Last Song (bagian sebelas)

Pria paruh baya bernama Oldin itu bergegas, melangkah lebar-lebar menghampiri Rona menggunakan kaki kecilnya. Janggut panjangnya bergoyang-goyang seirama dengan langkahnya. Dia membungkuk, memberi hormat ketika telah sampai. Berdiri beberapa langkah di hadapan Rona dengan berkapurancang.
"Kumpulkan semua komandan batalion di auditorium. Cepat dan jangan banyak bertanya," Rona memerintah dengan tegas, tanpa ba bi bu si Oldin pun langsung bergegas. Keluar ruangan dengan cara yang sama seperti saat dia masuk.

"Nikmatilah teh kalian kemudian kita pergi," Rona mempersilakan seraya meraih cangkirnya dan meneguknya dengan cepat.
Nhika dan Dillan mengambil teh masing-masing, menyeruputnya hingga tersisa separuh.
"Maaf, tak bisa menjamu tamu terhormat dengan baik." Kata Rona, dia meletakkan cangkirnya bersamaan dengan Nhika dan Dillan, "tapi keadaan benar-benar tidak mendukung. Ramalan raja, siapa yang meragukan keakuratannya."
"Ini lebih cukup bagi kami," Nhika menumpukkan telapak tangannya di atas lutut.
"Akan kusiapkan pesta sederhana di pantai Threin jika kalian datang lagi,"
"Terimakasih, kami sangat senang mendengarnya," kali ini Dillan yang menjawab.

Rona tersenyum membalas kata-kata Dillan sembari mengetuk-ngetukkan kuku jari telunjuk tangam kanannya di atas meja.
"Baiklah," Rona beranjak dari kursinya, "kita harus ke auditorium," dia mengajak Nhika dan Dillan yang langsung menarik diri dari kursi.

Nhika mengamati cara melangkah Rona, tegas dan teratur, tidak terlalu cepat dan tidak terlalu lambat. Wanita yang tangguh, itu yang Nhika pikirkan ketika berjalan di sampingnya sementara Dillan berjalan di belakang mengamati dinding lorong yang putih bersih seolah olah dia mencari setitik noda kotor disana.

"Dimana anak nakal itu?" Tanya Rona tiba-tiba, mengejutkan Nhika dan Dillan, keduanya nyaris melompat.
"Justin, dia dimana? Anak nakal itu kenapa tidak bersama Shairv? Dia punya hutang makan malam denganku,"


"Ceritanya panjang, kami berharap dia segera kesini," Nhika menjawab, Rona berhenti tepat di depan sebuah pintu tinggi bercat hitam. Dia mengangguk dan tersenyum pada Nhika.

Rona mendorong pintu, membuatnya terayun ke depan, terbuka. Lima orang yang duduk mengelilingi sebuah meja bundar besar dari batu langsung berdiri. Lima orang yang masing-masing berbadan tegap dan menyandang pedang itu terdiri dari empat orang laki-laki dan seorang wanita. Mereka membungkung dan meletakkan tangan kanan di perut, memberi hormat. Tertahan di posisi seperti itu hingga Rona berjalan ke kursinya bersama Nhika dan Dillan kemudian mempersilakan mereka duduk.

"Aku tidak mau berbasa basi. Raja mengutus putri dan prajuritnya untuk memberitahu kita informasi ini," Rona langsung berbicara ke pokok permasalahan, seperti apa yang dia katakan di awal.

"Kaum Marleen bergerak, mereka merekrut Zargol. Raja memberi kita sebuah rencana aman," Rona membuka gulungan perkamen yang diberikan Nhika. Menjelaskan dan mulai menerapkan rencana. Memasang orang yang tepat di setiap keputusan. Dillan yang cerdik dalam perang dan strateginya banyak berperan dalam diskusi singkat itu.
Selesai, gulungan perkamen digulung kembali. Satu per satu mereka keluar dengan tekad kuat dan keberanian yang menggebu gebu untuk mampu melakukan tugas dengan baik.


