Last Song (bagian empat)

Rumah-rumah berdinding kayu dalam tatanan tidak rapi dan tak terkonsep memenuhi sepetak lahan  hijau di tepi aliran sungai, dikelilingi ladang gandum yang mulai menua, sipa panen. Desa Arvtiga namapak seperti kayu-kayu kotak yang diserakkan di tanah  jika dilihat dari tepat Justin, Nhika dan Dillan sekarang berada, tepat di atas bukit, di ketinggian beberapa meter dari desa.
“Kita jalan sekarang ?” Tanya Dillan setelah dia memeaki tudung kepala , begitu juga dnegna Justi dan Nhika. Mereka menyamr , Justin dan Dillan melepas tunik pelindung serta semua lambang kekaisaran yang menenmpel di pkaian mereka sementara Nhika terpaksa harus merusak gaun selututnya denagn jualan melepas ornamen  meutiara yang terpasang di dada sebelah kirinya, memebredel semua sulaman benang emas di gaunnya itu., “Ini bodoh!” begitulah keluhannya setelah bercermin pada permukaan air sungai.
“Tunggu, aku punya mata-maa disini. Dia bisa memberi tahu kita informasi tentang Arvtiga,” Justin yang kondsisinya mulai pulih perlahan turun dari kudanya, mengambil sepotong roti dari kantong pelana kuda.
“Apa mata-matamu seekor tikus?” nhika nyaris tertawa  karena komentasrnya  sendiri saat melihat Justin yang jongkok dan menuggu roti yang dia letakkan si atas tananh berumput.
Dahi Dillan bekerut, dia nyaris terjatuh dari kudanya juga. Sementara Nhika terbelalak memebuat matanya nyaars meloncat keluar dari pelupuk matanya . seekor kelinci berwarna hijua , bermata bulat, bulunya tebal dan lembut, badannya juga gem,uk kini tengah menyantap roti di depan Justin. Benar-benar menggelikan, dia akan telihat sperti melon kalau meringkuk.
“Roti inikurang memuaskan untuk menyogokkku Justin,”
“Dia berbicra!” seru nhika serya menunjuik. Sontak dia melompat turun dari kudanya dan menghampiri Justin serta kelinci itu. Jongkok disan.
“Baqgiman mungkin dia berbicra? Warnya juga aneh, ayah pasti senagn kalau hewan langka ni bisa dikmbangbiakkan”
“kau meletakkanku di kondisis berbahya Justin,” kelinci itu menggaru-garukan cakarnya di rerumputan sementara Justin hanya tersenyum geli mendengar pernyatannya.
“Aku akan memberiu wortel setelah tugasku selesai. Sebaiknya sekarang kau katakan padakau seperti apa keadaan arvtiga,” suasan serius emndadak melingkupi tempat itu, terbawa oleh cara bicara Jstin
“Kau kemanakan sihirmu? Kau bisa mel;akukan mirsee kalau kau mau.”
“Mereka bisa melacakku. Sekarang cepat katakan,” Justin mendesak, sudah tak berminat dia mendengar semua ocehan.
“Baiklah,” si kelinci mendengus kesal, cuping hidungnya kembang kempis mengikuti gerakan daun telinganya yang tak bisa diam, “Ada satu zargol diperbatasan pintu utama depan, tidak ada penjagaan dari arah hutan. Prajurit tak lebih dari sepuluhborang tapi merekea tangguh dan bersenjata lengkap. Semua warga tertutup pada pendatang tapi kau bisa lakukan segalanya dengan uang. Mereka sama sekali tidak bersahabat. Kau bisa mendapatklan banayk informasi jika kau pergi ke kedai di malam hari,”
“Ah! Kami hanya ingin lewat dan mamapir untuk makan. Apa perapal mantranya tangguh? Aku kesulitan untuk melacaknnya.”
“Hanya ada satu perapal mantra, Omesa.” Justin mendadak kaku setelah mendengar nama itu, sejenak dia terduduk dan menopangkan kedua tangannya di tanah, Nhika kebingu ngn knapa reaksi begitu aneh, “berhati-hatilah manis, jaga drimu dan jangan gegabah.”

