Last Song (bagian enam)

Justin mendekati gadis yamg menyambutnya dengan baik dan justru mundur beberapa langkah seraya menggelengkan kepala beberapa kali, menolak.
"Jangan tinggalkan aku, aku tidak punya siapa pun lagi. Kumohon,"
"Pergi!" sentak gadir itu bersamaan dengan angin yang tiba-tiba berhembus menerbangkan kelopak-kelopak bunga matahari, dia berlari menjauhi Justin yang kaku di pijakannya. Di antara bunga-bunga matahari, dia menatap pilu gadis bergaun merah marun yang semakin jauh darinya.


Perlahan Justin membuka mata. Hal pertama yang dia rasakan adalah setetes air mata yang mengalhr dari salah satu sudut matanya , mimpi yang menyakitkan.

Keremangan malam bercahaya api unggun membuat mata Justin yang lama terpejam dalam gelap tak perlu menyesuaikan diri. Ketika dia telah sadar sepenuhnxa, dia mendapati dirinya tertidur di kantong tidur dengan diselimuti rapat-rapat hingga leher. Perlahan dia bangun dan menyadari betapa berat kepalanya. Justin mengerjapkan mata beberapa kali kemudian melihat sekeliling. Dia berada di dalam gua bermulut lebar. Api unggun nyaris mati di sampingnya.

Biarlah cinta tetap disini
Cemara dan pinus menjadi saksi keabadian
Bunga-bunga melepaskan kelopak
Terbang, menyebarkan kisah cinta kita ke semesta.

Terdengar suara Nhika dan Dillan dari luar, mereka bernyanyi, lagunya membuat kening Justin berkerut. Dengam penuh kehati-hatian agar tak menyiksa punggungnya yang mulai terasa panas, dia melangkah dengan bertopang pada dinding dinding gua yang dingin. Masih terdengar olehnya syair-syair cinta dari bibir Nhika dan Dillan.

Langkah Justin terhenti bersamaan dengan berhentinya nyanyian lagu cinta Nhika dan Dillan. Dia berdiri di samping mulut gua, bersandar disana sembari melihat dua kawan perjalana6ya sedang beradu pandan di bawah cahaya rembulan. Sinar mata Nhika mengisyaratkan betapa dia rangat bahagia. Jelas sekali dia memiliki rasa terhadap komandan batalion yang kini duduk di hadapannya,Dillan.
"Apa masih ada makanan untukku?" tanya Justin,


Pelan-pelan Justin menelan roti yang telah dia kunyah puluhan kali. Tenggorokannya terasa berduri, dia menyadari itu setelah dia berbicara dan mengejutkan Nhika serta Dillan, membuat kedua orang itu bertingkah seperti berang-berang yang tertangkap basah sedang mencuri. Justin menyandarkan punggungnya dan bernapas lega setelah berhasil menelan roti, memasukkan makanan dari tepung itu ke lambungnya yang terus memainkan genderang. Dia benar-benar tidak menyangka mantra dan tindakan Omesa bisa berakibat besar pada tubuhnya. Dia merasa beruntung karena punggungnya tak terlalu memprotes, hanya rasa panas dan gatal di sekitar lukanya."Sebenarnya tadi kau kenapa?" Tanya Nhika, dia menambahkan sebatang kayu ke api unggun, "kami menemukanmu pingsan dan kau pingsan sangat lama. Kau tidak terluka dan tidak demam, hanya bajumu robek dan ada bekas luka mengerikan di punggungmu. Apa yang terjadi? Siapa dirimu sebenarnya? Apa benar wanita penyihir itu kakakmu?" Dillan memberondong, dia menatap justin dengan tajam seolah mencari dosa yang tersembunyi di dalam diri Justin."Apa peduli kalian?" Justin membalas dengan nada datar, dia berusaha bersikap biasa."Kau tanya apa peduli kami? Heh!" Dilla tersenyum kecut sembari sedikit membuang muka, "kami peduli pada diri kami dan Parvana. Bukan kesalahan jika kami mencurigai kesetiaan adik dari tangan kanan Kaum Marleen!""Jadi kalian mencurigaiku?" Justin menegakkan punggungnya, matanya bergantian menatap Nhika dan Dillan, "Payah, kau pikir aku suka bersama kalian? Raja saja percaya padaku, apa yang ada di otak kalian?""Maaf Justin," Nhika kini mengambil alih, dia memegang lengan Dillan, memintanya diam "Tapi ini aneh, kau terlalu aneh untuk kami. Mungkin ayah memberi kepercayaan besar padamu tapi kami tidak tahu apa yang sudah terjadi dan yang akan terjadi. Ini terlalu sulit, terlebih kami tidak tahu apa pun tentangmu,"