Driana mendadak siaga. Prajurit-prajurit dari batalion satu menyebar info ke penduduk, mereka mengungsikan anak-anak, wanita dan orang tua ke tempat teraman di Driana, ruang bawah tanah kantor perwakilan. Batalion dua memasang peralatan di atap-atap rumah penduduk, alata-alat untuk pemanah terbaik Driana. Batalion tiga dan empat mempersiapkan diri di pintu gerbang Driana sementara batalion lima membuat benteng di perbatasan. Dengan bantuan penduduk yang dikoordinasi oleh Dillan, mereka membuat parit-parit dalam yang diatasnya dipasangi pohon berduri tajam.


Angin berhembus lumayan kencang di balkon menara, mengibas-ngibaskan rambut panjang Nhika yang kini dia gerai. Gadis itu juga telah berganti gaun, dia mendapat hadiah dari Rona berupa gaun selutut berwarna biru cerah dengan motif unik di lengan, dada dan bagian bawahnya.

Nhika berdiri di balkon menara pemantau Driana, mengamati kesibukan kota itu bersama Rona dan Shairv. Matahari telah condong ke barat, disambut tepi laut. Kemegahan langit sore yang oranye mulai nampak, semburat-semburat mempesona menghiasi langit cerah berlapis awan tipis.
"Dia tidak kutemukan," Shairv berbicara, sinar matanya mengisyaratkan kepedihan dan kecemasan mendalam.
"Dia anak bodoh, dia tahu siapa dirinya tapi dia selalu dikendalikan perasaannya," Rona berbicara, suaranya menandakan hal yang sama dengan apa yang terpancar dari mata Shairv.
"Aku harus mencarinya, izinkan aku pergi"
"Tidak Shairv," Rona mengubah posisinya, dia menghadap Shairv sementara Nhika yang berdiri di tengah-tengah memilih untuk diam, mendengarkan dan memahami. Justin, dia sangat dikenal dan disayangi di tempat ini. Ayahnya juga sangat mempercayainya, siapa sebenarnya dia?

"Kita sudah mulai bekerja, Kaum Marleen pasti terpancing dan semakin memperketat diri. Tindakan ini sama kita mengatakan pada mereka bahwa kita menerima pertempuran, akan sangat berbahaya bagimu jika terbang."
"Justin pasti akan kesini, dia sudah berjanji pada ayah." Nhika menambahkan kata-katanya untuk meyakinkan Shairv. Shairv menunduk, dia menyerongkan kakinya kemudian melangkah ke ujung balkon yang lain.
Berdiam disana sambil mengamati keadaan dari jauh.
"Tidak!" mendadak dia berseru dan mengejutkan Nhika serta Rona yang langsung bergegas menghampirinya, memperhatikan apa yang diperhatikan olehnya.

Mata Rona membesar, menjadi bulat dan terlihat seperti hendak melompat keluar.
Di kejauhan, di padang rumput Driana, bayangan-bayangan hitam yang mengumpul menghentakkan bumi.

Nhika mencengkram besi pagar balkon kuat-kuat hingga buku-buku jarinya memutih. Dia menatap ribuan pasukan Marleen yang semakin mendekati Driana.
Ratusan Zargol menjadi benteng pertahanan mereka. Meraung-meraung, melonglong ke udara seperti serigala kehausan darah. Di belakang para Zargol, ada puluhan batalion berbaju besi mengayun-ayunkan kapak serta pedang di atas kepala tanpa perisai pelindung di tangan mereka. Rona bergidik melihat pasukan, dia mengumpat tak jelas membandingkan jumlah pasukannya dengan pasukan Kaum Marleen yang bertandang mengajak perang. Kalah telak.

"Rona?" Shairv menyadarkan wanita itu dengan menyentuh lengan Rona menggunakan moncongnya.
"Shairv, pergi ke Dillan dan persenjatai semua penduduk! Habisi Zargol sebelum matahari terbenam atau kita mati" Perintahnya seraya melangkah menuju lonceng, membunyikan tanda perang dimulai.