Asap mengepul dari cerobong asap, emmebawa aroma masakan dari  pemilik rumah. Rumah-rumah berdinding kayu cojklat dan beratap jerami, pintunya berbentuk oval dan berjendela oval. Kain jemuran direntangkan dari jendela dan sisi lain diikatkan di sebatang bamboo beberapa meter panjangnya. Anak-anak kecil bermain-main dan tertawa bersama di halaman rumah. Jalanan sepi tak ada yang berlalau lalang.
Justin, Nhika dan Dillan turun dari kuda dan mengikatkan tunggannya itu dip agar depan sebuah kedai kecil di tenagh perkampungan. Denbagn tudung kepala yang masihterpasang mereka memasuki kedai itu, kedai yang tak terlalau ramai. Hnya sekerumunan pria tua muda di meja sisi pojok dekat pintu, mereka bebicara dnegan berbisisk , sulit untuk didenagr, sejnak perhatian mereka terlaih kepada Justin, Nhika dan Dillan tapi merkea kembali mengacuhkannya.
“selamat dating,” seorang pria tua berjanggut panajang menyapa denag suaranya yang berat dan menggemuruh seraya mengelap counter mejanya, “mau pesan apa?” lanjutnya lagi setelah Justin, Nhika dan Dillan duduk dan melipat lenagn di atas mja yang telahg bersih.
“Teh hangat,” jawab Dillan seraya melirik Nhika yang mengedipkan mata, “dua the hangat,” lanjut Dillan.
“Air raspberry denagn madu hangat. Aku lapar,” kini Justin menoleh kea rah dua kawannya seolah memeberi kode bahwa mereka akan cukup lama diwsana, “roti denag selai nanas dan daging rusa bakar bumbu merica, semuanya porsi besar.” Justinmenyebut menu yang dia inginkan, senyum lkebar meekah di bibir pria pemilik kedai, seperinya dia belum pernah mendapat pesanan seperti itu, dia lalu bergegas menuju dapournya.
“kasu sudah gila?” pekik Nhika, denag  berbisik jengkel, seseklai dia menggertakkan gigi-giginya, “perutmu itu ternbuat dari apa? Kau sudah menghabiskan rotiku sepanjang perjalanan tadi,”
“Apa pedulimu?”  Justin membalasnya denagn berbisik juga, “akau makan selagi sempat kareana aku tahu pertempuran besar menungguku sementarsa aku ahrus menjaga gadis  manis dari istana yang tidak bias berbuat apa-apa. Makananku dating” dia melirik pria trua yang membawa dua piring besar makannannya, “jangan ganggu aku,” Justin menguibah posisi duduknya menjadi sedikit membelkakngi Nhika serta Dillan.
“Ish!” Nhika mendengus kesal seraya menbdorongf kepala Justin hingga roti yang hendak digigitnya mendesak masuk dan memenuhi mulutnya. Dillan terkekeh saat meneguk tehnya membuatnya tersedak tapi dia tetap tertawa.
Justin menikmati sarapan paginya yang untuk ketiga kalinya di pagi itu. Menyatap denagn lahap setiapa gihgitan roti roti dan daging yang lembut serta hanagtnya sari raspberry madu hangatnya. Sesekali dia menggosok-gosok hig\dunganya ketika bubuk-bubuk merica mengusiknya. Sementara Nhika dan Dillan menghangtakan badan dengan secangir the hangat merka sembari bercakap-cakap denagn pemilik kedai, berusaha menelisik lebih jauh tapi tak ada hasilnya. Ketika pria itu menanyakan siapa dan darimana mereka bertiga, Dillan menjawab bahwa mereka bertiga bersaudar. Dillan kakak tertua, Nhika satu-satunya anak perempuan dan Justin si bungsu, Darzigson adalah nama belakang mereka bertiga.
“Kami ingin pergi ke rumah bibi kami di Driana,” itulah jawaban yang terpikirkan oleh Nhika saat harus menjawab tujuan mereka.

