan keseimbangan dan kesakitan. Penunggang di atasnya menjerit-jerit hingga terdengar seperti lengkingan kecil.
"Lari!" perintah Justin. Dia, Nhika dan Justin bergegas menghampiri kuda kuda yang dibuat resah oleh raungan memekakkkan telinga Weirnablaka. Dengan satu hentakan kaki di kuda, ketiganya melesat dengan kecepatan tinggi. Dillan yang berada di barisan paling belakang menengok ke belakang, satu darh Weirnablaka yang tak diserang Justin memilih meninggalkan kawannya, mengejar mereka bertiga.
Napas Justin memburu, dia mengawasi jalan kudanya yang mulai tak teratur karena keresahan.
Mendadak kuda Justin berhenti, kaki depannya terangkat hingga beberapa kaki dari tanah. Justin bergegas menarik tali kekamgnya. Nhika dan Dillan turut berhenti.
Bayangan hitam menghalangi sinar matahari. Buk! Kepakan sayap yang penuh tenaga menghentakkan udara, menjadi pukulan luar biasa. Buk! Tanah terguncang ketika dua cakar besar mencapai tanah. Weirnablaka yang ditunggangi Xriev, makhluk tinggi seperti manusia bermata merah, kepalanya yang nyaris lancip ditutupi dengan jubah hitam hingga menghalangi mata Justin untuk menatap wajahnya.
"Jjjangan hhharap kau bisssa perrrgi," Xriev itu mengarahkan mata pedangnya ke Justin, suaranya berat mengisyaratkan kematian bagi setiap pemilik telinga yang mendengarnya.
Tubuh Nhika gemetar, dia dalam ketakutan yang luar biasa. Dillan perlahan menarik pedang dari sabuknya.
"Pergi atau mati!" sejurus Justin melompat dari kudanya, mencabut Gaw'Jury dan mengarahkannya ke kepala Xriev, tapi berhasil dihalau oleh Xriev dengan pedang besar milik makhluk itu. Tak kehilangan akal, Justin yang nyaris jatuh ke tanah, menghentakkan kakinya di sayap Weirnablaka, melompat, berputar dan memberikan tendangan di dada si Xriev, menjatuhkan musuhnya ke tanah.

Justin terjatuh dan terguling dua kali di tanah berumput. Weirnablaka kembali meraung, dia mengepak-ngepakkan sayap raksasanya membuat tekanan udara yang membahayakan. Keadaan memaksa Dillan melompat turun dari kuda. Dia menyuruh Nhika bersembunyi di balik sebongkah batu besar disana. Gadis itu menurut, dia bergegas turun dari kuda yang langsung melesat pergi karena ketakutan.

Justin dengan gesit berdiri dan langsung menghampiri Dillan. Mereka berdiri berjajar, mengarahkan mata pedang mereka yang berkilauan memantulkan sinar matahari ke arah Weirnablaka dan Xriev di hadapan mereka. Dua makhluk menjijikkan itu bergerak, mereka bergeser ke samping., ke arah yang berbeda. Tanpa disadari oleh Justin dan Dillan, mereka berdua yang tadinya menghadap ke arah yang sama, kini telah menjadi beradu punggung. Justin berhadapan dengan Weirnablaka dan Dillan dengan Xriev yang napasnya berdesis memunculkan aroma busuk.

"Mereka memilih musuhnya sendiri-sendiri," Dillan berbicara penuh semangat.
"Pecahkan kepalanya dan selesai. Ingat! Harus pecah atau dia hanya akan membelah diri."
"Aku tahu itu, kutitipkan punggungku padamu. Aku tidak mau paruh busuk musuhmu itu melukaiku karena kebodohanmu."
Justin tersenyum kecut mendengar pernyataan Dillan.

Tanpa diduga, Weirnablaka itu mengarahkan cakarnya ke Justin tapi Justin berhasil menghalanginya menggunakan badan pedangnya, kemudian mendorong dengan posisi yang sama. Makhluk itu mengerang kesal karena dibuat nyaris terjatuh oleh Justin.

Dillan melompat ketika Xriev mengarahkan pedang hitan ke bawah, hendak berusaha menebas kaki Dillan. Komandan batalion itu balik menyerang. Dia menghunuskan pedangnya, sesekali mengayunkannya setelah berputar. Gerak tipu, Dillan mengayunkan pedang ke atas kepala membuat Xriev mendongakkan kepala. Saat itu juga Dillan menendang dada Xriev, menjatuhkannya ke tanah. Dia melompat ke Xriev bersiap memecah kepala musuhnya tapi dia kalah cepat dan hanya mampu melukai lengan si kepala lancip.