Nhika kebingungan ketika Shairv terbang meninggalkannya, gadis itu langsung bergegas berlari menuju pintu keluar menara tanpa sepengetahuan Rona. Dia turun melewati tangga lingkar dengan napas yang memburu, klontang-klontang bunyi besi di bawah kakinya memenuhi langit-langit menara. Dia sampai di depan pintu. Meraih sebuah tombak di samping pintu, kemudian berlari keluar.

Shairv terbang rendah, ratusan prajurit-prajurit di bawahnya mulai menempatkan diri di posisi mereka. Membentuk benteng, tangan kanan mencengkram pedang, tangan kiri menguasai perisai.
"Dillan!" Shairv menghampiri Dillan yang bersiap dengan topi bajanya di atas kuda coklat barunya.
"Berhati-hatilah," dia mengepak-ngepakkan sayap dengan tenang, membuatnya melayang stabil di hadapan Dillan.
"Kita kalah jumlah. Ratusan Zargol ada disana. Kita harus membunuh makhluk-makhluk itu sebelum matahari terbenam atau mereka akan semakin kuat,"
"Aku tahu itu, kembalilah! Pasukan baruku sangat tangguh." Dillan melirik ratusan prajurit dan penduduk di belakangnya yang telah terbiasa bertempur.
"Aku percaya padamu, semoga pedangmu menguatkanmu."

Shairv kembali terbang menuju menara, sejenak dia menengok ke belakang memperhatikan pasukan Kaum Marleen, dia menemukan sesuatu yang ganjil di antara kerumunan hitam itu tapi tak terlalu ia pikirkan lantaran pemanah telah menyiapkan anak panah-anak panah mereka. Shairv mempercepat lajunya dan ribuan anak panah langsung melesat dengan kecepatan tinggi bersamaan dengan saat Shairv memijakkan kakinya di lantai menara.

Hujan panah tanpa henti terarah pada para Zargol yang terjebak dalam kesemrawutan sementara pasukan di belakangnya terus mendesak maju tanpa ampun. Menginjak-injak Zargol yang terkena lima panah di jantung kepala dan akhirnya berubah menjadi debu.
Pasukan di darat mulai bersiap, mereka mencengkram pedang yang masih tersandang di pinggang. Menunggu aba-aba dari komandan mereka masing-masing. Dillan sebagai salah satu komandan disana memperhatikan jebakan yang belum selesai mereka bangun. Nampak olehnya ratusan meter dari tempat dia duduk di atas pelana, para Zargol yang mendadak terkapar, asap hitam bercampur debu di udara membuat keadaan semakin terlihat tak beraturan.

"Api!" seruan menggemuruh terdengar dari atap. Tak pernah disangka oleh Dillan bahwa komandan batalion wanita itu sangat hebat. Suaranya lantang, semua pria yang menjadi pasukan pemanahmya pun sangat patuh serta jitu.

Panah api melesat seperti hujan api, kobaran menjilat-jilat disisi barat, seolah ingin mengalah pesona kemegahan semburat merah sang surya di sore hari.

Ratusan prajurit mampu menembus api yang membakar kawan mereka keluar dengan cekatan. Berteriak penuh emosi sambil berlari maju. Dillan dan kedua komandan lain salimg melirik, mengangguk kemudian mencabut pedang dan berteriak: "Maju!!".
Dillan menghentakkan kaki di badan kuda, melesat sembari menutup helm besinya. Pasukan di belakangnya berteriak penuh semangat menghampiri musuh mereka yang beberapa di antaranya terjerembab di parit buatan mereka tadi.

Matahari lenyap di ujung samudra, gurat-gurat oranye perlahan memudar digantikan kemegahan bulan purnama sempurna yang menerangi malam. Jangkrik tak berani mengerik, kelelawar tak berani menantang malam, bersembunyi di lubang-lubang gelap. Kunang-kunang tak melintas, berhenti bergerak dan hanya berputar-putar di ujung batang cemara.

