Last Song (bagian Tiga)

Memasuki hutan Fiur,pohon-pohon menjulang tinggi, daun-daun yang rimbun, dan bertumpuk-tumpuk menghalangi sinar matahari masuk ke dalam hutan. Tupai dan berang-berang kembali masuk ke dalam persembunyian ketika tiga kuda  melintas. Nhika sedikit mengalami kesulitan, setiap kali melewati tanah terjal. Gadis itu sempat dibuat kesal untuk kedua kalinya dalam perjalanan oleh justin.
“Berbarislah! Berjajar seperti pergantian membuat perjalanan kita semakin lama.” Itulah kalimat memuakan dari justin yang membuatnya ingin mengutuk, frustasi kemudian mencakar si raut kaku itu.
Rimbunnya dedaunan membuat mereka kesulitan untuk menentukan waktu.Tanpa mereka sadari,senja datang.Nhika menengadah dan mendapati dedaunan diatas kepalanya membiaskan cahaya kemerahan matahari terbenam.
“Apa tidak sebaiknya beristirahat?”Dia mengungkapkan pendapatnya , Justin yang berjalan di depan sedikit menarik tali kekang kudanya, berhenti. Matanya melirik sana sini seolah mencari-cari sesuatu.
“Kita istirahat disana didekat sungai s,ekitar dua jam lagi  dari sini”. Nhika ternganag mulutnya nyaris terbuka mendengar  jawaban Justin. Dillan mendengus kesal,sejurus dia menghampiri Justin.
“Aku sudah muak denganmu!“ Dia mengarahkan telunjuknya ke wajah Justin.”Kau mengajak kami melewati hutan sial ini dan berbicara ,mengatur semaumu sendiri seperti kuda bodoh yang kamu tunggangi.”
“Apa kau ingin tidur disini?”Justin membalas kemarahan dalam kalimat Dillan dengan nada datar.”Ada ratusan hewan buas disini, tidur di hutan juga sama saja dengan bunuh diri.Hanya ada pohon ex disini. Silahkan kalau kau merasa paru-parumu mampu bersaing dan  berebut oksigen dengan mereka. Nhika ikut denganku,” Dia melirik Nhika tajam “setidaknya aku cukup pintar untuk sedikit memaksa kelelahanku daripada harus mati konyol disini karena kebodohanku” Semua diam, nhika yang awalnya senang  melihat keberanian Dillan kini menyadari bahwa tindakan Justin benar. Dia ingat pesan Ayahnya sewaktu dia masih kecil, “Tidak baik berada di bawah pohon ex di malam hari kau bisa terbunuh”
“Firgena Sweill,” ucap Justin seraya menjulurkan  jemari tangan kirinya, kemudian muncul sebuah bulatan seperti telur angsa yang bercahaya, api. Dengan cahaya itu mereka mampu menyusuri hutan , menapaki jalan terjalnya yang berbatu dan dipenuhi ilalang, menembus pohon-pohon ex yang berjajar seperti barisan tentara di apel pagi.
Sebelum Justin mampu melihat air di aliran sungai yang memantulkan api di tangannya , dia telah mendengar terlebih dulu suara gemericik  aii dan aroma air sungai yang khas. Setelah melewati jajaran pohon pinus dan pohon cemara, akhirnya mereka berhasil kelura dari hutan.
Turun dari kuda tunggangannya, Nhika mendapati dinya berdiri di padangh rumput kecil di tepi sungai yang bergemericik, memberikan kenyamanan dan ketenangan. Sedikit pengurang untuk kelelahan setelah perjalanan lumayan panjang mereka.
“Cari kayu, kita buat api unggun dan makan malam,” perintah Justin seraya mengikat kudanya di sebuah pohon, lalu dia meletakkna api di tangannya di atas sebongkah batu. Api tadi bergoyang-goyang mengikutigerakan angina yang mengusik ketenagna cahayanya. Nhika terdiam memperhatikan api yangmembuatnya takjub itu. Sementara Dillan mulai mengumpulkan kayu-kau dan ranting-ranting pohon di sekitarnya, sesuai perintah Justin tadi. Justin berdiri mengahadap sungai yang tenag alirannya dan memantulkan cahaya api kecilnya tadi, bibirnya komat-komit merapalkan mantra, kemudian dalam waktu singkat, buk! Tiga ekor ikan besar terlempar dari sungai ke tanah berumput di dekat Nhika, mngejutkan gadis itu.
