Last Song (bagian sembilan)

"Wuuhuuu!" Dillan berseru ketika Pegasus yang dia tunggangi bersama Justin meninggalkan tanah, terbang di angkasa melintasi pegunungan Vroen dengan kepak-kepak sayap putih pegasus. Dillan merasa perutnya sedikit melilit dan mual saat Pegasus terbang dengan kecepatan menakjubkan disertai atraksi terbang yang mengerikan. Menukik tajam kemudian berputar di udara bertekanan tinggi. Saat kepalanya di bawah, Dillan menutup mata dan memperkuat pegangannya di pinggang Justin.

Sementara Dillan menikmati pengalaman terbang pertamanya sembari berharap bahwa itu bukan mimpi, Justin justru sedang berpikir keras. Keningnya berkerut karena otot-ototnya tertarik setiap kali menebak-nebak bagaimana Weirnablaka dan Xriev bisa menemukan keberadaan mereka? Justin juga merasa ini adalah akibat dari keteledorannya. Seharusnya dia tidak perlu menyimpan energinya terlalu ketat karena takut sihirnya akan mempersulit tubuhnya, membaca keadaan dengan sihir tidak terlalu menghabiskan tubuhnya.
Dia juga memikirkan apa ini semua berhubungan dengan Omesa. Kakaknya itu mungkin saja langsung melaporkan dirinya kepada Narnie Marleenos. Membayangkan jika tebakannya adalah kebenaran membuat Justin semakin dihantui keresahan. Driana dalam bahaya dan Parvana ada di ambang kehancuran.


"Pegangan," Justin memperingatkan Dillan, laki-laki itu pun bergegas memeluk pinggang Justin erat-erat.
Pegasus menukik tajam ke air terjun Sannuir, melesat ke bawah, melintasi derasnya aliran yang suaranya menggemurug. Dillan mengamati sekeliling. Tebing-tebimg yang mengelilingi air terjun yang samgat tinggi itu nampak mengerikan. Ada begitu banyak ukiran-ukiran tengkorak manusia , Zargol dan monster -monster mengerikan lainnya. Mata Dillan terbelalak ketika mendapati sebuah ukiran di tebing besar yang membelah sungai Hoan menjadi dua aliran, ratusan meter dari air terjun. Gagah dan perkasa, mata tajam penuh kekuatan, sebuah ukiran burung garuda raksasa.


"Kau?" Justin menatap tajam Dillan yang menyodorkan pedang bermata tajam di lehernya. Dillan tersenyum sinis, matanya yang hitam perlahan berubah, memudar menjadi mata hijau yang tak asing lagi baginya. Justin mulai resah, dia takut tebakannya benar. Takut kalau apa yang ada di hadapannya adalah orang yang selama ini dia pikirkan. Wajah Dillan berubah, bentuk tirus itu menjadi bulat, rambutnya memanjang, pakaiannya pun ikut menjelma. Justin kaku, dia tak tahu harus berekspresi seperti apa.
"Apa kau merindukanku sayang?" tanyanya yang kini telah menjadi seorang gadis cantik nan rupawan.
"Rasreintha?" Justin mengucapkan nama gadis di hadapannya itu.

"Gadis busuk lepaskan dia!" Pegasus Justin memberontak, dia mengepakkan sayap dan mengangkat kaki depannya.
"Diam atau kuputus leher tuanmu!" Rasreintha mengancam, dia menunjuk pegasus Justin demgan telunjuk tangan kirinya sementara tangan kanannya masih fokus pada pedang yang menawan leher Justin.

Bayangan hitam mengalihkan perhatian Dillan. Dia kembali menghadap ke depan. Mereka, Justin dan Dillan memasuki sebuah gua bermulut sempit yang terletak di balik air terjun Sannuir.

Justin dan Dillan melompat turun dari pegasus yang menangkupkan sayap ke belakang, menutupi punggungnya yang panjang. Justin mengamati sekeliling, gua gelap dengan dinding-dinding hitamnya yang kokoh dan berlumut. Beberapa tumbuhan rambat menjalar-jalar seperti pengikat kematian. Stalaktit-stalaktit runcing menghiasi langit-langit. Justin memperhatikan lantai gua dan menemukan bercak-bercak darah hitam Weirnablaka.