Bunga api berkobar ketika besi bahan kapak dan pedang beradu dengan sesamanya. Teriakan penuh emosi pengobar semangat bercampur dengan jerit kesakitan tak tertahan memenuhi padang rumput tepi sungai Hoan dekat pintu gerbang Driana.

Zargol melonglong ke udara dan berubah menjadi abu hitam berbau busuk ketika Dillan dan keempat prajurit lain berhasil menghunuskan pedang ke kepala makhluk menjijikkan itu.
"Zargol kesepuluh, musuh ke seratus dua," Dillan mengatakan jumlah yang berhasil dia tebas di medan perang setelah dia menusuk tenggorokkan seorang pria tak bertameng yang mengayunkan kapak besar ke kepalanya. Dia melangkah maju beberapa langkah, melewati puluhan prajurit lawan yang tergeletak tak bernyawa dan bersimbah darah. Dia tahu kubunya menang, ternyata pasukan Kaum hanya petarung amatiran, mungkin hanya untuk menakut-nakuti dari sisi jumlah.
Masih ada belasan Zargol yang meraung-raung, sulit menandingi makhluk-makhluk itu di malam hari apalagi saat bulan purnama.

"Argh!" Jerit Dillan ketika lengan kirinya dicengkram kuat, dia diangkat. Matanya terbelalak mendapati dirinya berhasil ditangkap Zargol setinggi dua meter yang menatapnya garang menggunakan mata merah pengisyarat kematian. Dalam hitungan detik, dia dilemparkan oleh Zargol itu. Terbang, terpental dan berguling-guling di tanah sampai akhirnya punggungnya terbentur sebongkah batu. Helm besinya terlepas, dia kesakitan.


Nhika mencari-cari di sekitar jalanan sempit yang sepi dalam keremangan malam bercahaya bulan purnama. Suara tangis anak kecil yang membuatnya khawatir tak juga dia temukan sumbernya.

Nhika memperkuat cengkramannya pada tombak panjang di tangannya. Pegangan tak stabil yang dia gunakan untuk berjaga-jaga kalau ada musuh yang mendadak datang atau hal lain yang membahayakannya. Pandangannya dia pertajam agar mampu melihat dengan lebih jelas dan segera menemukan anak kecil yang menangis terisak. Nhika menghentikan langkahnya ketika dia mendapati bayangan hitam membungkuk di jalan. Bayangan itu berasal dari sesuatu di balik tembok rumah. Perlahan Nhika kembali melangkah, dia tahu sumber suara yang dia cari sejak tadi berasal dari sana.
"Halo," sapanya lembut dan penuh kehati-hatian.

Gadis kecil yang disapa Nhika terkejut, dia yang awalnya tertunduk bergegas berdiri di atas kedua kaki kecilnya yang gemetaran. Dia nampak sangat ketakutan, menatap mata Nhika lekat-lekat. Nhika tersenyum dan mendekatinya tapi gadis itu justru berlari menjauh.
"Hey! Tunggu!" seru Nhika, dia berlari mengejarnya. Membuat kegaduhan tersendiri dengan suara sepatunya yang beradu dengan jalan dan juga napasnya yang tak beraturan.


Dillan susah payah berdiri. Bergantian dia melihat pertempuran dimana prajurit Driana semakin mendesak maju dan menguasai wilayah yang lebih luas. Pasukan Kaum Marleen terdesak mundur tapi tetap bertempur dengan sisa pasukan yang tak lebih dari separuh pasukan awal mereka. Lalu memperhatikan Zargol yang berjalan mendekatinya, tanah bergetar tiap kali kaki Zargol menyentuh tanah. Dillan menancapkan pedangnya ditanah rerumputan dan menjadikannya alat penopang untuk berdiri.

"Mmaatttiii," Zargol itu berdesis, mengangkat jemari tangan kirinya yang berkuku tajam, dari ujung telunjuknya muncul suluh api. Dillan belum berhasil berdiri dan Zargol itu telah berdiri di hadapannya.