Justin terpojok, dia berdiri di tepi bukit dengan kuda-kuda yang tak seimbang. Sejenak dia melirik ke bawah, jurang dalam yang berbatu. Dia meringis, menebak-nebak hal buruk yang akan terjadi padanya jika dia terus seperti itu. Di depannya, Weirnablaka mengangkat kedua cakar besarnya untuk menerkam Justin. Tak ada pilihan lain, secepat kilat Justin mengarahkan telapak tangan kanannya ke paruh Weirnablaka dan meneriakkan mantra, "Bodrag holkenkat!" dalam sekejap raungan Weirnablaka terhenti. Burung raksasa itu mendadak menjadi kaku, hanya matanya yang mampu memberi isyarat bahwa dia terkejut atas hal yang dilakukan Justin kepadanya.
Justin mendapati adanya keresahan ketika menatap mata lawannya. Dia langsung bergegas melompat ke punggung Weirnablaka yang bersisik dan dipenuhi duri. Dia berdiri tegak, mengangkat Gaw'Jury hingga atas kepala dengan posisi ujung pedang menghadap ke bawah. Sejenak dia menutup mata sembari menarik napas panjang.
"Aaah!" teriaknya seolah memberi kekuatan ketika dia membuka mata dan menghunuskan pedangnya ke punuk Weirnablaka.

Tak ada erangan dan raungan kesakitan ketika darah hitam pekat muncrat dan membasahi pakaian serta beberapa mengotori wajah Justin. Dia segera melompat turun. Bersamaan dengan saat kaki Justin mencapai tanah, Weirnablaka telah lenyap berubah menjadi debu hitam.
"menyenangkan," Justin mengomentari pertempurannya sendiri seraya mengusap darah weirnablaka di wajahnya dengan lengan bajunya.

"Justin!" suara Nhika yang datang dari atas kepalanya mengejukannya. Justin mendongak dan mendapati Nhika duduk di atas punggung Weirnablaka yang tadi dia panah, bersama dua Xriev.
"Dillan," desahnya, dia celingukkan mencari kawannya dan mendapati Dillan terkapar di tanah dengan kondisi terlentang dan terengah-engah.

"Apa yang kau lakukan?" Justin bergegas menghampiri Dillan, jongkok di samping Dillan dan memeriksa keadaan Dillan.
"Rusukmu," ucapnya sembari meletakkan telapak tangannya di atas dada Dillan.

"Tenang," Justin membenarkan posisi Dillan yang sedikit miring menjadi segaris dengan tanah, "rusukmu rusak. Ini akan sedikit sakit tapi kau akan benar-benar sembuh." justin merobek rompi Dillan menggunakan pedangnya kemudian membuka kancing kemeja Dillan, nampak dada Dillan yang lebam keungu-unguan dengan tonjolan tulang di beberapa tempat.
"Welsemra," Justin mengucapkan mantra utama yang bermakna sembuh kemudian dia menggumamkan beberapa mantra untuk memperbaiki tulang-tulamg Dillan. Rasa sakit yang menusuk membuat Dillan mengerang kesakitan. keringat menetes dari kening Justin, mantra itu lumayan menguras energinya. Dia terus menggerakkan telapak tangan kanannya di dada Dillan. Rasa sakit perlahan menghilang , beruch menjadi gatal yang menggelitik hingga Dillan merasa seperti lahir kembali. Justin terduduk ke belakang, dia kelelahan.

Dillan bangun, dia duduk dan menggerak-gerakkan dadanya, memainkan napas untuk memastikan bahwa tidak ada masalah lagi pada tubuhnya.
"Terimakasih Justin," katanya ramah seraya bangkit dan membantu Justin berdiri.
"Kita harus menyelamatkan Nhika, aku tahu sarang mereka. Searah dengan perjalanan kita." Justin melangkah diikuti Dillan menuju kudanya.
"Kau tahu?"
"Ya," jawab Justin seraya jongkok untuk membersihkan Gaw'Jury dengan menggosokkan di rerumputan kemudian berdiri dan memasukkannya ke dalam sabuknya.
"Tinggalkan kudamu. Aku punya kendaraan yang lebih bagus," Justin memerintah sembari melangkah ke depan kuda putihnya.

Dillan memperhatikan Justin yang sedang meletakkan bandul kalungnya di kening kudanya. Dia memejamkan mata, bibirnya menggumamkan mantra panjang dam rumit yang sulit dimengerti Dillan. Cahaya ungu berkeliauan yang menyilaukan mata tiba tiba muncul dari persatuan bagian tubuh kuda Justin dengan bandul kalungnya. Mendadak cahaya yang lebih terpancar dari seluruh tubuh si kuda. Dan di saat cahaya itu memudar, Dillan mendapati Justin yang duduk di atas seekor pegasus.

Komentar

Postingan Populer