"Baiklah," Justin menghela napas, dia tahu bahwa memang seharusnya dia melakukan hal akan dia lakukan sekarang, "Namaku Justin Drew Bieber, usia tujuh belas tahun. Ayahku dan Raja Parvana, ayahmu," dia menatap Nhika sejenak, " mereka sangat akrab. Kedua orang tuaku meninggal saat aku berusia sebelas tahun, tepat satu tahun setelah Omesa meninggalkan luka di punggungku dan pergi ke kaum Marleen. Aku dirawat raja sejak saat itu. Ilmu sihir kudapat dari kedua orang tuaku, aku belajar sejak kecil." Justin menjelaskan, memberitahu beberapa kebenaran yang dia pikir memang seharusnya dia jelaskan sejak pertama kali mereka memulai perjalanan.
"Ayahku merawatmu? Kenapa aku tidak pernah tahu? Kenapa ayah melakukan itu?"
"Ada beberapa hal yang tidak bisa kauketahui,"
"Bermain rahasia lagi," Dillan berkomentar dengan nada bi2ra yang tak enak didengar, sejurus Justin menatapnya, menunjuk wajahnya seraya berkata, "Tutup mulutmu atau aku yang akan melakukannya!" sebuah ancaman, ekspresi dari amarah dan kejengkelan Justin. Hening disana, hanya desir angin dan nyanyian burung hantu yang justru semakin mengisyaratkan kesepian. Dillan beranjak, dia beralih tempat duduk ke mulut gua, menyandarkan sisi kan tubuhnya sambil mengorek-ngorek tanah seperti anak kecil.

"Aku ingin mendengar lebih lanjut," Nhika kembali membuka mulut setelah sejenak dia memperhatikan Dillan.
"Aku sengaja dirawat dan dibesarkan untuk menjadi anggota pasukan rahasia, bukan sebuah rahasia lagi jika kau mengetahui keberadaanku. Aku tidak bisa berkata lebih dari ini, kau bisa bertanya pada ayahmu kalau kau mau,"
"Aku berharap itu terjadi," Nhika menunduk, keputusasaan bercampur ketakutan terpancar dan tergambar jelas di sinar mata dan wajahnya, "Aku merasa kita berada di keadaan yang menakutkan dan sulit untuk kembali. Misi ini pun, aku ragu bisa menyelesaikannya. Aku seperti berada di bayang-bayang kematianku,"

Api terus menjilat-jilat, letupan dari kayu berongga yang terbakar, memuncu£an bunga api. Justin memperhatikan Nhika yang masih tertunduk dalam keresahan di hadapannya.
"Dillan kau mau kemana?" gadis itu merespon ketika menyadari Dillan beranjak dari tempatnya berdian dir dan melangkah keluar gua.
"Berjalan-jalan sebentar," jawab Dillan sembari terus melangkah tanpa memperhatikan lawan bicaranya.

Letupan-letupan api kembali muncul dari bonggol kayu sebesar kdpalan tangan orang dewasa, di api unggun. Bunga-bunga api berterbangan mengiringi lidah api yang menjilat-jilat, menimbu£an bayangan besar bergoyang-goyang di dinding, bayangan Nhika dan Justin yang duduk berhadap-hadapan.