"Arrggh!" Zargol itu mendadak menjerit, dia kesakitan, jatuh menggeliat-geliat di tanah dan menghilang meninggalkan bau busuk dari abunya.
"Terimakasih," ucap Dillan sembari menyambut tangan orang yang telah membunuh zargol dan hendak membantunya berdiri.


"Lain kali hati-hati anak muda," Rona, orang yang telah membantu Dillan. Wanita itu memakai rompi besi sebagai pelindung dada dan juga helm besi dengan hiasan bulu merak cantik di bagian depan yang melengkung ke belakang. Dillan mengangguk, mengambil dan memakai kembali helmnya yang tadi terlepas.
"Kurasa kita akan menang" Dillan berbicara sembari mengukir senyuman terbaiknya untuk Rona.

Cahaya rembulan di atas kepala para prajuri di medan pertempuran tiba-tiba meredup, terhalang oleh sesuatu. Rona dan Dillan mendongakkan kepala dan terbelalak.


"Jangan sakiti aku," gadis kecil itu memberontak ketika Nhika berhasil meraih tangannya.
"Aku tidak akan menyakitimu!" Nhika membentak, dia memegangi lengan gadis yang langsung diam dan memperhatikannya. Nhika tersenyum, menyandarkan tombaknya di dinding kemudian jongkok di hadapan gadis kecil bermata hitam nan bening itu.
"Aku akan membawamu ke tempat yang aman." kata Nhika lembut.
"Tatap mataku,"
"Apa?" Nhika tak paham, nada bicara gadis itu terdengar sangat serius.
"Supaya aku yakin kau baik," Nhika berpikir sejenak kemudian melakukan apa yang diminta si gadis kecil.
Tak butuh waktu lama dan Nhika juga tak merasakan apa pun.
"Maafkan saya Tuan Putri Nhika" dia memberi hormat dan berbicara ramah. Nhika mulai menarik kesimpulan, dia menemukan gadis yang berbeda.
"Ayo pergi," sejurus Nhika berdiri, meraih tombaknya kemudian mengajak gadis kecil itu beranjak pergi. Mereka berpegangan tangan.


"Terkutuk," gumam Rona. Dia menatap bengis apa yang menghalangi cahaya bulan. Seekor naga hitam besar, bersayap kuat mengudara, terbang rendah hendak mendarat di kerumunan para prajurit yang berperang.
"Menyingkir!" Rona berseru, suaranya menggemuruh di udara, menghentikan semua tindakan. Semua menengadah ke langit kemudian berhamburan menepi.

Naga hitam itu mengguncang tanah ketika mendarat. Rona menatap penunggang hewan langka itu. Wanita tinggi, berambut panjang dan berjubah hitam. Matanya tajam seperti elang.


"Narnie Marleenos," Rona menggumamkan nama penunggang naga itu. Sejurus Dillan mengerutkan kening, memperhatikan pemilik nama itu. Wanita cantik, bibirnya merah, hidung mancung, rambut panjangnya yang lurus membuatnya semakin mempesona. Satu hal yang mengerikan dari wajahnya hanyalah matanya yang bersorot tajam seperti mata elang.
"Menyerah atau mati?" dia berbicara dengan suaranya yang berat dan tegas. Dia masih duduk di atas pelana naga hitamnya yang berdiri kokoh dengan posisi sayap yang terbentang, menandakan bahwa dia tak mau berlama-lama berpijak di bumi.
"Pergilah kau ke neraka!" Rona menyentak, dia mengarahkan pedangnya ke Narnie Marleenos yang justru terrsenyum melecehkan.
"Kutanya menyerah atau mati, bukan mengatakan tempatmu berdiam setelah kujadikan jantungmu santapan kucingku."
"Aku bersumpah. Aku akan bangkit dari kubur untuk menguburmu jika aku mati terlebih dulu,"
"Heh, mengerikan sekali. Tapi apa ada yang lebih mengerikan dari ini?" Narnie menjentikkan jemari tangan kanannya kemudian terbang dengan naganya. Saat itu juga, mayat-mayat pasukan Kaum Marleen yang telah tak bernyawa kembali bangkit. Mereka bergerak seperti mayat hidup.