Ruangan gelap dan lembab semakin menyulitkan Nhika untuk mampu bernapas. Dia dilanda ketakutan luar biasa dan tak mampu melakukan apa pun , menangis pun dia tak bisa. Xriev tadi melemparnya ke dalam ruangan di gua menakutkan. Tubuhnya baik-baik saja tapi mentalnya yang dikuasai kengerian dan berbagai pikiran buruk membuatnya tidak merasa baik. Tangannya di rantai, hal yang bisa dia lakukan sekarang hanya duduk diam sembari berdoa ada yang akan menyelamatkannya dari penjara berjeruji di gua itu.

Nhika menarik diri ke belakang, bergeser untuk menemukan dinding sebagai tempat menyandarkan punggungnya.
"Aaaa!" dia menjerit ketakutan dan langsung berdiri, mundur beberapa langkah ketika punggungnya menyentuh sesuatu yang dia yakini bukan dinding, sesuatu itu tergeletak di lantai.
"Eeh," desahan lirih dan lemah terdengar. Nhika mempertajam penglihatannya dan terkejut ketika tahu bahwa itu manusia yang sudah tak berdaya.

Perlahan Nhika melangkah, gadis itu memberanikan diri mendekati orang itu.
"siapa kau?" dia jongkok di dekatnya, bertanya namun tak mendapat jawaban kecuali suara napas lemah menandakan kondisi orang itu yang tak berdaya.
Nhika menarik napas panjang, memejamkan mata sejenak lalu meraih wajah orang itu. Betapa terkejutnya dia ketika dia mengetahui bahwa sosok di hadapannya adalah Dillan.


"Ayo kita masuk," Dillan mengajak Justin, mengalihkan perhatian Justin yang sedang meyakini bahwa Weirnablaka yang dia panah tadi benar benar berada di tempat itu.
"Tunggu," Justin menolak, membuat Dillan geram, "Aku mau memeriksa tempat ini dengan sihir. Siapa tahu ada jebakan." Justin kembali mengamati sekeliling.
"Hati-hati Justin," Pegasusnya memperingatkan, "Sihirmu bisa terdeteksi dan memancing bahaya. Kalian akan diserang terlebih dulu,"
"Menurutmu ada perapal mantra disini?" Justin menatap mata Pegasusnya yang penuh kewaspadaan.
"Aku merasa kita tidak aman sejak Omesa menyerangmu. Andai kau lebih cepat memanggilku, aku bisa memberikan kebijaksanaanku."
"Hey! Ayolah!" Dillan memotong pembicaraan Justin dengan pegasusnya, "jangan membuang-buang waktu! Kita harus segera menyelamatkan Nhika."
Justin sejenak memperhatikan kata-kata Dillan kemudian kembali menatap mata pegasusnya, dia meminta pendapat.
"Periksa terlebih dulu dengan sihirmu jika kau pikir itu lebih baik,"


"Dillan? Bagaimana kau bisa disini?" Nhika meletakkan kepala Dillan di pangkuannya, "bagaimana mungkin kau bisa? Apa, eh Dillan katakan sesuatu!" Nhika kebingungan, dia tak tahu pertanyaan mana yang harus dia tanyakan untuk pertama kali.
"Me mereka," Dillan berusaha berbicara dengan sisa-sisa tenaganya. Nhika mendekatkan telinganya ke bibir Dillan yang berbicara perlahan.
"Mereka menculikku sejak di gua, sa saat aku keluar. Makhluk mengerikan, a aku tidak tahu mereka itu apa,"
Nhika ternganga, dia menegakkan kepalanya dan berusaha mengendalikan dirinya dari kecemasan. Dillan diculik sejak saat mereka bermalam di gua setelah Justin sakit karena melawan Omesa. Dillan berada di tempat ini sejak saat itu, lantas siapa orang yang bersamanya dan Justin selama perjalan kemarin?


Justin menghirup napas. Mengatur detak jantungnya agar normal dan berusaha berkonsentrasi. Sejenak dia menutup mata dan merapalkan mantra. Matanya terbelalak ketika mendapati sebilah pedang siap menebas lehernya.

