Last Song (bagian Dua Belas) ENDING

Dalam malam terang bercahaya bulan purnama yang Nampak seperti tempayan berkilauan, tergantung di langit cerah tak berbintang. Justin menatap mata Narnie Marleenos yang hitam kemerah-merahan. Mata tajam seperti elang yang sangat ia kenal, mata tajam yang dia lihat enam tahun lalu saat dimana kebahagiaan terbesar dalam hidupnya pergi, lenyap dari bumi. Dia ingat benar bagaimana si pemilik mata itu menusukkan pedang yang kini dia genggam ke dada dan kepala kedua orang tuanya, bagaiman pertempuran antara kedua orang tuanya dengan wanita berpakaian serba hitam itu. Wanita yang membuat kakaknya tega meninggalkannya dan menyakiti hatinya dalam tahun-tahun menyakitkan yang terasa abadi.
“Senang bias bertemu denganmu lagi anak manis,” Wanita itu membuka mulut, suaranya lembut tapi tegas dan mampu membuat jantung Justin berdetak lebih cepat,”Kau tumbuh lebih cepat dari yang kubayangkan. Dan kau mendapat yang kau inginkan. Warisan kedua orang tuamu.”
“Jangan banyak bicara. Aku bukan anak manis bodoh lagi! Seharusnya kau lari setelah melihatku,” justin menutup helm besinya, mengangkat Gaw’Jury hingga atas kepala. Dia berdiri dan dalam waktu yang tak mampu dihitung oleh Narnie Marleenos, Justin telah berpindah tempat,. Bayangan hitam dari ketinggian di atas kepala, tunik ungu berkelebat seseklai mengahalangi mata Narnie untuk mampu menatap rembulan. Ujung pedang berkilau memantulkan cahaya jingga sang rembulan,silau.
“Membusuklah kau! “ seruan Justin membahana, dia mengayunkan Gaw’Jury ke arah kepala Narnie yang terbelalak terkejut atas kecepatan Justin. Narnie Marleenos berdiri, dia bergegas sebelum Gaw’jury membelah kepalanya, melompat menyambut Justin, menendang dada Justin yang langsung terpental beberapa meter ke udara, tapi berhasil menyentuh sayap gargantara menjadikannya sebagai tumpuan sejenak untuk kembali mengarahkan diri ke musuhnya, mengibaskan pedang dan berhasil melukai lengan wanita itu. Mereka meluncur ke bawah, terguling beberapa kali bahkan terpental melompati satu dua mayat.
Justin tertelungkup, dia mencoba berdiri menggunakan Gaw’Jury,. Menancapkan pedang itu di tanah sebagai penopang. Dadanya sesak, saat membungkuk dia meludahkan darah yang mendesak keluar. Narnie Marleenos melompat dari pijakannya, menarik pedang ramping dari sarung pedangnya dan berlari untuk menghunuskan benda berkilau itu ke Justin yang memunggunginya.

Mayat-mayat kembali tergeletak tak berguna di rerumputan tapi masih ada beberapa Zargol dan pasukan Kaum Marleen disana yang siap menyerang. Nhika, Dillan, Rona dan beberapa prajurit Driana yang tersisa kembali bersiaga, menggengam senjata mereka kuat-kuat. Semangat mereka kembali berkobar setelah kehadiran Justin bersama hewan legenda Gargantara.
“Shairv! Bawa Nhika pergi dari sini.” Ucap Dillan seraya memasang kuda-kudanya ketika satu Zargol dating dari kejauhan,  melangkah dengan kaki lebarnya mendekati Dillan sembari mutar—mutar gada di atas kepala.
“kau pikir kau bisa mengalahkannya sendiri?”
“nhika! Apa yang kau lakukan?” Dillan menggertak ketika mendapati Nhika yang justru berdiri di sampingnya dengan sebuah tombak bersama Shairv
“Bertiga lebih baik untuk menghadapi makhluk seperti dia. Kau lihat ujung tombakku?” Nhika melirik ujung tombaknya yang berlumuran darah kering, “Lima mayat mati untuk kedua kalinya karena aku.” Gadis itu membanggakan diri
“Asal yang keenam bukan aku, baiklah.” Dillan tersenyum tipis
“Apa rencanamu?”
“Serangan membabi buta untuk menusuk kepalanya. Apa pun caranya yang penting dia memberiku bau busuk!” sejurus Dillan berlari, Nhika mengikutinya dari belakang kemudian Shairv menyusul, melonglong untuk menambah semangat dirinya dan menakut-nakuti lawan.