“Ini mengagumkan!” seru Nhika , dia lantas menghampiri Justin yang mengambil ikan –ikan tadi ke lengannya, menimangnya layaknya seekor anak kucing dan berjalan mendekati Dillan di depan tumpukan kayu.
“Firgena sweill gaper,” ucap Justin sebelum dia jongkok di depan api unggun seraya menatap api yang dia tinggalkan di atas batu, dalam hitungan detik api itu lenyap seketika tanpa meninggalkan asap, “Firgen,” kini dia mengucapkannya sambil menatap tumpukan kayu yang dibuat Dillan. Dalam sekejap api menyala, membakar kayu dan mengejutkan Nhika serta Dillan, memaksa mereka untuk melakukan gerak reflek menghindar beberapa inchi.
“Apa kau bias memesak ikannya dengan sihir juga?” Tanya Nhika antusias, dia membenarkan posisi duduknya, bersila di depan api unggun yang menjilat-jilat.
“Bisa, tapi tidak akan bermakna. Aku akan tidak terlalau menikmatinya, cukup dengan mendapatkannya dengan mudah,.”
“Tapi kurasa ituakan cukup menyenangkan , kenapa kau  tidak mencobanya? Aku berminat untuk memakannya”
“Lakukan saja sendiri,” Nhika mendengus kesal sambil mencibir Justin yang focus membolak-balik ikan-ikanya di atas api unggun. Panas hatinya, sia mencoba bersikpa ramah kepada Justin tapi laki-laki itu nampaknya tidak mau melakukan hal yang sama kepadanya.

Nhika duduk bersandar di sebatang pohon, menengadah ke langit di atas kepalanya yang cerah dan berbintang. Kerlip-kerlip bintang yang yang membentuk aliran sungai langit bermutiara. Jangkrik-jangkrik mengerik dari balik sepatu boots Dillan, laki-laki itu masih betah berdiam diri di depan api unggun, menyodok-nyodok api kecilnya dengan sebatang kayu, membuat bunga-bung api dari baranya.
“Dillan,” suara Nhika yang lembut mengusik keheningan, Dillan memebalasanya dengan berdehem  sementara Nhika beranjak sari temaptna, mengahmpiri Dillan dan duduk bersila di sampinganya.
“Apa menurutmu masalah ini adalah masalah yang besar?” Dillan menghentikan kegiatannya lalu melihat Nhika yang berbicara dengan nada menunjukkan kerisauan. Wajah gadis itu kemerahan membisakan sacahay dari api ungggun yang menjilat-jilat.
“Kau takut Nhika?” Dillan menatapnya penuh perhatian dengan sinar matanya yang memberikan keteduhan.
“Aku khawatir semua akan berakhir buruk. Ini sebuah kepercayaan pertama yang ayah berikan padaku, aku takut ini juga akan menjadiyang terakhir. Zargol membunuh ibuku, kau tahuitu kan?”
“Semua kan baik-baik saja. Kita bias mengalahkan mereka. Parvana akan tetap damai, kau gadis hebat. Percayalah,”
Nhika tersenyum malu mendengar pernyataan Dillan, dia sedikit menunduk, menyebunyikan wajahnya yang pasti merona karenanya serta berharap semoga Dillan tak mencium wangi taman bunga yang mendadak tumbuh di hatinya.
            “Dimana si penyihir itu?” Nhika beralih melihat sekeliling, tak dia temukan keberadaan Justin. Dia menghilang tiba-tiba setelah ikannya habis tadi.
            “Kenapa?” Dilllan bertanya-tanya kenapa mendadak Nhika mengalihkan pmbicaraan.
            “Aku ingin melihat bagaimana penyihir tidur,” Nhika terkekeh seraya berdiri dan meilhat sana-sini, berharap menemukan Justin dalam posisi mendengkur seperti kerbau.
