Last Song (bagian tujuh)

Perlahan-lahan cahaya keemasan merayap naik dari balik jajaran pohon pinus di tebing pegunungan Vroen. Air terjun Sannuir mulai terlihat jelas, memantulkan bias-bias kuning mentari, mengalir menjadi titik-titik mutiara di sungai Hoan. Di tepinya, terhampar luas padang bunga aster warna ungu yang mencolok, bergoyang-goyang, mengombak tertiup angin. Kawanan bangau terbang rendah, menukik dari langit kemudian kembali mengepakkan sayap dengan seekor ikan besar di ujung paruh panjangnya.
Justin, Dillan dan Nhika menurunkan kecepatan laju kudanya saat melewati tanah terjal berbatu di lahan lapang tengah-tengah ketinggian anak bukit. Nhika diperhatikan Dillan, laki-laki itu dibuat bertanya-tanya karena tuan putrinya tak bisa duduk tenang di atas kudanya. Membuat kuda yang dia tunggangi tak nyaman.
"Nhika kau kenapa?" tanya Dillan, menelisik.
"Aku, ehm, kemarilah," Nhika menggerakkan jari tangannya, memberi tanda agar Dillan mendekatkan diri padanya.
"Ada apa?" Dillan menurut. Dia bertanya setelah mengarahkan kudanya agar berjajar dekat di samping Nhika.
"Ah, jangan keras-keras," Nhika memperingatkan dengan cara sedikit berbisik dan sesekali mengawasi Justin yang ada di depan, "aku,.."
"Sebaiknya kita lewat atas atau bawah?"
"Aku ingin buang air!" reflek Nhika meneriakkan hal yang ingin dia bisikan kepada Dillan lantaran terkejut mendengar Justin yang mendadak berbicara dengan lantang. Dillan hanya mampu mengedip-ngedipkan matanya, Justin mengerutkan kening sementara pipi Nhika mulai memerah karena malu. Gadis itu hanya mampu menggigit bibir bawahnya, melihat ekspresi Justin dan Dillan secara bergantian kemudian dia akhiri dengan menundukkan kepala. Semilir angin berhembus, seolah-olah dialah satu-satunya yang mampu menertawakan keadaan karena Dillan merasa tak pantas untuk menertawakan seorang putri raja dan Justin tidak menganggap itu lucu, wajah komandan pasukan rahasia itu tetap datas seperti biasanya.


"Dillan bagaimana?" Justin kembali bertanya, dia mengejutkan Dillan yang seolah tersadar dari lamunannya, sejurus Dillan pun langsung memperhatikan Justin yang berderak dengan kudanya, mendekati Dillan serta Nhika.
"Apa pertimbangannya? Apa kau memakai sudah menggunakan sihir untuk mendapat sesuatu?"
"Aku tidak melakukannya, hanya saja kelinciku mengontakku, dia menanyakan keadaanku dan memberi tahu bahwa di dekat jembatan sungai Hoan ada empat zargol, hanya butuh satu setengah hari tapi kita juga harus melewati beberapa perkampungan Marleen. Sedangkan lewat atas, kita perlu empat hari tapi bisa tiga hari jika kita bergerak cepat dan tidak istirahat, satu-satunya kesulitan hanya menyebrang air terjun Sannuir tapi aku sudah memiliki cara yang sangat mudah."
"Kita lewat atas saja, terlalu berbahaya untuk mendekati mereka,"
"Tidak!" Seru Nhika, "Justin," suaranya menegas, matanya menajam menatap Justin," apa kau masih bisa melakukan tindakan seperti saat kau berdiri di atapku? Membunuh lima zargol hanya dengan satu anak panah? Apa kau bisa?"
Justin terdiam, dia berpikir dan mulai memahami maksud pertanyaan Nhika.
'Kurasa bisa, jadi kita lewat bawah?" Kini Justin melihat Nhika dan Dillan bergantian.
"Aku tidak setuju,"
"Apa maksudmu Dillan? Kau mau mendaki gunung bodoh ini? Memperlama dan mempersulit jalan kita?"
"Nhika, pikirkanlah baik-baik. Kaum Marleen sangat berbahaya. Mungkin Justin bisa menjamin kita aman dari Zargol tapi apa dia bisa menjamin dan ada yang bisa menjamin kita bisa selamat untuk bertempur dengan Zargol? Menyebrang ke Driana? Ayolah! Kita tidak tahu hal apa yang akan terjadi di kampung-kampung Kaum Marleen. Ketika kekacauan muncul karena kedatangan kita kemudian para penyihir busuk menyerang kita atau mungkin saja Omesa bahkan Narnie Marleenos datang mencabik-cabik jantung kita?" Dillan memberondong lewat kata-kata yang dia susun berdasarkan alasannya yang dianggap Justin masuk akal.