Dillan hampir muntah saat melihat seorang dari pasukan Kaum Marleen meraih seorang prajurit Driana, memiting, mematahkan tangannya kemudian melahap orang itu seperti menikmati daging ayam. Pasukan Kaum Marleen yang lain pun melakukan hal yang sama.

"Sial!" Dillan mengutuk kesal, dia mengayunkan pedang dan menebas tiga mayat hidup yang mengganas mendekatinya. Rona melakukan hal yang sama begitu juga dengan prajurit lain. Mereka harus bertempur ulang dengan manusia-manusia yang dikuasai sihir padahal mereka telah lelah, jumlah mereka pun juga telah berkurang cukup banyak.

"wanita terkutuk itu harus kita bunuh, ini percuma! Persetan dengan boneka-boneka ini. Aku harus memanggil Shairv!"
"Bagaimana caranya? Kita terkepung" Dillan mengatakan keadaannya saat dia beradu punggung dengan Rona.



"Aaaaa!" Nhika dan gadis kecil yang berlari di sela-sela bangunan tinggi menjerit bersamaan suara mereka melengking dan membumbung ke udara. Seorang pasukan Kaum Marleen yang kepalanya terbelah dua tiba-tiba muncul dari balik tembok, mengejutkan. Nhika melompat mundur sementara si gadis kecil bersembunyi di balik punggungnya.

Nhika semakin ketakutan, dia berusaha untuk tidak pingsan dan memperkuat dirinya sendiri. Dengan sisa-sisa keberanian dan tenaga yang dia kumpulkan, Nhika mengangkat tombak, mengarahkan ujungnya ke mayat hidup itu.
"Pergi," dia berniat mengusir dengan jalan menyodok-nyodokkan tombaknya ke wajah musuhnya yang sebelah kirinya hampir putus.
"Argh!" dia jengkel dan tahu bahwa tak mungkin bertahan dengan posisi seperti itu. Sejurus dia mengayunkan tombaknya dari samping, menebas kepala mayat itu. Nhika kemudian berlari. Sejenak melirik ke belakang, melihat keadaan musuhnya, kepala sebelah kanan telah terlempar entah kemana sementara yang sebelah kiri masih tergantung.

"Yang Mulia!" gadis yang ditarik Nhika menghentikan Nhika. Dia memasang raut kecemasan tak karuan yang membuatnya nampak sangat kacau. Gadis itu menatap ke depan. Nhika mengikuti arah pandangnya, saat itu juga tombak dalam genggamannya terlepas dan jatuh. Pijakannya goyah, dia tak mampu melakukan apa pun. Tak ada kata yang terucap, menjerit tak mampu, keringat pun berhenti mengalir dari kening.

Ada puluhan mayat hidup Kaum Marleen yang berdiri di hadapannya. Berdesis membawa pesan kematian bagi siapa pun yang melihatnya. Mereka bergerak maju, mendekati Nhika yang tak mampu bergeser seinchi pun.


"Mereka semakin ganas! Kita akan musnah!" Kata Dillan pada Rona, mereka melompat dan berputar, menebas, mengayunkan dan menghunuskan pedang kepada tiap mayat hidup yang terus mendesak mereka.

Keadaan yang lebih buruk terjadi di prajurit Driana yang lain. Sebagian besar telah dimakan, tersisa tulang-tulang yang berserakan bercampur darah segar.


Lengan Dillan mulai kaku, genggaman tangan pada pedangnya mulai mengendor, kakinya gemetaran karena lelah dan keputusasaan mulai menguasai jiwa dan raganya yang diselimuti kecarutmarutan pikiran dalam dirinya. Dia juga menyadari bahwa gerakannya melambat, pandangan matanya pun mulai kabur. Mayat-mayat itu memiliki kekuatan luar biasa, mereka ganas dan sulit dihentikan.
Sejenak dia diam setelah berhasil melumpuhkan beberapa mayat hidup yang mendekatinya. Dia melihat sekeliling, dunia seperti dibalik, beberapa jam yang lalu dia melihat pasukan Kaum Marleen terkapar tapi kini dia mendapati dirinya dan puluhan prajurit Driana yang masih sanggup berdiri sedang bertempur di atas tanah yang dipenuhi tulang belulang dari rekan mereka sendiri.