Di langit pertempuran terbesar terjadi. Naga hitam milik Narnuie Marleenos menyemburkan api dari mulutnya untuk membakar Gargantara yang tak gentar menyerangnya denagn cara yang sama. Mereka salaing menyerang dengan semburan-semburan api dan cakar-cakar tajam mereka. Sesekali Gargantara berhasil mendekat dan menggigit  leher si naga, berusaha melumpuhkannya. Dia berhasil melumpuhkan gerak kaki kiri dan sayap kanan naga itu, membutanya kesulitan untuk bergerak bebas apalagi member serangan berarti.

“Ahhh!” Justrin berteriak! Dia mengumpulkan tenaganya di ujung pedangnya, sebisa mungkin menyerang Narnie Marleenos menggunakan pertempuran langsung, secara fisik. Justin tahu bahwa dia tak mungkin menang melawan si ratu sihir itu jika harus bertempur menggunakan sihir. Justin membungkuk ketika Narnie berhasil mendapatkan posisi yang tepat untuk menebas lehernya,. Tak menyia-nyiakan setiap detik miliknya, dalam posisi itu juga, Justin mendorong perut Narnie dengan kepalanya, sekuat tenaga. Narnie terdorong ke belakang. Justin berdiri sejenak untuk menghirup oksigen sebanyak-banyaknya lalu dalam hitungan detik saat Narnie masih berusaha mendapatkan keseimbangan tubuhnya, Justin maju dia berlari lalu memperhatikan titik yang menjadi incarannya. Jantung Narnie Marleenos.
Harus bisa, tidak ada kesempatan seperti ini lagi. Justin memeberi semangat dirinya sendiri. Dia berlari sembari mengarahkan ujung Gaw’Jury  untuk menusuk Narnie. Wanita itu yang membunuh ibu dan ayahnya, membuat kakaknya gila untuk berpihak kepadanya dan meracuni otak kekasihnya. Dia penghancur hidupnya dan dia harus mati sekarang juga di tangannya. Panas di punggung Justin tibva-tiba meledak, panas yang mentikasa dan langsung membuat larinya terhenti, dia terhuyung dan jatuh ke depan.
“Lemah,” tap tap tap, suara kaki Narnie Marleenos dia telah berdiri dan sedang berjalan pelan-pelan menghampiri Justin. Justin mendongakkan kepala dan mampu melihat wanita itu membenarkan posisi pedang di tangannya. Semakin dekat dan semakin dekat seperti dewa kematian yang siap mencabut nyawa Justin dengan ujung pedang itu.
“Kau, walau dalam tubumu mengalir darah dari Kaum Marleen tapi kau lemah. Lihatlah dirimu sendiri, seperti kelinci dalam jerat lebih baik mati daripada bertingkah seperti ibumu yang bodoh itu.” Kini dia telah berada di atas kepala Justin, mengangkat pangkal pedang hingga atas kepala.

“Argh!” Jeritan kesakitan memenuhi langit seperti erangan dunia yang tak terima akan kekacauan yang terjadi padanya malam itu. Naga hitam jatuh melayang lebih cepat dari darahnya yang bercucuran dan membasahi tubuhnya sendiri. Bumi berguncang ketika dia mencapai tanah.


