Last Song (bagian lima)

Justin memasang kuda-kudanya yang terlgat ragu-ragu, sepatu bootsnya dia geser berkali-kali seolah hendak menyeimbangkan posisi tubuhnya yang gemetaran. Dari ujung mata pedang Justin yang diarahkan ke wajah wanita cantik dan terlihat tangguh di hadapannya.
"Jangan terburu-buru," wanita itu memainkan anak panah berwarna putih milik Justin yang berhasil sedikit melukai jari telunjuknya. Suaranya lembut tapi penuh kekuatan, aroma parfumnya menyengat, membuat Dija tak terlalu menikmati setiap oksigen yang dia hirup saat bernapas, " Apa kau tak merindukanku? Aku bahkan ingin memelukmu untuk mengetahui betapa," dia diam sejenak, melirik anak panah yang dia letakkan membujur di atas telapak tangan kanannya yang menengadah, seraya tersenyum sinis dia lalu meniup anak panah itu, "kuatnya tulang-tulangmu," lanjutnya lagi. Bersamaan dengan itu anak panah di tangannya berubah menjadi serbuk-serbuk putih, berterbangan ke lantai.

"Kuda-kudamu kurang bagus, masih sama seperti dulu, kau tidak pantas menyandang Gaw'Jury, " dia melirik pedang yang diarahkan Justhn kepadanya.
"Tutup mulutmu!" seru Justin, frustasi. Dia mengayunkan pedangnya, Gaw'Jury. Wanita tadi melompat, menghindar, tapi Justin berhasil meninggalkan segores luka di pipi kirinya.

Justin terus melangkahkan kaki, menyerang wanita itu dengan hunusan, kibasan,dan ayunan pedangnya. Mendesak lawannya keluar kedai. Tapi tak satupun serangannya yang menyentuh helaian pakaian wanita itu apalagi memberinya luka.

Secepat kilat wanita itu membungkuk , meraih sebatang kayu yang tergeletak di lantah ketika mereka sampai di tengah tengah halaman kedai.
"Wodka Lihnge!" dia merapalkan mantra seraya menahan Gaw'Jury yang diarahkan Justin ke tulang rusuknya, dan kayu itu pun berubah menjadi pedang tajam.
"Ini disebut perang," ucapnya seraya melompat mundur kemudian menyiapkan kuda-kudanya.



Mereka berdiri berhadap-hadapan dalam posisi siaga, saling mengarahkan pedan dalam jarak tak lebih dari tiga meter. Tatapan mata waspada terhadap setiap gerakan lawannya. Napas mereka memburu, terengah-engah. Tetdsan keringatan dari kening mengalir hingga membasahi leher. Matahari pagi mulai naik, sinarnya menyengat, menambah panas suasana. Angin mendadak berhembus ,mengibas-ngibaskan rambut merah tembaga wanita itu hinha nampak layaknya kobaran api.

Hening diantara keduanya hingga akhirnya terdengar keributan dari dalam kedai. Besi beradu dengan besi disusul suara meja terjatuh, remuk dilantai tertimpa tubuh manusia. Terjadi pertempuran di dalam sana.

"Musuhmu disini!" seru wanita itu ketika Justin menyempatkan diri untuk melirik ke dalam kedai. Justin menyingkirkan diri ke kiqi ketika perutnya hendak ditusuk. Mereka saling menyerang,menangkis, berusaha membuat lawannya terdesak dan terjatuh. Kaki mereka maju-mundur mengikuti irama pdrtempuran. Justin sesekali dibuat terbelalak setiap kali menyadari betapa hebatnya orang yang dia hadapi sekarang.

Wanita itu bergerak sangat cepat dan lincah. selain itu, Justim juga merasa bahwa setiap gerakannya telah terbaca oleh lawa6ya. Serangan wanita itu terus membuat Justin terdesak mundur hingga dia terpaksa menggeser arah kakinya beberapa derajad agar dia tak terpepet di pagar sekaligus mendapatkan wilayah bertahan.

"Kau kewalahan sayang?" Wanita itu berbicara di tengah pertempuran, "menyerahlah, serahkan Tuan Putrimu dan Gaw'Jury padaku"
"Jamgan bermimpi!" seru Justin, dia menggertakkan gigi-giginya dan mengayunkan pedangnya ke atas hendak membelah kepala wanita itu. Dia mampu menghindar dengan jalan bergerak kesisi lain saat itu pula Justin melakukan gerak tipu. Justin berputar, mengarahkan pedangnya ke bawah hendak menebas kaki wanita itu tapi yang berhasil dia lakukan hanya membuat sebelah sepatu wanita itu terlepas. Gerakannya terbaca.