            “Bodoh,” mendengar suara bernada meleceh yang berkesan dingin dari atas kepalanya itu, Nhika sejurus mendongakkan kepala. Matanya melotot seperti mata ikan, hendak meloncat keluar dari kelopaknya ketika mendapati sosok Justin yang sedang nangkring  di atas pohon sambil melahap rasbery, terlihat seperti monyet cerdas. Cerdas.
            “Apa yang kau lakukan disana?” seru Nhika
            “Melihat dua anak manusia sedang bertukar kata-kata cinta,” Jawab Justin, tawa renyah mengikuti kalimatnya. Nhika menghentakkan kaki kanannya ke tanah, seoalh berharap bumi bergoyang karenanya kemudian Justin jatuh tersungkur, terjerembab di tumpukan ilalang dengan posisi kepala tertancap di tanah.
            “Kau ini sebenarnya mahkhluk apa?” Nhika menunjuk-nunjuk Justin, “kau prajurit paling tidak sopan yang pernah kutemui, manusia teraneh dan paling menyebalkan. Seharusnya kau perbaiki sikapmu setelah kukatakan ini kepadamu!” dia mengakhiri omelan luapan emosinya dengan berkacak pinggang. Dillan tersenyum menahan tawa melihat tingkah Nhika. Justin sendiri tak terlalu peduli kepada setiap kata dalan kalimat Nhika yang dia tujukan padanya dan memilih asyik menikmati rasbery-rasberynya sambil memandangi bintang.

            Bibir Nhika manyun , dia maneahan kekesalan yang menjadi makanan penutup sarapannya pagi ini. Tak membiarkan gejolak amarah dalam dirinya membuncah dalam bentuk kata-kata tak berguna karena pasti si Justin tak menganggapnya, seprti semalam.
Dia duduk bersila di atas rerumputan membuat segitiga bersama Justin dan Dillan, sementara kuda-kuda mereka mrumput.
            “Kemarin kau bilang aku dan Dillan membuang-buang waktu tapi sekrang kau justru mengajak kami mengadakan acara santai daalm segitiga bodoh ini,” Nhika mulai mengoceh, ternyata pertahanannya tidak bertahal lama. Dia menatap Justin yang duduk di hadapannya dengan tajam.
            “Ini hal penting Yang Mulia Tuan Putri Nhika,” Justin membalsanya denagn kata-kata pilihany tapi bernada sinis memuakkan, membuat Nhika ingin muntah saat mendengarnya. Keduanya saling menatap, sinara mata mereka memancarkan  amarah mereka seolah ingin  beradu dan mengetahui tingkat emosi siapa yang paling tinggi.  Tiap detik waktu yang berlalu tersa abadi, apalagi bagi Dillan yang berlaku sebagai penonton di posisinya.
            “Apa kita bias memulainya sekarang?” Dillan yang mulai bosan, akhirnya angakt bicara, “Atau kalian akan membiarkan kuda-kuda kita kegemukan?”
Sejurus Justin dan Nhika melirik  kuda-kuda mereka yang  semakin lahap memakan rumput-rumput.
            “Baiklah,” Justin sedikit menghela napas, “Aku sudah memutuskan bahwa kita kan melewati Desa Arvtiga dan tidak meneruskan perjalanan kita melewati hutan,”
            “Kau sudah gila!” Nhika merespon denag keras, dia dia berusah menahan diri untuk tidak melampiaskan amrahnya dan menendang wajah Justin seketika itu juga, “Arvtiga daerah kekuasaan Kaum Marleen. Kalau seperti ini caranya lebih baik kemarin kita melintasi jalan biasa. Ini rencana terbodoh dan cara tercepat untuk tewas yang pernah kudengar. Kau,..”
            “Biarkan aku berbicara atau kau mau aku menutup mulutmu dengan sihir!” Justin menyela, tangannya bergerak-gerak mengikuti tempo berbicaranya, “Aku akan mengalah dan menuruti rencanamu kalau kau memang tahu langkah lain,” Dia lalu diam dan menarik napas untuk sedikit mendinginkan  panas di dadanya. Nhika memalingkan muka, menatap ke permukaan sungai yang tenang. Sementara Dillan menunggu Justin melanjutkan perkataannya.