Napas Justin terengah-engah, dalam detik-detik terakhir dia berhasil berdiri dan langsung menghunuskan Gaw’Jury tepat di jantung musuhnya yang telah dia dia pukul mundur beberapa kali lalu menendangnya hingga jatuh terkapar. Menunggu kematiannya.
Justin memperhatikan wanita itu. Narnie Marleenos yang menatapnya tapi lama-kelamaan ada keanehan pada sosok itu. Mata hitam kemerah-merahannya perlahan berubah warna, menajdi kehijau-hijauan. Warna hijau yang sanagnt kenal. Tubuh Justin kaku, pikirannya membeku berharap dia mati saat itu juga daripada menyadari siapa sebenarnya yang tergeletak di hadapannya. Orang yang memberikan luka di punggungnya.
“Omesa,” Justin nyaris terjatuh lunglai tapi dengan sisa-sisa tenaga dan kesadran dirinya, dia berhasil menopang tubuhnya dengan kaki kirinya. Dia tak percaya denagn apa yang dia lihat , Gaw”jury dalm kekusaan tangannya telah berhasil ia tusukkan di dada musuhnya. Narnie Marleenos tapi dalam hitungan detik sosok itu berubah menjadi wanita yang lahir dari rahim yang sama dengannya, Omesa.
Justin menatap Omesa yang terkulai lemah, bersimbah darah. Tak ada kata terucap dari bibirnya yang ternganga.
“Kau,” kata Omesa bersusah payah seraya menggerak-gerakkan jemari tangan kanannya yang terkapar di tanah kea rah Justin, “Kau, a aku sangat membencimu. Semua yang kuinginkan kau dapatkan karena kau laki-laki,” Dia membalas tatap mata Justin, masuk ke dalam keteduhan sinar mata adiknya yang kini tak mampu berbuat apa pun karena dikuasai keterkejutan. Justin tahu bahwa Omesa tidak akan bertahan lebih lama lagi.
“Matilah bersamku,” lanjut Omesa. Dia mengepalkan telapak tangan kanannya bersamaan dengan itu Justin melotot, terkejut lalu bertekuk lutut, menopang tubuhnya dengan GAw’Jury yang dia tancapkan di tanah. Rasa sakit luar bias meledak di sekujur tubuhnya. Sakit tak tertahan  dan membuatnya tak mampu untuk berteriak, menjerit meinta tolong, dia tercekat sihir Omesa. Panas di punggungnya  mulai ikut menyerang. Justin memperhatikan Omesa yang terus bersusah payah , mengerahkan sihirnya untuk meremukkan organ-organ dalam tubuh Justin. Ada keterkejutan di mata Omesa, Justin mampu menangkap dan memahami kenapa dia seperti itu. Kakaknya pasti tahu tentang  kondisinya sekarangm tahu tentang tubuh Justin dan derita di dlamnya.
“kau bodoh,”
“Justin!” Nhika berseru, dia dating bersama Shairv meninggalkan pertempurannya sendiri. Terbang menukik tajam kea rah Omesa. Bhug! Shairv mendarat tepat di hadapan Omesa, menyepak wanita itu hingga terguling beberapa kali, saat itu juga perlahan gaw”jury  terlepas dari genggaman Justin, dia lunglai ke tanah, pandangnnya memudar tapi dia masih mampu menatap ke dalam mata Omesa yang langsung beertemu pandang denagnnya dalkam jarak belasan meter.
“jangan melakukan hal bodoh,” Justin mampu merasakan sentuhan benak omesa. Kali ini kakaknya berbicara dengan suara lembut dan penuh kasih saying sama seperti  saat dia baru  belajar  memanah di usia empat tahun. Omesa mengajarinya  tapi karena dia tidak berhati-hati, Jarinya tergores ujung anak panah. Kaliamat itu juga yang diucapkan Omesa sembari mengobati luka Justin menggunakan sihirnya. Semua suara lenyap, pandangannya menjadi gelap dan rasa sakit luar biasa di tubuhnya tak terasa lagi. Semua binasa. Justin tak tahu apa pun lagi. Hilang.


Rona menapakkan kakinya, setapak demi setapak di padang rumput Driana. Rumput hijaunya kini berubah menjadi merah. Hamparan karpet hijau alam menjadi karpetmerah dari neraka, bukti dan saksi bisu segala kenestapaan dari peperangan semalam. Puluhan mayat dan potongan mayat masih tergeletak disana sementara sebagian besar telah diangkut untuk dimakamkan secara layak sebagia bukti penghormatan. Bau busuk Zargol masih tercium dan di beberapa sudut tempat sangat menusuk. Rona memejamkan matanya, setitik air matanya jatuh ke bumi. Mereka menanga tapi mereka hancur.