Justin terkunci, gerakannya yang lambat saat dia memindahkan pedang dari satu tangan ke tangan yang lain membuatnya lengah dan akhirnya, dia hanya bisa diam ketika ujung pedang jadi-jadian milik wanita itu berhenti tepat di lehernya.

"Kau semakin kuat, Ayah pasti senang kalau melihatmu," ucap wanita itu dengan nada yang tak enak didengar.
"Dan Ayah tidak akan senang melihatmu, Omesa,"
"Omesa? Heh," Omesa, dia tersenyum kecut kemudian melangkah, berputar. Justin mengawasinya yang berjalan perlahan dan berhenti tepat di belakang Justin. Sementara pedangnya kini melingkar di leher Justin. Tapi, Justin tetap tenang, dia tahu bahwa dia tak akan mati hari itu.
"Apa kau tidak bisa sedikit sopam padaku?" Lanjutnya, dia berbicara di dekat telimga Justin, menimbulkan rasa menggelitik disana, "Panggil aku kakak, adikku sayang,"
"Kau bukan kakakku," Justin menarik napas dalam-dalam, "Lagi," tambahnya seraya sejena menutup mata.
"Terserah, ngomong-ngomong bolehkah aku?" Justin terbelalak ketika Omesa menyentuh bahu kanannya. Tenggorokka6ya seperti penuh dan menyulitkannya untuk bernapas. Sekujur tubuhnya mulai gemetar, "tenanglah, aku akan melepaskanmu dan temam-temanmu setelah ini. Aku hanya ingin melihatnya" Omesa menjatuhkam pedangnya, ketika mencapai tanah, benda itu kembali ke wujud aslinya, kayu.

Bibir Justin bergetar, keringat dingin bercucuran darh keningnya. Tangan kanan Omesa mencengkram kain kemeja bagian bahu Justin, merobeknya dengan kuku jarinya yang panjang, tajam dan bercat hitam. Baju itu robek hingga memperlihatkan sebuah luka panjang yang melintang dari bahu kanan Justin hingga tengah pinggang.

"Anak malang, ternyata kau masih menyandang luka terkutuk dari pedang warisan yang kau bawa kemana mana ini. Apakah tidak ada yang bisa menyembuhkan ini?"
Mata Justin memerah dan mulai berair. Kegalauan di wajahnya menggambarkan kecarutmarutan dalam hatinya.




Setiap kata-kata Omesa terdengar seperti mantra yang menyakitkan, kutukan-kutukan membuat dada Justin panas, terasa hingga kepala dan membuatnya berdenyut-denyut.

"Aku ingat sekali bagaimana luka yang membuatmu cacat ini dibuat. Terimakasih Justin. Itu hari yang mengenaskan tapi apa kau bisa menceritakan bagaimana hari terburukmu yamg kulewatkan?" Omesa berbicara sembari melangkah anggun dan berhenti tepat di depan Justin. Dia meraih kedua belah pipi Justin, mengarahkan pandangan mata adiknya yang sayu ke mata tajamnya, "maaf, ini akan sedikit menyakitimu. Penka," setelah mantra itu diucapkan, mendadak mata Justin terbelalak, bola matanya menunjukkan kesakitan dan ketakutan yang tiba-tiba menyentuh benaknya, menimbulkan kepala dan hatinya dihujani ribuan duri landak.
"Hen," dengan bibir yang gemetar, dia bersusah payah untuk membuka mulutnya, "hentikan," suaqanya lirih nyaris tak terdengar.

Dha berusaha untuk menutupi hal-hal yang ingin dilihat dan diperlihatkan ulang oleh Omesa. Benak wanita itu mendesak masuk dan mencari-cari hal yang ada di memori Justin.
"Jangan menghalangiku, aku bisa berbuat lebih buruk," Omesa memperingatkan, keningnya berkerut hingga otot-otot kepalanya tertarik.
Dan akhirnya dia bisa sedikit mengacaukan benteng penghalang Justin.

Semua kembali terbuka. Di depan mata Justin, dia kembali melgat hal yang membuatnya ketakutan, hal yang susah payah dia lupakan agar tak menggerogoti kehidupannya. Darah merah dan segar mengalir di tanah kering yang gersang, mengucuq dari dada, lengan, kepala serta mulut dan hidung ayah dan ibunya yang terkapa di tanah, tak bertanya. Gaw'Jury berlumuran darah dam masih berada di genggaman ayahnya. Isak tangis menyeruak dari anak laki-laki kecil berambut blonde yang berlutut di depan dua orang yang paling dia sayangi. Mendadak langit menjadh gelap, diselimuti awan tebal. Titik-titik air jatuh, berawal dari butir butir kecil disusul suara menggemuruh dari sang mandala membawa titik titik air lebih besar.