Sebongkah batu retak, beberapa pecahannya memisahkan diri dan menggelinding ke bawah bukit ketika kaki kuda Dillan menginjaknya. Sejenak Dillan menengok ke belakang, memandang aliran sungai Hoan yang mengecil, rumah-rumah penduduk Artviga yang nampak seperti tatanan turkish delight yang tak teratur.
Udara makin dingin dan angin yang tadinya hanya mampu menyisir rambut kini telah mampu membuat gaun hijau selutut milik Nhika terkibas-kibas. Gadis itu memilih mengikat rambut panjangnya menjadi sanggul berbentuk bulatan sedang di belakang kepalanya.

Tertatih tatih Justin, Nhika dan Dillan mengarahkan kuda mereka masing-masing untuk melewati bebatuan di jalanan yang menanjak. Keputusan akhirnya diambil setelah diskusi alot yang memakan banyak waktu. Justin membenarkan pendapat Dillan karena dia sadar akan kemampuaannya yang tak sebanding dengan Narnie Marleenos apalagi setelah serangan Omesa kemarin. Zargol mudah baginya tapi tidak jika makhluk-makhluk itu berada di bawah kendali mantra pemimpin kaum laknat itu.
Nhika menyerah dan tak bisa memberikan alasan apa pun, dia juga tidak mau bertindak gegabah. Mereka juga menjadi sedikit lebih tenang setelah kelinci ajaib Justin datang dan memberi tahu bahwa Kaum Marleen belum bergerak dari sarangnya di Hutan Varlguisa yang cukup jauh dari pusat Driana.

"Bantu aku turun," Nhika mengulurkan tangannya kepada Dillan yang ada di sampingnya. Mereka terpaksa berjalan, turun dari pelana kuda karena medan terlalu berat. Tebing menukik 15 derajad sulit untuk kuda mereka, memaksa mereka untuk membantu tunggangan tunggangan mereka naik.
"Apa kita bisa sampai sesuai rencana,?" Nhika yang ada di barisan paling depan bersusah payah menarik kudanya sementara Justin mendorong kuda coklat itu.
"Ya, asal kau tidak mengeluh dan tidak ada penghalang"
"Apa kau tidak bisa sedikit sopan padaku, berbaik hati?"
"Aku bukan Dillan, minta saja padanya" jawab Justin seraya melirik Dillan yang mengawasi kudanya.