Nhika tak berhenti menggerak-gerakkan jemari tangannya. Sesekali dia berjalan mondar-mandir tak jelas di lorong depan sebuah ruangan. Raja Vollin dan Dillan duduk di kursi, mereka Nampak kacau juga sama seperti Nhika. Wajah kusut dan lelah karena tak tidur semalaman terpamapang jelas di air muka mereka. Pakaian Nhika dan Dillan sangat kumal, kotor dan penuh darah kering. Mereka tak menyempatkan diri untuk berganti pakaian setelah kembali dari Driana ke Vat’Uruna.
Nhika berhenti bermain-main dengan jemarinya, Dillan dan Raja Vollin beranjak dari kursi. Ketiganya bergegas ketika pintu ruangan dibuka, terayun ke dalam dan empat orang  laki-laki berpakaian seraba hijau keluar membawa baskom berisi air dengan warna berbeda.  Warana merah darah, merah pekat, hitam dan satunya lagi air keruh. Nhika mernigis memperhatikan setiap air dalam baskom itu. Wajah orang-orang itu Nampak lelah dan berkeringat.
“Bagaimana keadaanya?” Tanya raja Vollin pada orang yang keluar terakhir kali, orang kelima. Seorang pria tua  berjanggut penjang. Nhika dan  Dillan memperhatikannya , menunggu pria itu memberi jawaban atas pertanyaan Raja Vollin.
“Aku ingin bertanya pada kalian berdua,” Pria itu tak menjawab dan justru mengungkapkan bahwa dia memliki pertanyaan, menatap Nhika dan Dillan yang langsung kebingungan.
“Untuk siapa Justin menggunakan mantra pengekang?”  lanjutnya langsung pada pertanyaannya. Pertanyaan yang memebuat Raja Volin meltoto karena terkejut sementara Nhika hanya mampu saling bertukar pandang, matanya mengisyaratakan satu kata tanya, “Apa?”
“Mantra pengekang? Jangan bercanda?” Raja Vollin berharap bahwa pria di hadapannya mengaku bahwa dia bercanda tapi dia tahu itu tidak mungkin, dia tahu benar siapa pria itu.
“Maafkan kami Yang Mulia,” Pria itu sedikit membungkuk, “Tapi memang seprti itu kebenarannya. Justin menggunakan mantra pengekang. Orang lain bahkan anda pasti akan tewas karenanya tapi Justin mampu bertahan sampai sekarang. Tubuh dari kaumnya memang berbeda denagan kita.”
“Jadi dia selamat?” senyum simpul  nyaris terkembang tapi lenyap seketika saat pria itu menggelaengkan kepala.
“organ dalamnya sudah rusak karena mntra itu dan juga serangan dari Omesa. Kami berhasil memperbaikinya tapi tak bisa memeulihkannya. Dia juga mengalami tekanan mental.
“Kenapa kalian membicarakan hal bodoh? Apa maksud mantra bodoh itu?” Nhika berteriak, dia hampir terisaka tapi dia tak mau terlihat lemah karena menangis di hadapan semua orang.
“Mantra pengekang adalah mantra untuk membunuh orang lain dengan menonaktifkan semua organ tubuh orang itu. Membuatnya lumpuh dalam beberapa hari. Mantra itu hanya bisa dihilangkan dnegan mantra yang sama. Memindahkan mantra dari tubuh penderita ke tubuhnya. Seharusnya semua yang menggunakan mantra pengekang untuk membalikkan mantra yang sama akan tewas hanya dalam hitungan detik tapi Justin berbeda dengan kita.” Penjelasan  pria itu membuat Nhika berpikir semantara Dillan terhuyung nyaris terjatuh, dia kakau  dan bibirnya kelu seperti telah dibungkam oleh sihir. Dia mundur beberapa langkah lalu berlari dengan segala kekacauan dalam dirinya yang tak terelakkan. Justin menyelamatkannya dan dia tak tahu semua akan berakhir seperti ini.
“Dillan!” seruan Nhika tak dia gubris, dia hanya tahu bahwa Nhika pasti juga sudah paham dengan apa yang terjadi.
“Dia beruntung masih hidup,” si pria berjanggut berbicara lagi, Nhika mengurungkan niatnya untuk mengejara Dillan dan memilih memperhatikan pria itu menjelaskan keadaan Justin menarik-narik janggut panjangnya.
“meskipun dia tak bisa menggunakan mantranya lagi, tubuhnya kan menjadi bebannya, dia bisa melakukan latihan-latihan ringan tapi aku ragu dia bisa bertempur lagi. Kami sudah melakukan yang terbaik yang kami bisa. Semoga kami bisa menemukan cara agar dia pulih secepatnya. “


