Last Song (bagian satu)

Bunyi besi beradu dengan besi, diiringi teriakan waspada bercampur kepuasan. Langkah kaki beradu dengan tanah , pijakan yang berpindah-pindah dengan cekatan. Semua suara membumbung ke udara menggema di tiap-tiap  di dindidng lembah yang melingkupi kawasan Vat’Uruna. Para prajurit berpakaian perang belatih perang, saling menghunuskan pedang, mengayunkan gada dan melepaskan anak panah. Mereka berlatih bersama, latihan yang tak namapak seperti latihan, nampak seperti ratusan manusia yang berada di medan perang yang sebenarnya.
            Diapit oleh dua pegunungan tinggi, Deor dan Vroen yang puncaknya selalu tertutup salju abadi. Pohon-pohon mulai dari pinus, cemara, ex, liur , hingga pohon bee menjulang tinggi, batangnya yang kokoh  menopang cabang-cabang , ranting serta dedaunannya yang rimbun, menjulang seolah hendak mencakar langit. Air terjun Sannuir di lembah pegunungan Deor tampak keperakan seperti lelehan silver yang dipanaskan, airnya jatuh lalu mengalir megikuti kelokan aliran sungai Hoan yang membelah dua kawasan kekuasaan kekaisaran Parvana. Driana dan Vat’Uruna.


            Driana merupakan kawasan perdagangan, terletak di tepi pantai, disana terdapat Pelabuhan Trein yang ramai disinggahi pedagang dari berbagai kekaisaran lain. Letaknya yang strategis, dan menjanjikan di bidang ekonomi, menjadikan temapt ini sebagai ladang uang bagi kekaisaran parvana, sebagian besar penduduk Parvana pun tinggal di tempat ini.

            Vat’Uruna, Ibukota kekaisaran, daerah yang seolah tersembunyi dan terlindungi oleh hutan pinus dan cemara, tertutup/ bukan daerah ramai seperti Driana, sebagian besar tanahnya digunakan sebagai lahan pertanian, ladang. Padang rumput luas terhampar hampir di sebagian besar tanahnya. Penduduk tinggal di rumah-rumah berbahan kayu bee yang kecoklatan dan wangi, semua seolah terkumpul mengelilingi istana raja.

            Bangunan m,egah dan kokoh, dibangun dari batu-batu hitam sebagai pondasi , sementara dinding bangunan dibuat dari batu bata merah, dua warna yang mencolok dan kontras. Tinggi bangunan istana sekitar delapan meter dengan dua menara di atas atap yang tingginya tiga meter, di puncak menara, atapnya berbentuk seperti topi badut, terlihat lucu tapi megah. Jendela-jendela lebar terpasang di dinding istana, jumlahnya puluhan. Terdapat pilar-pilar kokoh di teras istana menuju pintu utama yang tinggi.

            Nhika tersenyum tipis memperhatikan sketsa wajah yang baru saja selesai dia buat. Hidung mancung, rambut sedikit gondrong hampir menutupi mata di bagian depan, bibir tipis dan dagu panjang. Skesta pria tampan  beraut tegas dan berwibawa tapi sinar matanya memancarkan keakraban dan sedikit sikap humoris dan perhatian. Sejenak setelah dia puas mengamati karyanya, Nhika beralih melihat ke bawah , sekitar lima meter dari balkon tempat dia berada sekarang. Senyumannya melebar ketika dia mendapati beberapa prajurit pulang dari latihan. Mereka membawa pedang serta perisai di kedua belah tangan meraka yang berotot. Tawa dan canda mengiringi perjlanan mereka menuju asrama prajurit yang terletak di sisi kanan bangunan utama istana.

            Gaun hijau Nhika yang panjang membuat gadis berambut hitam, panjang dan beroimbak hingga pinggang itu kesulitan untuk berlari, menuruni setiap anak tangga istana tempat dia dilahirkan dan tumbuh. Suara sepatunya yang beradu dengan lantai marmer, mencuri perhatian beberapa pegawai istana. Gadis itu mengumbarkan senyuman terbaik dan sinar kebahagiaan dari mata birunya yang indah.