“Apa maksudmu? Kau selalu berbicara dengan aneh dan hanya kata-kata aneh yang kau ucapkan. Perbaiki kosakatamu,” Dillan berdiri sambil bergoyang-goyang di pijakannyapeti rumput yang tebuai angin dari lembah sejuk.
“Akhirnya,’ Nhika bersyukur tunggannaya berhasil naik ke tebing datar, tempatdia berpijak.”
“Hai! Apa kalian pikir aku buta? Aku tak pantas disebut penyihir akalau tak mampu melihat ada taman bunga diantara kalian,” Justin meraih tali kekang kudanya dari tangan Dillan seraya memainkan matanya, memberi isyarat kepada Dillan yang hanya mampu terdiam sembari memberikan ekspresi tak mengenakkan dari enyuman di ujung bibirnya.
“Kau seperti penyair Justin,” Dillan mengikuti Justin, membantu si rambut blonde itu untuk menaikkan kuda putih miliknya.
‘Dasar latihan ilmu sihir memang syair-syair dan juga tangga nada, asal kau tahu itu. Eh! Anak hebat!” dia menyambung perkataannya kepada dillan denagan sebuah pujian dan usapan halus di punggung kuda putihnya yang tak membutuhkan waktu selama kuda milik Nhika untuk mencapai tempat yang diinginkannya.
“Aku tahu kalian sangat senang karena bisa melakukan perjalanan bersama seperti ini. Aku tahu itu sejak saat pertama Raja memberitahu tenatng tugas ini. Mata dan ekspresimu saat itu tak bisa berbohong Tuan Putri Nhika jadi kau tak perlu mengelak danberdusta padaku.’
Semua kuda telah naik ke bukit, kini dari sana mereka mampu meihat betapa luasnya dunia dan telah menyadari seberapa ajuh mereka telah berjalan, berpetualang di dunia yang kejam dan penuh kejutan dan hadiah tak terduga. Satu per satu mereka naik ke pelana kuda maing-masing, mengencaangkan tali sepatu dan mendapatkan posisi yang nyaman untung perjalanan yang lebih menantang dan berat.
“Ah Justin! Berjhentilah berbicara tentangku dan kehidupanku. Kalu pun kau mengetahui semuanya dari awal, seharusnya kau mengubah sikapmu kepada kami kau pasti tahukan kalau aku sama seklai idak menyukaimu,”
“Aku tahu itu Yang Mulia. Tapi apa kau bisa mencapai tempat ini tanpaku? Heh! Pegang talimu kuat-kuat! Yak!” Justin menhentakkan kakinya di punggung kuda , menyentak tali kekang kudanya kemudian denagn kecepatan mengejutkan dia melesat bersama kuda putihnya seperti kapayang diterbangkan angin. Nhika dan Dillan menyusul denagn kecepatan yang sama, melesat jauh seperti busur panah, lurus. Melewati bebatuan-beabtauan raksasa yang bertumpuk-tumpuk membentuk lantai bukit hitam, matahari bersinar terang menimbulkan efek gerah pada diri mereka bertiga. Melinatsi bukit di tenagh-tenhgah ketinggian pegunungan Vroen, panajang dan membuat perjalanan yang tiada henti itu seperti tak berujung.
                Mereka tak beristirahat sedikit pun, hanya seseklai menurunkan kecepatan untuk menegak air dari botol dan mengunyah spotong roti dari perbekalan mereka yang kian menipis. Sembutrat-semburat oranye di balik gunung di sisi barat Nampak seperti kobaran api yang yang terhalang pohon-pohon cemara. Wajah Nhika mengerut, menyadari betapa pahanya telah kebas lantaran berjam-jam duduk di atas kuda yang berpacu dengan kecepatan tinggi , melewati medan yang menghentak. Sedikit lega setelah Justi member aba-aba untuk menurunkan kecepatan lagi, mereka beristirahat di atas kuda yang berjlan santai seperti membawa kereta raja di upacara.
                “Apa kita tidak beristorahat?” Nhika bertanya denagn lemah, dia memandang langit di sisi batrat, kuli putihnya menjadi oranye membiaskan cahaya petang yang megah.
                “Baiklah tapi tidak untuk besok, “ Justin tiba-tiba berhenti dan melompat turun dari kudanya.



"Firgen," Justin mengucapkan mantra di sela sela desahan napasnya. Letupan kecil muncul kemudian tumpukkan kayu kering yang dia kelilingi bersama Dillan dan Nhika pun terbakar, sedikit demi sedikit menjadikan bara merah dengan api yang menjilat jilat.

Justin beranjak dari tempatnya, beralih ke sebatang kayu besar dan tua, dia duduk disana sembari menatap bintang-bintang. Memperhitungkan ada berapa titik cahaya yang menerangi jalannya.