            “Kaum Marleen mengutus prajurit dan perapal-perapal mantranya termasuk Zargol ke semua daerah terluar Vat’Uruna. Bahkan di hutan dan jalut rahasia yang awalanya kupikir akan aman ternyata justru mendapat penjagaan ketat. Semalaman aku terjaga untuk melindungi kita dari jangkauan para perapal mantra dengan sihirku. Menghabiskan seperempat energi cadangan di kalungku,” Dillan mengarahkan perhatiannya ke kalung berliontin bentuk unicorn berbahan batu aquamarine warna biru laut yang sewarna dengan mutiara-mutiara yang menghiasai tangkai pedang milik Justin.
            “Satu-satunya kawasan teraman dengan sedikit prajurit dan hanya beberapa perapal mantra  rendahan adalah Arvtiga.”
            “Bagaimana cara kita kesana? Akan membuang waktu kalau kita harus menyusuri sungai ini,”
            “Dan kau tidak terlalu bodoh untuk melintasi sungai ini,’ Nhika menambahi kata-kata Dillan seraya kembali mentap Justin yang tersenyum kecut padanya sambil berdiri lalau menepuk-nepuk celananya, menghilangkan debu.
            “Rencana bagus yang Mulia, bagaimana anda bias memiliki pemikiran yang sama denganku/” Nhika melotot mendengar pertanyaan retorik Jusytin. Sebelum gadis itu membuka mulut, Justin telah terlebih dulu berkata  sambil berjalan menghampiri kuda putihnya untuk memasang pelana, “Kita menggunakan sihirku,” kali ini suara Justin terdengar berat seolah dia telah berpikir seribu kali untuk mengambil keputusan ini.

            Dillan , Nhika dan Justin membentuk barisan  menghadap ke sungai yang airnya mengalir tenang dalam kedalamannya. Nhika memperkirakan jarak antara tempatnya berada di atas kudany asekarang dengan tepi sungai di ujung sana, sepuluh meter. Dan nhika hanya mampu menelan ludah. Dillan yang berada di depannya , mempererat pegangannya pada tali kekang kuda. Justin di posisi paling belakang, menggenggam  erat  tangkai pedangnya , dia menatap permukaan sungai kemudian menarik napas panjang.
            “Lakukan dengan cepat setelah aku memberi aba-aba,” Tegas Justin penuh keseriusan. Sejenak dia menutup mata lalu membukanya lagi, kembali menatap permukaaan sungai. Desir angin mengibas-ngibaskan rambutnya yang lembut, dia menarik napas panjang.
            “Wartyoer Upwur!” seru Justin, suaranya menggemuruh,memecah keheningan yang mencekam di antara mereka semua. Sejenak kemudian, air di permukaan tepat di hadapan Dillan berbuih, semakin lama semakin banyak dan menimbulkan pusaran yang terus melebar Dillan yang memeperhatikannya hanya mampu menelan ludah sementara kudanya mulai tak tenang dan menjejak-jejakkan kaki di rerumputan. Pusarn itu semakin cepat dan membesar hingga menimbulkan buih pekat bercampur tanah lumpur hitam di dasar pusaran. Deru suara air berhenti seketika, Nhika hanya menatpnya kaku dan dalam hitungan detik yang tak terduga terdengar suara ledakan dahsyat,saat itu juga tiiba-tiba air yang berpusaqr terangkat darisungai, terhenti di udara, tak lebih dua meter di atas kepala mereka.
            “Leland upwur!” seru Justin lagi, kali ini dia mengarahkan telapak tangannya ke dasar sungai yang kedlamannya mencapai sepuluh meter. Gemuruh kembali terdengarmembuat sakit telinga dan memusingkan kepala. Tanah di bawah sana perlahan terangkat seiring dengan suara yang terus menggemuruh dn akhirnya semua hal terhenti ketika Justin menurunkn tangannya bersamaan dengan saat tanah dari dasar sungai itu telah sejajar dengan rerumputan di bawah kaki kuda tunggangan mereka.
            “Lari! Cepatlah!” teriak Justin mengejutkan Dillan dan Nhika yang msih tak percaya denagn apa yang mereka lihat, sejurus dengan gerak reflek yang mengejutkan, fillan dan Nhika memaksa kuda mereka untuk berpacu dengan kecepatan penuh melewati tanah coklat di hadapan mereka.