Mendadak betis Dillan tertekuk, dia diserang dari belakang. Didorong dan membuatnya terkapar di tanah yang basah karena darah. Seorang mayat yang dadanya tertusuk tiga panah mendekatinya. Dillan tak mampu berbuat apa pun ketika lengannya dicengkram kuat-kuat. Dia meringis kesakitan, suara tulangnya retak karena dicengkram mayat itu mampu menembus gendang telinganya.

Dalam detik-detik yang dia rasa berjalan abadi itu dia menyempatkan diri untuk memperhatikan prajurit lain yang masih bertempur untuk mempertahankan Driana, termasuk Rona yang nampak tak letih sedikit pun. Dillan memejamkan matanya perlahan. Mungkin memang hanya sampai disitu. Perjalanannya berhenti dengan cara seperti ini. Wajah Nhika muncul dalam benaknya, putri cantik yang sangat dia sayangi. Dia pernah sangat tersanjung karena Raja Vollin menerimanya dengan memberinya sinyal lewat lelucon, "Lamar putriku dengan pedang dan perisaimu."

Buk! Sejurus Dillan membuka matanya saat tiba-tiba dia merasakan tubuhnya ditimpa sesuatu. Mayat itu, mayat yang hendak memakannya kini terkulai lemah di atas tubuhnya. Dia melihat sekeliling dan mendapati keadaan sama terjadi pada mayat-mayat yang lain. Sihir yang menguasai mereka telah lenyap.


Dillan menengadah ke langit, menyapukan pandangannya ke segala penjuru. Dia mencari-cari kenapa sihir mengerikan Narnie Marleenos lenyap di saat yang tepat. Dia ingat benar perkataan Rona yang mengatakan bahwa semua akan tidak sia-sia jika mereka berhasil mengusik sang penyihir secara langsung.
Nhika jatuh lunglai ke tanah ketika tahu dia dan gadis kecil yang bersamanya selamat. Meski kebingungan kenapa mayat-mayat itu tiba-tiba tak bergerak lagi. Dia menghela napas panjang kemudian menghirup oksigen lagi dalam-dalam. Menenangkan diri dan memulihkan energi yang tadi lenyap seketika.
"Ada yang aneh, kita harus pergi Yang Mulia," ajak gadis kecil itu, Nhika menatapnya berharap mendapat penjelasan tapi hasilnya nihil. Gadis itu hanya menunggu Nhika merespon ajakannya.
"Legenda itu ternyata benar-benar ada," ucap Rona, dia seolah berbicara pada Dillan yang berjalan tertatih menghampirinya.
"Apa itu?" tanya Dillan, dia menanyakan burung besar yang hampir dua kali lipat dari naga Narnie Marleenos.
"Gargantara," jawab Rona takjub. Dia benar-benar tak percaya dengan apa yang dia lihat. Burung garuda raksasa dari legenda tebing tua Air Terjun Sannuir, sayap lebarnya dipenuhi duri-duri tajam warna coklat mengepak-ngepak menantang naga Narnie Marleenos yang meraung-raung di hadapannya. Mata biru burung itu mengisyaratkan kebijaksanaan, kewibawaan dan kekuatan besar yang ada dalam dirinya.
Rona beralih melihat ke bayangan hitam di dekat leher sang garuda yang berlatar belakang bulan purnama. Seseorang yang membawa perisai dan pedang yang memantulkan kilauan cahaya bulan. Dia duduk dengan kokoh dan penuh percaya diri, menghadap Narnie Marleenos yang mendadak gentar karena terkejut menyadari kehadirannya bersama sang garuda.
"Justin!" seru Nhika yang datang dengan menunggang Shairv bersama si gadis kecil.

Komentar

Postingan Populer