            “Kurasa sekarang kau makin kuat jack,” seorang prajurit yang wajahnya ada di sketsa Nhika tadi , memukul lengan temannya yang sekarang berjalan di sampingnya bersama tiga kawannya yang lain, para prajurit muda. Seragam latihan mereka berupa kemeja putih dengan tunik pelindung berwarna merah dengan symbol kekaisaran parvana yang berupa gambar matahari berlatar pegunungan Deor serta sulaman angka 13 menunjukkan bahwa mereka adalah anggota battalion 13, semua sama. Hanya saja pada si wajah di sketsa terdapat sulaman benang warna emas di kerahnya berbentuk bintang, tanda bahwa dia seorang komandan.

            “Hey! Tuan putrimu dating,” bisik seorang teman di telinga komandannya, Jack langsung menyikut perut pria itu ketika matanya menangkap kehadiran Nhika yang kini berdiri beberapa meter di hadapan mereka, di dekat air mancur yang di tengah-tengahnya ada patung unicorn. Gadis itu tersenyum kepada sang komandan.

            “Bawakan ini ke kamarku,” kata sang komandan kepada jack seraya menyerahkan perisainya. Lalu dia berjalan dengan gagahnya menghampiri Nhika seraya memasukkan pedang bermata hijaunya ke dalam sarung pedang yang tergantung di pinggangnya.

            “hai,” sapa Nhiuka sumringah, “bagaimana latihan hari ini?” lanjutnya lagi, sekadar untuk berbasa-basi.
            “baik dan menyenangkan Yang Mulia,”
            “Ah Dillan! Jangan memanggilku begitu,” Nhika mengeluh, berlagak kesal seraya duduk di pinggir air mancur dan memainkan telapak tangan kanannya di air, “kau bilang kita teman.” Kali ini dia menunjukkan raut muramnya. Dillan, sang komandan tersnyum tipis, menghampirinya.
            “Kau jelek kalau marah Nhika,” godanya , dan secara tiba-tiba dia mencipratkan air ke gadis putrid raja itu.
            “Aku basah! Prajurit bodoh, rasakan ini!” Nhika membalas, dia mencipratkan lebih banyak air kea rah Dillan. Akhirnya mereka melakukan pekerjaan anak-anak, yakni berlari, berkejar-kejaran mengelilingi air mancur sambil saling mencipratkan air. Hal terakhir setelah keduanya telah basah kuyub seperti burung terjun ke danau kemudian naik lagi ke permukaan, ketika matahri telah condong ke barat. Nhika yang tadinya berjalan di atas dinding pembatas air mancur, kini turun , tersenyum , mengucapkan terimakasih dan mengucapkan selamat tinggal kepada Dillan yang membalas dengan bungkukkan badan, member hormat. Mereka berpisah.


            Gelap membayang, obor-obor dinyalakan di setiap sudut istana kekaisaran, para prajurit berjaga di setiap pintu dan berpatroli dengan sebuah tombak dan perisai. Di dalam hutan dekat pegunungan Deor, gerak-gerak langkah waspada dan tersembunyi, mengusik binatang malam di hutan itu. Langkah kuat dengan napas panas, kata-kata sulit dimengerti dan aneh terdengar dari mulut mereka. Membelah rimbunnya belantara dengan cara rahasia, tanpa cahaya, mata hijau mereka namapak seperti binatang liar yang haus darah.

            Langit malam yang berbeda dari biasanya. Hal itu dirasakan oleh Nhika ketika dia tak berhasil menemukan dua rasi bintang kesayangannya, Ursa mayor dan draco yang seharusnya menghiasi langit di musim semi bulan ini. Maka untuk menemani yang tak bias tidur dan dilanda kebosanan karena tak menemukan bintangnya, dia memutuskan untuk beranjak dari balkon dan masuk  ke dalam kamarnya yang mewah, dan luas. Khas putri raja. Dia berjlan menghampiri sebuh meja kecil di sudut ruangan, di samping ranjangnya. Di atas meja itu terdapat alat pemutar music yang berbentuk kotak semacam peti perhiasan yang terbuiat dari tembaga. Di bagian atas ada lubang berbentuk bulat unutk meletakkan “koda” atau lempengan bulat berisi rekaman music yang dibuat denag sihir. Ketika Nhika menarik pengait besi kecil di sisi kanan pemutar music, maka alunan yang indah segera memenuhi kamar satu-satunya pewaris tahta kekaisaran itu.