"Justin, kau semakin tampan. Tak salah kalau aku pernah sangat mencintaimu." dia memainkan pedangnya di pipi putih Justin.
"Sadarlah Rasreintha. Jangan seperti ini. Kenapa kau melakukan hal ini?" Justin berusaha berbicara di tengah tekanan perasaan yang menguasai dirinya.
"kenapa aku melakukannya? Mungkin alasannya sama dengan kenapa kau mau melakukan hal bodoh seperti ini. Kau rela ke tempat yang kau takuti ini hanya demi seorang putri bodoh seperti dia."
"Katakan dimana dia dan temanku. Lepaskan mereka atau aku akan,"
"Akan apa?" Rasreintha menyahut dengan nada manja, telapak tangan kirinya memegamg dada Justin mesra, "membunuhku? Ayolah! Aku tahu kau masih menyayangiku. Kau masih membuat lagu-lagu cinta untukku. "
"Aku tidak main-main," Sejurus tanpa diketahui Rasreintha, sebuah ujung anak panah telah bersiap di leher Rasreintha, mengejutkan gadis itu karena gerakan Justin tak dia sadari.
Mereka sama-sama mempertaruhkan nyawa. Siap membunuh dan dibunuh.



Justin menatap mata Rasreintha lekat-lekat, gadis itu hanyut dalam keteduhan sinar mata Justin. Raut Justin perlahan berubah, bibirnya mengukir senyuman yang sulit ditebak maknanya.
Angin berhembus dari luar, membawa aroma air terjun yang khas.
Perlahan Justin meraih pedang di tangan Rasreintha yang nampak seperti tak sadarkan diri. Pedang itu dilemparkan Justin, hanyut terbawa aliran air terjun yang deras.

"Justin, cukup hentikan itu." Pegasusnya memperingatkan, takut Justin melakukan hal bodoh untuk mengorek-orek hal dalam diri Rasreintha, melakukan porbasee pada gadis yang dulu sangat dia kasihi.

"Tidurlah," Justin memerintah lembut dan dalam sekejap Rasreintha menutup mata. Terhuyung, lunglai dan Justin langsung menahannya dalam pelukannya.

"Jaga dia, aku akan segera kembali," Justin menidurkan Rasreintha di lantai gua dan berpesan pada pegasusnya.
"Justin?" Pegasus itu masih tak percaya dengan hal yang dilakukan dan diucapkan Justin.
"Aku tahu," Justin berdiri, "aku tahu kau membencinya, tapi aku tahu ini bukan dia. Pasti ada cara agar,"
"Kau tahu itu tidak mungkin!" Si pegasus berteriak lewat benaknya yang menyentuh benak Justin, menyentak dan mengejutkan Justin.
"Kau terlalu lemah karena perasaanmu. Dia bukan Rasreinthamu dan tidak pernah benar-benar ada untukmu. Sampai kapan kau bisa memahami ini! Akan kubunuh dia, kulempar dia jika aku tidak diharuskan menjadi sebagian dari dirimu!"
"Cukup! Shairv!" akhirnya Justin membentak pegasusnya yang dia beri nama Shairv itu.
"Aku tahu apa yang kulakukan. Tunggu aku disini, Nhika dan Dillan tak punya banyak waktu." Justin menghentikan perdebatannya dengan Shairv kemudian berlari masuk ke dalam gua. Shairv mendengus kesal hingga keluar asap dari cuping hidungnya.


"Firgena," Justin mengucapkan mantra kemudian suluh suluh api bulat muncul di permukaan tangan kanannya, membantunya melihat dalam kegelapan.
'Hati-hati, jaga dirimu untukku. Kujaga dia untukmu.' Shairv menyentuh benak Justin lembut.


Dillan semakin kesulitan untuk bernapas tapi dia tetap mencoba mempertahankan senyumnya. Berharap senyumannya yang biasanya mampu menenangkan dan mengukir kebahagiaan dalam diri Nhika, kali ini akan bisa membuat air mata Nhika berhenti menetes.
"Nhika, bagaimana dengan Justin? Dia pasti dalam bahaya," ucapnya lirih
"Dia hebat. Dia membunuh Weirnablaka dalam waktu cepat. Aku yakin dia baik baik saja." Nhika berbicara penuh keyakinan sembari menghapus air matanya menggunakan punggung tangannya.
"Tidak, dia yang incar. Aku takut dia kesini. Kita hanya umpan,"
"Apa maksudmu?"
"Aku mendengar makhluk makhluk itu bercakap-cakap. Justin adalah bahaya terbesar bagi kaum Marleen,"
Nhika tak mampu berbicara apa-apa. Dia yakin Justin pasti mencarinya dan dia bersama bahaya, si Dillan palsu.