“Arrgh!” Dillan hanya mnampu mengerang dalam kepasrahan ketika Shairv mendadak menerjangnya. Pegasus itu  menukik dari ketinggian, membuatnya terjatuh ke rerumputan hanya dengan sekalai kibasan sayap. Shairv berdiri kokoh di atas Dillan yang terkapar. Satu kakinya dia gunkan untuk menekan dada Dillan membuat laki-laki muda itu taka mamapu melawan meskipun Dillan memang juga tak mau melawan.
Dillan mengatur napasnya agar kembali normal. Dia menatap Shairv yang diliputi amarah bercamputr kesedihan. Sorot matanya menggambarkan kecarutmarutan yang menguasai dirinya.
“Bunuh aku,” Kata Dillan pelan, matanya mulai berkaca-kaca, dia tahu kenapa Shairv menemuinya dan bertindak seperti itu padanya,” bunuh aku, agar kau puas. Agar aku tak perlu dihantui rasa bersalah seperti ini saat setiapa kali aku melihat Justin. Bunuh aku. Andai aku tahu apa yang dilakukan Justin padaku akan berakhir seperti ini, aku akan membunuh diriku sendiri sebelum dia datang. Bunuh akau Shairv!” dia berteriak di akir kalimat lalu memiringkan kepala ke samping dan menangis. Perlahan Shairv menurunkan kakinya dari dada Dillan, dia mundur beberapa langkah kemudian dengan kepakan-kepakan sayapnya , dia terbang meningglkan Dillan yang sedang meratapi  jiwa dalam raga yang tetap bertahan karena Justin. Dalam waktu kurang dari satu menit dia mendengar raungan di udara, terdengar seperti guntur. Sebutir salju lembut jatuh di pipi Dillan, lalu leleh menyatu dengan air matanya.


Nhika mengalihkan pandangannya dari Justin yang terbaring lemah di atas ranjang. Kelopak mata Justin nampak kebiru-biruan seperti lebam, wajahnya pucat basi. Nhika mengarahkan pandangannya ke sekliling kamar Justin, kamar yang baru dia ketahui ada di istananya. Kamar itu dipenuhi warna ungu dari berbagai jenis yang dipadukan dengan serasi. Dindingnya bercat ungu begitu pula dengan lemari pakaian besar serta rak buku yang ada disana. Langit-langitnya berwarna biru langit dengan goresan-goresan putih seperti awan tipis yang mengambang. Kamar unik dan menimbulkan pertanyaan pada diri Nhika, kenapa Justin mendapat ruangan seluas dan semewah ini? Pandangan Nhika terhenti pada sebuah buku bersampul hijau muda di atas meja, dia berniat berdiri untuk mengahmpiri buku itu tapi urung lantaran tiba-tiba Justin mendesah, mencuri perhatiannya.
“Justin kau sudah bangun?” Senyum bahagia terkembang di wajah Nhika, “akan kupanggilkan ayah,” lanjutnya, lalu dia bergegas keluar kamar meningglakan Justin yang sadar lebih awal dari perkiraannya. Ada keterkejutan luar biasa di mata Justin.

Justin tertahan. Dia hanya mampu menatap langit-langit kamarnya dan sedikit melirik ke arah pintu, berharap ada orang yang segera masuk dan menjelaskan kenbapa dia masih hidup. Tak ada kata terucap, lehernya seperti dicekat, matany abegitu berat dan memaksanya untuk terpejam beberapa kali. Keringat mengalir dari keningnya, dia sudah tak tahan lagi denagn apa yang dia rasakan. Sekujur tubuhnya  seperti dihujani ribuan anak panah kemudian disayat dengan pedang. Punggungta serasa terbakar dan kepalanya seakan-akan ditimpa batu karang. Sakit luar biasa. Ingin berteriak  dan mengerang tapi menggerakkan ujung jari pun dia tak mampu. Setiap kali dia bernapas dadanya seperti ditusuk, seolah-olah oksigen yang dia hirup telah berubah menjadi jarum dalam paru-parunya.

“Justin,” Raja Vollin masuk ruangan bersama Nhika. Mereka menghampiri Justin. Justin menatap mata Raja Vollin dalam-dalam, bibirnya bergerak-gerak hendak berbicara.
“Tenanglah semua akan baik-baik saja,’ Raja Vollin mengusap-usap kening Justin yang penuh keringat. Nhika dia memperhatikan dia makin merasa aneh. Kenapa ayahnya begitu baik dan perhatian kepada salah satu prajuritnya ini? Dia memperlakukan Justin seperti anaknya sendiri. Memang Justin pernah bercerita bahwa kedua orang tua mereka bersahabat baik, tapi perlakuan ayahnya melampaui batas pemikirannya. Raja Vollin bahkan rela terjaga semalaman demi menunggu para tabib selesai memeriksa Justin.
Raja Vollin mendekatkan telinganya ke wajah Justin, dia ingin mendengarkan apa yang ingin Justin katakan.
“Ss… sa…sakit,” hanya satu kata itulah yang mampu Justin ucapkan denagan bersusah payah. Raja Vollin kembali menegakkan badannya. Dia menatap justin miris. Dia tahu bahwa laki-laki muda yang kini terbaring di hadapannya itu sedang menanggung sakit tak tertahan. Memang benar apa yang dikatakan tabib tadi pagi. Akan lebih baik jika Justin tetap pingsan supaya dia tak perlu merasakan mantra dan ramuan yang sedang bekerja dlaam dirinya.