            Akan kulihat kau dari hatiku
Selalu kulihat kau
Selalu, selamanya
Maka ketika aku berbiocara tentang cinta dan dirimu lewat tatap mataku
Kuharap kau tahu
Kuharap kau mengerti
Betapa kau ssangat berarti
Betapa indah cintakau untukmu
My sunshine

Nhika mendengarkan tiap lirik manis dari lagu itu, suara lki-laki penyanyinya lembut dan bening, diiringi petikan gitar bernada indah, menciptakan satu harmonisasi sempurn. Membut setiap telinga pendengarnya nyaman , hingga hati seolah mampu merasakan Turkish delight dalam lidah, manis.

            “siapapun penciptanya, pasti dia laki-laki yang sangat menyayangi gadinya.” Nhika berkomentar seolah dialah gadis yang dimaksud oleh si pemilik lagu yang kini sedang didengarnya.

Langit pagi yang cerah. Cvahaya keemasan mulai muncul dari sisi timur, dari balik pegunungan Vroen, bersamaan dengan terbangnya kawanan burung bangau yang melintas melewati peucuk-pucuk pohon pinus. Rusa-rusa, kuda dan dan sapi merumput bersama-sama di padang rumput dekat area tempat berlatih para prajurit kekaisaran parvana. Anak-anak berkejar-kejaran,atau lebih tepatnya dikejar-kejar ibunya supaya mandi, sarapan dan pergi ke sekolah.
Di istana semua sudah menyibukkan diri sebelum fajar menyingsing, para prajuritr memebersihkan pedang, perisai dan tunik mereka masing-masing lalu membersihkan diri mereka sendiri. Sedangkan para pelayan membersihkan istana, ada juga yang menyiapkan makanan untuk sarapan.

            Pagi-pagi sekali setelah sarapan bersama sang ayah, Nhika langsung melangkahkan kaki keluar dari kediamannya. Gadis berusia delapan belas tahun itu keluar dengan memakia daun sutra warna kuning, dengan panjang hingga lutut, topi bulat bertepi lebar warna putih berhiasa bulu merak di sisi kiri belakang yang sewarna dengan gaunnya. Keranjang rotan kecil dia tenteng.

            Usai memetik beberapa bunga tulip ungu dan memenuhi keranjangnya dengan mawar putih  di lading bunga kerajaan, kini Nhika masuk ke kebun apel. Apel-apel bergantungan di antara rimbun dan hijaunya daun-daun apel. Sangat menggoda, membuatnya memetik tiga buah yang telah masak , dua dia letakkan  di keranjang kemudian mel;ahap yang satu. Sedikit gigitan kecil membuatnya tersnyum krena rasanya yang manis, tapi lebih manis wajahku, dia berbisik dalam hati. Memuji dirinya sendiri yang memebuatnya perutnya terasa geli.

            “pencuri,”
Sejurus Nhika menelan paksa apel dalam mulutnya yang belum sempurna dia kunyah, membuat keningnya mengernyit karena kesulitan membebaskannya dari tenggorokan dan turun ke lambung, ketika dia mendengar suara itu dri belakang. Suara seoarang pria yang belum pernah dia dengar. Karakter suara yang sulit ditenbak. Suaranya sebenarnya berunsur lembut tapi cara kata tadi keluar dari mulut terkesan tegas dan dingin. Nhika terdiam,  , hening disana yang terdenagr hanya kicauan burung-burung  yang bertengger di pohon-pohon apel. Angin pun tak ada sekadar untuk menyisir rambut Nhika apalgi menggoyangkan dedaunan dan membuat gemirisik. Tapi, tak lama kemudia terdenagr langkah kaki dari arah belakang nhika, gadis itu tetap dia, yang berubah darinya hanya ekspresi wajahnya yang mendadk menunjukkan raut cemas ercmpur bingung. Langkah itu terdengar semakin dekat dan akihirnya berhenti kurang dari lima langkah , mungkin, di belakang Nhika.