Justin terhuyung karena terantuk batu. Dia nyaris jatuh untuk kesekian kalinya karena langkah cepatnya yang tidak teratur. Dia dibuat bingung oleh gua dalam gunung yang penuh lorong-lorong seperti labirin tanpa ujung.

Mendadak kepalanya tersentak, memaksa untuk berhenti melangkah. Dia tahu sesuatu terjadi pada Shairv di luar sana.
"Aku bisa mengendalikannya. Teruskan langkahmu." Shairv berbicara saat Justin menyentuh benaknya.
"Tidak, katakan ada apa disana?"
"Weirnablaka dan satu Xriev. Mereka ingin mengambil Rasreintha."
"Aku akan kembali, aku tidak mau kau terluka."
"Kubilang jangan! Percayalah padaku."
"Tapi," Justin tak meneruskan perkataannya, Shairv telah menutup benaknya dari Justin.

Justin tak punya pilihan lain, dia melanjutkan perjalanannya.
"Nhika! Dillan!" Justin berteriak, dia tak peduli kalau Xriev yang satunya lagi akan datang menyerangnya.
"Nhika!"
"Justin!" terdengar sahutan dari ujung lorong tempat Justin berpijak. Sejurus Justin berlari, dia tak mau membuang waktu.

Matanya kini telah menangkap sosok Nhika yang berdiri di balik jeruji besi.


"Justin," Nhika menyambut Justin dengan senyum dan sinar mata bahagia.
Justin meletakkan apinya di tepi lorong.
"Bagaimana kau bisa tahu aku disini? Dan tentang Dillan,"
"Aku tahu itu," Justin menatap Nhika lekat-lekat kemudian memeriksa jeruji besi yang memisahkan keduanya.
"mundurlah," kata Justin seraya menarik diri beberapa langkah ke belakang, Nhika menurut. "Ada apa dengan Dillan? " Justin bertanya sembari memperhatikan Dillan yang tergeletak tak berdaya di dalam sana.
"Aku tidak tahu. Sepertinya dia terluka parah."
"Wesbaj mukhan," Justin mengarahkan telapak tangan kanannya ke jeruji besi dan dalam sekejap benda itu lenyap berubah menjadi serpihan-serpihan besi kecil.
Justin bergegas menghampiri Dillan yang kini tengah terpejam. Dia jongkok di sampingnya bersama Nhika yang mulai menangis terisak.
Justin mulai memeriksa, dia menekankan ujung ibu jari tangan kanannya di tengah-tengah kening Dillan. Untuk beberapa saat dia terdiam dan memejamkan matanya. Matanya kembali terbuka dalam ketakutan, keterkejutan, kecemasan yang bercampur menjadi satu.
"Justin, dia baik-baik sajakan? " Nhika bertanya-tanya, air muka Justim membuatnya tak tenang.
"Justin! " Nhika membentak frustasi dan Justin langsung tertunduk, "Dillan, bangunlah! Katakan sesuatu!" Gadis itu menggoyang-goyangkan tubuh Dillan, "Dillan, kumohon bangun! Jangan tinggalkan aku! Aku mencintaimu! Bangunlah! Buka matamu. Dillan!"
"Nhika hentikan!" Justin membentak.
"Tidak! Dillan harus bangun, dia,"
"Dia masih hidup! Aku bisa menyembuhkannya!" kalimat Justin berhasil membuat Nhika tenang. Dengan wajah kacau dia menatap Justin, sorot matanya seakan akan bertanya apakah Justin tidak bercanda.
Sejenak Justin mengalihkan perhatiannya kesana kemari, menghirup napas dalam dalam kemudian mengangguk lemah.
"Pangku kepalanya," Justin membenarkan posisi duduknya dan memberi instruksi pada Nhika. Sebuah keputusan besar telah dia ambil, dia pikir itulah yang terbaik.

Komentar

Postingan Populer