Justin membiarkan batinnya tersiksa dengan membiarkan kakaknya membuka semua luka lamanya walau hanya bagian-bagian kecil. Mulai dari pemakaman kedua orang tuanya, tongkat sihir Narnie Marleenos yang menghujam jantung ayahnya dan menebas leher ibunya. Alunan nada cinta dan cerita cintanya bersama seorang gadis cantik dan manis, bermata biru dan berambut pirang berombak yang berakhir dengan lenyapnya sang gadis yang tak berhasil diungkap Omesa seperti apa kejadiaannya.Justin membentuk dinding penghalang tentang siapa dia sekarang, istana Parvana, latihan-latihan menyakitkannya selama perekrutan pasukan rahasia, serta hubunga6ya dengan kekaisaran dan raja.Omesa frustasi atas hal yang dilalukan Justin. Akhirnya dia membalas dengan membuka gerbang kepedihan yang dibawa Justin sekarang.Tujuh tahun yang laku saat dimana Omesa yang telah tumbuh menjadi gadis remaja, perapal mantra dan petarunh hebat memutuskan untuk bergabung dengan kaum Marleen.Pertempuran hebat antara ayah dengan anak gadisnya. Ayahnya mengayunkan pedang Gaw'Jury hendak menebas putrinya yang mengganas tak tertendali tapi dalam waktu bersamaan Omesa menarik Justin, adik laki lakinya yang menginthp dari balik dinding, mengangkatnya dan menjadikan menjadikan bocah berusia sepuluh tahun itu sebagai perisai pelindung.Gaw'Jury, pembawa luka. Pedang itu meninggalkan luka dan membuat Justin tak bisa bergerak selincah biasanya, sedikit saja dia salah melakukan gerakan, maka punggungnya langsung diserang rasa sakit yang mekedak, membuatnya hanya mampu memggeliat-geliat, terengah-engah, menangis dan mengerang kesakitan. Pingsan baginya adalah anugerah dan penghapus terbaik di saat sakit itu menyerangnya."Maaf telah membuatmu hidup seperti ini, sampai jumpa Justin," Omesa menarik paksa benak dan mantranya dari dalam diri Justin, kemudian menghilang seperti debu tertiup angin, meninggalkan Justin yang terhuyung, jatuh.



Bayang-bayang dalam bayangan. Tempat gelap dalam kegelapan, membeku dalam dingin, terkungkung kebutaan cahaya dan warna. Hening tanpa suara, tak kuasa mendengar langkah kaki dan desah napas diri sendiri. Setitik merah di bawah kaki, setitik keemasan di atas kepala. Cahaya-cahaya buta menampakkan nestapa. Memperlihatkan aliran sungai darah di bawah kaki. Indra terbuka, gemuruh langit mendatangkan hujan air mata.

Lari, lari dan lari ketika mata menangkap setitik penuh sinar putih, sumber aroma bunga musim semi. Gagak-gagak berterbangan menebarkan mantra-mantra dusta. Lari, laqi dan lari. Tak peduli rantai mencengkram kaki, menuntut berhenti. Tangan terborgol, tak mampu menggapai nada-nada pertolongan.

Puraran angin membuka gerbang ruang dan waktu, menutup pintu-pintu pesakitan, keluar, lenyap. Bebas.

Semerbak aroma bunga matahari, kelopak-kelopaknya menari-nari, terbang seolah hendak menggapai mimpi mandala. Pelangi melengkung, warna-warni eksotis perhiasan simphoni -simphoni alam diiringi gemerisik daun-daun cemaqa dan kicau burung gereja.

Langkah ringan layak terbang, menginjak karpet bumi rumput hijau, bermutiara embun pembias sinar mentari. Justin menatap bukit tempat dia berpijak, tempat asin oleh mata tapi dirasa familiar oleh hatinya. Perhatiaa6ya tercuri oleh sekelebat bayangan merah marun di antara cerah kuningnya kelopak-kelopak bunga matahari di atas bukit di hadapannya.

Seorang gadis berjalan perlahan di antara bunga-bunga matahari setinggi dada. Justin berlari mendekat, dia hafal dan tahu benar siapa gadis itu. Dia mencari celah di antara bunga-bunga. Menghampiri gadis bersenyum dan bermata ceria yang berlari-lari kecil, berputar, menikmati hari.

"Berhentilah Justin," ucap gadis itu dengan suara lembutnya nan merdu, dia memberikan senyuman terbaiknya.
"Aku merindukanmu, Rasreinta," Justin menurut, dia berhenti dalam jarak beberapa langkah.

Komentar

Postingan Populer