            “Aku baru tahu bahwa seorang putrid raja mampu mencuri.” Dia berbicara denag nada yang benar-benar tak enak didengar. Panas hati Nhika, dan dalam hitungan detiknya darahnya ikut mendidih, apalagi saat orang itu melanjutkan kata-katanya dengan kalimat ;”tindakan memalukan.”
            “Atas dasar apa kau berbicara seperti itu?” sejurus Nhika membalikkan badan dan mendapati, sosok laki-laki muda dan tampan, berdiri di hadapannya. Dia berambut blonde yang mencolok, bermata coklat yang indah dan memancarkan keteduhan, hidungnya mancung, bibirnya merah. Air mukanya terkesan dingin seolah dia telah ditempa berbagai masalah berat dalam hidupnya. Dia tinggi , badannya tegap dan berpostur sedang, tidak kurus dan tidak gemuk. Memakai kemeja ungu dan tunik hitam, sebuah pedang  panjang bersarungungu gelap di pinggannya. Di tunik hitamnya terdapat symbol Kekaisaran Pervana serta symbol naga merah.

            “Kau seorang prajurit?” Nhika memperhatikan symbol-simbol di tunik laki-lki itu. Sebenarnya dia merasa asing dengan penampilan laki-laki yang diakuinya tampan, manis dan mempesona itu. Dia belum pernah melihat prajurit berpakaian seperti itu, dia hanya tahu para prajurit berpakaian kemeja putih dan bertunik merah, denag nomor battalion di tunik mereka.

            “Seharusnya kau menyadri siapa dirimu,” Nhika melanjutkan perkataannya tanpa menggu jawaban dari pertanyaannya tadi, lagipula yang ditanya pun namapak tak berminat untuk menjawab, “Apa pantas seorang abdi raja berkata seperti itu dan menuduh putrid raja senbagai pencuri? Gunakan akal sehatmu sebelum kau berbicara. Jaga mulutmu karena aku bias memotong lidahmu.’ Kata-kata yang lumyan panjang itu diucapkan nhika denag cara penuh kewibawaan, seolah dia hendak menunjukkan bahwa dia kekuasaan.

            “sebelum anda memeotong lidah saya Yang Mulia,” laki-laki itu kini bertutur halus penuh hormat, tapi tetap saja tak enak didengar., “mungkin anda harus kehilangan tangan anda terlebih dulu.”

            “Apa maksudmu berkta seperti itu. Sudah kubilang jaga mulutmu!” Nhika maju satu langkah seolah menahan diri untuk menikam laki-laki itu.

            “Anda m,encuri apel.”

            “Apa kau terlalu bodoh untuk memahamai bahwa ini adalah kebun milik ayahku. Ha!” Suara Nhika meninggi, dia tak mampu lagi menahan diri.

            “Kebun ini memang milik ayah anda, tapi Yang Mulia Raja telah memberikan hasil panen musim ini kepada rakyat. Sangat tidk sopan anda seorang putrid mengambilnya.”

            “Berani sekali kau ha!” Nhika mulai meunjuk-nunjuk, dia menarik naps panjang beberapa kali untuk mendinginkan dadanya. “siapa namamu?”

            “Apakah itu pentinh untuk seorang putrid seperti anda tapi jika anda menginginkannya. Perkenankan saya memperkenalkan diri, saya….”

            “Nhika!” sebuah suara yang sudah sangat Nhika hafal terdengar dn menghentikan kalimat laki-laki itu.
            “Saya rasa nama saya tidak penting.” Si laki-laki membatalakan niatnya. Dia tersenyum sopan, senyuman termanis yang pernah Nhika lihat. “Jangan lakukan tindakan ini lagi atau anda akan benar-benar kehilangan tangan anda. Permisi Yang Mulia.” Dia membungkuk, member hormat kemudian melangkah meninggalkan Nhika yang masih diselimuti kekesalan.

            Dillan, memasuki kebun apel. Matanya meneliti setiap balik pohon, mencari keberadaan Nhika. Di tengah jalan dia berpapasan dengan laki-laki tadi. Salaing menatap denagan datar dan berpisah begitu saja, tapi laki-laki itu berhenti sejenak untuk memeperhatikan Dillan yang telah sampai di hadapan Nhika.

Komentar

Postingan Populer