Raja Vollin dan Nhika beranjak dari kamar itu setelah seorang prajurit datang dan menyampaikan pesan yang mengaharuskan keduanya pergi. Tersisa Justin disana, diam dalam detik-detik adbadi yang tak kunjung berhenti menyiksanya. Setitik air mata mengalir dari sudut mata mata kanannya, disusul titik-titik berikutnya . dia tahu apa yang sedang dia lamaia sekarang, apa yang akan terjadi berikutnya setelah sakit itu menhilang serta alasan kenapa di aseperti ini. Mantra pengekang yang dia lakukan pada Dillan untuk menyembuhkan Dillan yang sedang sekarat . awalnya dia berharap akan mati karena itu yang dia inginkan sejak dulu. Pergi meninggalkan bumi yang tak pernah berpihak padanya. Kini dia hanya mendapat kemurkaan dunia, entah sampai kapan berlangsung.


Hari-hari panjang berlalu, tiga hari yang terasa seperti seumur hidup. Pagi itu , di saat kondisinya mulai membaik. Justin memanggil Shairv. Berdiri di balkon kamar, menunggu Shairv yang sedang terbang melintasi pegunungan Deor sembari menikmati sinar matahari pagi yang menghangatkan tubuhnya. Dengan hanya menggunkan  celana kain dan kemeja polos yang keduanya berwarna putih bersih, dia ingin terbang layaknya Shairv, melayang-layang diudara untuk mendapat ketenangan.
Nhika melangkah masuk, pelan-pelan menginjakkan kaki di kamar Justin supaya tak menimbulkan suara berarti. Memperhatikan sekeliling saat mengetahui Justin tak ada disana. Celingukkan seperti kucing mencari ikan, sampai denagn cara yang tak dia ketahui seperti sebelumya, dia kembali tertarik pada sebuah buku bersampul hijau di atas meja Justin. Dia menghampiri buku itu, menyentuhnya dengan jemari-jemari lentiknya , memeriksa sekeliling untuk memastikan bahwa tak ada orang lain disana selain dia dan buku itu. Nhika menelan ludah dneagn berat, dia tahu tidak baik mengotak-atik barang melik orang lain tapi dia membuat keyakinan tersendiri bahwa tidak lebih baik untuk membiarkan rasa penasaran menguasai dirinya sampai mati. Maka dia membukanya.
Lembar demi lembar Nhika buka dan mengejutkannya. Kata-kata dalam rangkaian kalimat jalin-menjalain membentuk bait-bait indah di setiap lembar buku itu membuat mata Nhika nyaris tak berkedip sama sekali.  Dia hafal benar bait-bait itu, bait yang tertulis rapi menggunakan tinta ungu dan hijau secara bergantian di setiap halamannya.. bait-bait itu adaalh lirik dari lagu misterius yang telah membuatnya larut  kedal;am pesona melodi dan syairnya.