"Kau tidak makan?" tanya Nhika pada Justin yang tak memperhatikannya. Gadis itu melirik daging kelinci yang tengah dibakar Dillan. Kelinci yang didapat Justin, hasil berburu kilat menggunakan sihir.
"Kalian saja, aku sudah cukup kenyang dengan roti tadi.
"Kau kenyang? Setangkup roti? Biasanya kau memburu seekor ayam besar untuk dirimu sendiri."
"Terserah," Justin mengubah posisi duduknya, memunggungi Nhika dan Dillan.

Ada hal yang menjadi ganjalan. Justin benar-benar tak nyaman dan tak merasa aman. Dia memainkan ceruk di kayu yang dia duduki, mengorek-ngorek bagian lapuknya sehingga menimbulkan bunyi pengganggu. Tadinya dia berharap dengan istirahat sejenak ini, tubuhnya akan menjadi lebih baik tapi kenyataan berkata lain. Jangankan tubuhnya menjadi bugar, dia justru mendapat kecemasan yang menyiksa hati dan pikhrannya.
Bayang-bayang Omesa dan Narnie Marleenos membuat jantungnya berpacu seperti kuda. Dia merasa dia telah menjadi Nhika yang penakut, bahkan lebih buruk daripada itu.

"Dillan, bagaimana kalau kita menyanyi lagi? Lagu berbeda dari penyanyi yang sama." Nhika berhenti memakan dagingnya dan menatap Dillan yang menjawab dengan anggukkan serta senyuman di tengah-tengah makannya.

"aku memang menyukainya. Semua gadis di kekaisaran menyukainya. Lagunya seperti sihir yang membuat setiap orang merasa damai. Kuharap suatu saat nanti aku bisa bertemu dengan pemiliknya. Kau tahu Dillan?" nada bicara Nhika yang awalnya lembut penuh kekaguman, mendadak menjadi bersemangat dan tak percaya di kalimat terakhirnya. Gadis itu mencondongkan tubuhnya ke Dillan, "aku sangat senang karena ternyata kau juga menyukainya dan bisa menyanyikannya dengan baik."
"Bagaimana kalau aku benar-benar orang itu?" Dillan menunjukkan keseriusan lewat tatap matanya yang menyihir. Nhika mencoba mengendalikan diri, dia sebenarnya juga berpikir seperti itu. Dillan sempurna.
"Kau percaya?"
"Ah! " Nhika mengibaskam tangannya, "jadi bernyanyi tidak. Ini lagu yang kurang kusuka karena tidak ada kata cinta. Lagu tentang pohon apel,"
"lagu petani, baiklah. Justin! Kau mau ikut?" Dillan melirik Justin yang masih memamerkan punggung pada dirinya dan Nhika.
"Orang seperti Justin mana mungkin bisa. Aku ragu, berbicara saja begitu sulit baginya." Nhika meledek, sebuah jurus untuk memancing Justin agar berhenti menjadi orang kaku.
"Kau lihatkan?"
"Mungkin mendengar burung berkicaupun telinganya gatal"

Nada di musim semi, matahari penyejuk pagi. Semangat dari bukit timur.

Justin tiba-tiba bernyanyi, melantunkan lagu yang dimaksud oleh Nhika dan Dillan. Dillan tersenyum mendengarnya sementara mata Nhika nyaris tak berkedip melihat Justin yang berjalan menghampirinya sembari bernyanyi. Langkah yang seiring dengan nada yang dilagukannya.

Mandala menjatuhkan permata surga
Bumi menghijau dan syair dilantunkan

Justin duduk di depan Nhika, turut menyerap kehangatan api unggun di hadapan mereka.

Merah dalam batang
aroma membuai dan gemerisik daun serta daun
Pagi kan kubiarkan menjelma
Biarkan tumbuh si pembentuk hati merah
Tanda cinta nan manis
Tanda kasih langit pada bumi


Mereka bertiga bernyanyi bersama hingga api lenyap menyisakan bara.

"Kau suka sekali pada lagu-lagu itu. Sepanjang waktu kau menyanyikan lagu misterius itu,"

Komentar

Postingan Populer