            “perhatikan jalanmu!” seru Justin ketika Nhika menyempatkan waktu untuk mendongakkan kepala, melihat air yang kaku diatas kepalanya.

            Kuda meringkik ketika Dillan menarik tali kekang kudanya, berhenti mendadak. Nhika memperlambat laju kudanya dan menhampiri Dillan.
            “Aku benar-benar tidak percaya dengan hal yang baru saja kulihat. Ini aneh dan hebat,” dia berkomentar dengan cepat di sela-sela napasnya yang tak beraturan., Dillan hanya mampu mengangguk, dia mengatur otaknya yang seperti belum bekerja sepenuhnya.
            “Justin kuakui kau hebat!” Nhika turun dari kuda dan membalikkan badan,, “Justin?” Nhika terkejut ketika mendapatiJustin yang terkapar di tanah berumput sementara kudanya mendengus-dengus wajah Justin dengan moncongnya.
            “Dillan! Justin kenapa?”  kecemasan jelas terdengar dari suara Nhika, gadis itu berlari-lari kecil menghampiri Justin yang terpejam, Dillan turun dari kudany dan ikut berlutut di dekat Nhika yang meletakkan kepala Justin diatas pangkuannya.
            “Justin bangunlah!” Nhika menepuk-nepuk pipi Justin tapi laki-laki itu masih terpejam, tak sadarkan diri, wajahnya juga pucat.,” Dillan, dia kenapa? Justin bangunlah! Apa yang terjadi padamu? Jangan bercanda! Ini tidak lucu!” setetes air mata Nhika jatuh dan membasahi pipi Justin, gadis itu menangis, bingung oelah keadaan. Dillan memeriksa tubuh Justin, kening dan nadi. Terakhir dia memeriksa detak jantung Justin dengan cara meletakkan telinganya diatas dada Justin sebelah kiri. .
            “Apa dia mati? Dia tidak matikan?” Nhika mendesak Dillan sambil terus memegangi kedua belah pipi Justin yang dingin, “Aku membencimu tapi aku tidak kau mati. Justin, kum…”
            “Aku masih hidup,” perkataan Nhika terpotong oleh suara Justin yang berat dan lemah, Dillan kembali tegak.
Nhika mengusap matanya, menhilangakan air mata yang mengahalangi pandangannya. Nampak olehnya Justin yang perlahan membuka mata dan bersusah payah untuk menarik napas.
            “Aku hanya kelelahan, beri aku makanan.” Tambah Justin lagi, Dillan memalingkan wajah sambil menggelengkan kepala dan tersenyum geli sementara Nhika mendengus kesal lalu menurunkan kepala Justin dari pangkuannya dengan kasar.

            Kali ini Dillan yang memimpin perjalanan. Justin berkuda di bawah pengawasan Nhika. Laki-laki itu menyandarkan tubuhnya di leher kuda putihnya sambil menelan perlahan roti yang diberikan Nhika padanya.
            “Kenapa kau tidak bilang kalau mantramu itu bisa membunuhmu?” Nhika bertanya dengan nada yang tak enak didengar.
            “Apa ada gunanya?” jawab Justin pelan, “lagipula aku tidak punya pilihan lain. Aku sendiri tahu kemampuanku. Aku tahu aku tidak akan mati karena mantra itu walaupun perapal lain bisa langsung kehilangan nyawanya ditengah tindakannya, sebelum semua hal yang dia lakukan berhasil.”
            “Jangan lakukan hal bodoh seperti itu lagi. Kau bilang tahu kemampuanmu tapi kau tidak menyadari betapa gegabahnya hal yang kau lakukan tadi. Kau tidak boleh mati sebelum kita sampai di Driana”
            “Setelah sampai?”
            “Kau ke neraka pun aku tidak peduli!” celetuk Nhika,Justin tersenyum mendengrnya kemudian memejamkan mata sambil menelan potongan terakhir dari rotinya. Nhika nyengir, baru dia tahu ada orang yang bisa tidur dalam posisi seperti itu.

Komentar

Postingan Populer