“Apa yang kaulakukan?”
Suara Justin membuat Nhika terkejut, dia geragapan untuk menutup buku tapi yang terjadi justru dia menjatuhkannya ke lantai.nhika kebingungan, dia diam dan mengalihkan pandangannya ke Justin yang tengah berjalan tertatih menghampirinya. Nhika kaku, dia tertangkap basah. Mungkin sebaiknya dia tak membuat keyakinan sendiri.
“Ma… maaf just. Justin. Ak.. ak… aku hanya ,’ Tuan Putri itu berbicara terbata-bata di depan prajuritnya sendriri dan akhirnya di bergenti untuk mencoba menjelaskan dengan cara bodoh setelah Justin berdiri di hadapannya, menatapnya tajam. Beberapa detik berlangsung seperti itu hingga Justin membungkuk untuk memungut bukunya.
“Arrgh!” mendadak Justin mengerak kesakitan. Dia berniat untuk menegakkan kemabali tubuhnya tapi ototnya tertarik terlalu kuat dan membuatnya jatuh ke depan lantaran panas di punggungnya menyerang.  Nhika cemas dan langsung duduk bersimpuh di samping Justin, mengubah posisi Justin menjadi terlentang saat itu juga perut Justin melilit seperti dijerat kawat berduri.
“Jstin kau baik-baik saja? Biar kupanggilakn,” Nhika hendak berdiri tapi Justin menahannya denagn menarik tangan Nhika. Dia menggeleng sekali tanda tak setuju.
“Akan kupanggilkan tabib,” Nhika melanjutkan perkataannya, memberitahu Justin niatnya.
“Ambil Gaw’Jury dan bunuh aku, itu lebih baik.” Sebuah perkataan bodoh justru meluncur dari bibir Justi, dia terengah-engah dan sesekali mengerang menahan sakit.
“Aku gila!” Nhiuka marah, dia tak pernah berpikir bahwa dia akan mendengar alimat macam itu dari Justin.
“Akan lebih gila kalu aku tetap bertahan hidup tapi tidak bisa melakukan apa pun. Bagaimana mungkin kalian bisa menyikasaku denagn membantuku tetap hidup?” Justin  memiringkan kepalanya ke sisi lain. Dia malu dan memilih untuk menyembunyikan wjah dari Nhika. Sejenak Nhika tertunduk , dia tahu pasti sulit bagi Justin untuk menerima semua ini, dia juga akan memilih untuk melempar dirinya ke dalam kubur kalau berada di posisi Justin sekarang.
“Aku cacat,” Justin kembali berbicaradari suaranya yang berat, Nhika tahu bahawa laki-laki di depannya itu sedang menangis, “aku tidak bisa bertempur dan menggunakan mantra lagi,”
“kalau kau tahu ini akan terjadi kenapa kau meyelamatkan Dillan!” Akhirnya Nhika menanyakan hal yang ingin dia tahu denagn suara lantang seakan-akan semua hal yang terjadi adalah kesalahan Justin sendiri, “apa kau begitu bodoh sampai lupa akibat dari mantramu sendiri? Seharusnya kau bersyukur karena kau masih bisa melihat matahari di atas kepalamu samapai sekarang. Tabib bilang semua yang menggunakan mantra itu mati seketika seperti kelinci percobaan, apa “ Nhika tak melanjutkan ocehannya lantaran Justin menyahut denagn kalimat yang semakin membuatnya merasa bahwa dia benar-benar tak mampu memahami Justin.
“Karena aku ingin mati sejak dulu,’ itulah kalimatnya, “kau tidak tahu betapa sulitnya hidupku selama ini dan sekarang semakin selit karena tidak ada lagi alasan bagiku untuk hidup.”
“Alasan?”
“Lagu itu. Lagu-lagu yang kau sukai itu buatanku. Pernah kubilang padamu bahwa pada dasarnya sihir adalah syair lagu-lagu. Lagu adalah sihir yang paling sederhana. Dan lagu itu adalah mntraku agar dunia mendukungku, membantuku supaya bagian hidupku kembali padaku.”
“Kakakmu?”
“kakakku dan Rasreintha. Tapi sampai sekrang tak ada hasilnya. Tidak ada artinya. Dan sekarang semakin tidak berguna. Aku tak punya sihir , tidak bisa membuat mereka mendengarku lewat lagu yang dunia bisikkan untuk melumpuhkan sihir lain dalam diri mereka. Aku berharap Rasreintha kembali dan kakakku masih hidup, tapi apa yang bisa kulakukan sekarang? Apa artinya aku sebagai pewaris Gaw’Jury, Shirv dan Gargantara kalu bernapas pun membuatku kesakitan. Aku,.”
“justin sudahlah,’ Nhika tak tahan lagi mendengar kata-kata Justin. Sejurus dia meraih kepala Jsutin dan meletakkannya ke dalam pangkuannya kemudian memeluknya erat-erat. Air mata yang tertahan di pelupuk mata Nhika akhirnya luluh juga, mengalir dan membasahi pipinya.
“Kau masih bisa  melakukan banyak hal Justin. Kau bisa belajar, membaca, menulis , mendengar, memahami dan berpikir. Mereka akan mencari cara dan kami ada disini untukmu. Masih ada banyak alasan untuk hidup, apakah rakyat Parvana terlalau sedikit untukmu?”