“Hah!” seorang pemuda berompi dari kerumunan orang di meja pojok tiba-tiba berdiri dan menggebrak meja, mengejutkan semua orang di kedai termasuk Justin yang lagi-0lagi tersedak tulang rusa, “aku sudah muak denagn prajurit-prajurit itu! Mereka perampok yang mengaku saudara!” dia menunjuk-nunjuk keluara kedai.
“Pelankan sedikit suaramu nak! Kau bias membuat kita semua menjadi tulang-belulang!” pemlilik kedai memperingatkan semudia mlompat kesisi lain untuk meraih ketel airnya dari tungku.
“Kaum marleen terkutuk!” dengus si pemuda, seorang pria yang lebih tua dan berkumis membimbingnya untuk duduk, “mereka bahkan tak pantas untuk bernapas di tanah kita ini,” sekalimlagi dia menggebrak meja kemudian dia membenamkan wajahnya di atas lengannya yang dia lipat di atas meja, berusah meredam amarah yang bergejolak dalam dirinya.

“Kaum marlee dan ratunya membusuklah kalian semua,” kini giliran si pemilik kedai yang mencgoceh seperti orang frustasi seraya me,ngelap cangkir-cangkir tehnya.
“Kalian membenci kaum Marleen?” Nhika kembali menaruh perhatiannya kepada pria berjanggut itu setelah dia puas melihat si pemuda.
“Bukankah Arvtiga daerah kekuasaan Kaum Marleen?” Dillan ikut nagkat bicara.
“Orang berotak mana yang menyayangi dan patuh dari hati kepada Narnie Marleenos orang tak punya hati serta monster-monster denagn kepala berdenyut-denyut peliharaannya itu?” Suara pemilik kedai yang tadinya berat kini terdenagr lebih lembut, dia berusaha agar suaranya jhanya bias didengar oelah Nhika dan Dillan saja., “katakan padaku,” Dia mencondongkan badannya kea rah Nhika, matanya merah terbakar amarah yang terpendam dalam dirinya, “mereka telah menghancurkan kehidupan kami, menjadikan kami budak-budaknya dan memberikan tumbal-tumbal. Kau liha pemuda itu,” dia menunjuk si pemuda yang masih tertunduk tadi, “adik perempuannya telah dijadikan tumbal.”
            “Tumbal?”
            “Ya anak muda,” Dia beralih menatap Dillan, “Ratu mereka, si penyihir busuk Narnie Marleenos meminta tumbal dalam upacara untuk memnghilangkan otak manusia dan memindahkan jantung mereka ke otak.”

“Berhenti,” tiba-tiba Justin menghentikan makannya dan berdiri dengan waspada,  Nhika dan Dillan terkejut begitu pula denagn semua orang disana, yang lain memperhatikan Justin yang mencengram busur di punggungnya, sementara Dillan dan Nhika mulai berjaga-jaga.
“kita ketahuan” sejurus dia meraih busur dan mencabut anak panah dari tabungnya, mengarahkan lalu melepasnya ke pintu depan. Anak panah itu berhenti di udara, melayang, setets darh jatuh ke lantai. Sejurus semau berdiri, mendadak tubuh para pengunjung gemetar tak karuan. Dillan bergegas mencabut pedangnya dan berdiri di depan Nhika.
“Kerja bagus Justin Drew Bieberku sayang,” suara seorang wanita terdengar kemudian perlahan-perlahan muncul seorang wanita berambut panjang warna merah tembagadan bermobak,. Dia berdiri dengan anak panah yang dia jepit di antara jari tengah dan jari telunjuknya. Wanita bermata hijau dan cantik dengan lipstick merah merona itu memakai gaun hitam gemerlap dengan sulaman-sulaman benang emas, “kau semakin tampan dan mempesona,” katanya seraya menapak selangkah demi selangkah mendekati Justin, “aku jadi ingin memelukmu adikku yang manis,”
“Berhenti kau!” Justin mencabut pedangnya dan mengarahkannya ke wanita itu, dia berhenti dan tersenyum sinis.

Komentar

Postingan Populer