Nhika masih di posisinya, dia diam dan menundukkan kepala sambil memperhatikan api unggun seolah ingim mengambil hikmah hidup, sementara jemari tangannya sibuk bermain-main dengan jemari yang lain.

"Aarrgh!" Erangan Justin yang tiba-tiba , membuat Nhika terkejut. Gadis itu bergegas menghampiri Justin yang terengah-engah, kesakitan dalam keadaan memejamkan mata dan bersandar di dinding gua, mencoba menenangkan diri.
"Kau kenapa?" Nhika memegangi lengan Justin, cemas.
"Mencoba sihirku untuk melihat keadaan tapi tubuhku menolaknya, payah," Justin berbicara masih dalam keadaan terpejam.
"Aku masih tidak mengerti. Apa yang sebenarnya dia, maksudku kakakmu itu padamu?"
"Dia bukan kakakku lagi," sejenak Justin membuka mata tapi kemudian memejamkannya lagi, dia hanya ingin menunjukkan keseriusan dari kata-kata yang dia ucapkan lewat sinar matanya.
"Pobrasee," kata Justin sambil memenggangi dadanya,
"apa?"
" dia melakukan Pobrasee, tindakan membaca memori dan kenangan orang lain,"
"Apa itu menyakitkan?"
"Tidak jika kau tidak melawan dan kau tidak memiliki pengalaman buruk,"
"Kau mempunyai pengalaman buruk?"
"Heh," Justin membuka matanya, menegakkan punggung kemudian mencodongkan diri ke Nhika, menatap gadis itu lekat-lekat.


"Kau bahkan tidak pernah tersenyum," Nhika berbicara dengan terbata-bata, dia tak mau menatap Justin. Ada sesuatu yang membuatnya merasa aneh dan tak nyaman.
"senyum? Aku juga lupa terakhir kali aku tersenyum,"

"Nhika! Aku punya sesuatu untukmu!" Dillam muncul, dia datang dan mencuri perhatian Nhika serta Justin. Nampak laki-laki muda itu berjalan menghampiri Nhika dengan menenteng senyuman lebar di wajahnya yang mempesona.

"Apel hutan untukmu," sejurus Nhika menangkap buah berbentuk bulat dan berwarna merah muda yang dilempar Dillan, Nhika terlihat sangat senang menerimanya.
"Bagaimana kau mendapat buah langka ini?"
"Ada satu pohon di belakang gua ini, kau suka?" kali ini Dillan berbicara dengan sedikit melirik sinis Justin yang sejak tadi mengamatinya dengan tatapan berbeda.
"Ada apa? Kau mau buah juga?" pertanyaan Dillan yang ditujukan kepada Justin memaksa Justin untuk sedikit mengubah ekspresinya, apalagi saat Nhika mulai turut serta melihatnya.
"Kau bodoh, permisi" jawab Justin ketus, dia lantas melangkah menghampiri kantong tidurnya, meringkuk disana dengan memunggungi Dillan dan Nhika, meskipun begitu dia tetap memperhatikan bayangan kedua rekannya yang bergoyang-goyang dh dinding gua, di hadapannya. Setengah berpikir dan memulihkan pikirannya, akhirnya kelelahan yang menggila mengalahkannya. Jiwanya menarik diri dari dunia nyata dan memasuki alam mimpi yang menenangkan.


Dillan membantu Nhika naik ke atas punggung kuda gadis itu, lalu naik ke kudanya sendiri. Matahari merayap naik dari balik bukit di sisi timur, kabut pagi sedikit menghalangi kehangatan sinarnya. Justin, mulai menjejakkan tumit di kudanya, memulai perjalanan dengan busur panah dan tabung anak panah di punggung serta menyandang Gaw'Jury di pinggangnya.

Melewati jalanan terjal di puncak bukit yang memanjang, di bawah sana nampak kelok kelok aliran sungai Zee, mereka hampir sampai di kawasan Driana.

Komentar

Postingan Populer