Tertatih Justin turun dari punggung Shirv. Pegasus itu telah membungkuk rendah  tapi Justin masih memerlukan waktu cukup lama untuk turun dari punggungnya. Dia berpindah ke Gargantara atas kehendak dua kmakhluk miliknya itu. Shirv tahu bahwa gargantara lebih nyaman untuk Justin. Merayap kecil melewati sayap garuda raksasa itu, Justin bersusah payah samapai akhirnya dia menemukan tempat dimana dia seharusnya.
“Kau siap/” Tanya Gargantara pada Justin yang telah duduk di sebuah ceruk antara leher dan sayap Gargantara , memeluk lehernya.
“Kurasa,”
“Kau mau tidur?”
“Aku lelah dan nyaman disini,”
Sejenak gargantara melirik ke belakang dan mendapati Justin menyandarkan kjepala di lehernya. Shirv mulai menginjak-injakkan kaki, mengepakkan sayap dua kalilalu terbang ke udara. Gargantara mengeram lalu ikut mencapai ketinggian, meniggalkan bumi dengan kecepatan rendah. Padang rumput hijau luas denagn bunga-bunga kecil warna kuning, merah dan biru menyembul menambah kontras panorama. Bunga-bunga matahari di atas bukit bergoyang-goyang dan menggugurkan kelopak-kelopaknya membeiarkan kuning-kuning cerah itu terbang bersama angin yang berhembus lembut membuai. Bunga bunga tulip berjajar rapi sesuai watna, terbentang indah layaknya karpet alam yang mempesona.

            Mereka telah terbang cukup tinggihingga garuda raksasa, Gargantara terlihat seperti seekor elang yang terbang rendah. Justin masih memeluk erat leher Gargantara dan menyandarkan kepala disana. Menatap ke sisi kanan, aliran sungai Hoan Nampak seperti garis putih berkelok-kelok membelah pegunungan Vroen.
            “Kau baik-baik saja?” Shairv muncul di hadapannya secepat kilat, mengajaknya berbicara lewat benak
            “Seperti sapi jantan yang siap disembelih,” Shairv tergelak mendengar lawakan Justin, “Kau bagaimana?”
            “Aku seperti induk semang yang ingin mencengkram anaknya yang nakal sepertimu,” kali ini lawakan Shirv berhasil membuat Gargantara tertawa. Tawanya terdenagr seperti raungan serigala kelaparan.
            “Aku tidak mau menyebut dirikun seperti kerbau kumal dalam kubanagn untuk mengatakan sebaik apa diriku.”
            “Kau terlihat seperti itu walau kau tak mengatakannya,” Justin menepuk-nepuk leher Gargantara lalu keheningan melanda kebersamaan mereka bertiga.

            “Bolehkah aku meminta sesuatu?” tak lama Justin kembali mengajak Shirv dan Gargantara berbicara. Suaranya lembut , terdengar serius, keseriusan untuk memohon, “jangan pernah meninggalkanku,”
            “Kami akan selalu disini Justin,” Shirv mendekati dan menyentuh kening Justin menggunakan moncongnya.
            “Jangan ragukan itu,” Gargantara menambahi.
            “Aku kan kehilangan diriku sendiri tanpa kalian disini. Entah apa yang akan aku pikirkan dan kulakukan selanjutnya. Aku takut semuanya menjadi semakin buruk,”
            “Tenanglah Justin, pejamkan matamudan beristirahatlah. Kami akan menjagamu,”
            “Kamu akan selalu bersamamu makhluk kecil, selalu.”
Justin memejamkan matanya, menarik benaknya dari Shairv dan Gargantara. Berharap perasaannya lebih baik serta berdoa supaya ketika dia membuka mata, dia terbangun dan mendapati semua hanyalah mimpi buruk. Dia terbangun dan menemukan ibu, ayah dan kakaknya di meja makan, menunggunya untuk sarapan lalu tak lama kemudian Rasreintha datang membawa sekuntum bunga matahari untuknya. Bernyanyi bersama, mengalunkan mantra-mantra suci dalam lagu indah untuk dunia. Tapi pada kenyataannya Justin tahu bahwa dunia adalah tempat terkejam, tak ada waktu yang bisa kembali. Sekarang dia disna dan semua hal buruk benar-benar terjadi.
Sebelum dia larut dlam kenyamanan, dia berkata dalam hati.

            “Ayah, Ibu. Kalian di surge, katakana pada pencipta semesta cabut nyawaku atau berikan aku satu lilin kecil saja. Aku lelah dan takut,”

Komentar

Postingan Populer